Last Dream (Flashback)

823 132 53
                                    

Wah, udah sampe part 3 aja nih. Gimana gimana, suka ngga sama ceritanya?

Kasian banget ya Bianca harus kehilangan orang yang paling ia sayangi setelah orang tua dan keluarga. Apalagi sebentar lagi mau nikah, sad banget ngga tuh?

Ga kebayang deh gimana rasanya ada di posisi Bianca. Doain semoga Bianca segera bangkit dari luka yang ia rasa, ya.

Jangan lupa vote dan comment, yes!

HAPPY READING 🖤

***

Angin berdesir dalam pantauan rembulan yang nyaris tak terlihat lagi senyumannya. Terlihat sesosok lelaki dengan setelan celana pendek serta kaus tipis berwarna silver tengah berdiri di balkon kamarnya.

Lelaki itu adalah Kavindra, yang berada hampir setengah jam untuk melihat-lihat situasi sekitar dari tempatnya berdiri. Kedua tangannya disandarkan pada besi penyangga serta matanya sesekali terfokus pada gugusan bintang di angkasa.

Tersenyum bibirnya saat melihat wajah Bianca terpampang pada langit angkasa. Wajar saja, sudah hampir seminggu ia tak bertemu dengan gadisnya itu sebab jadwal pekerjaan keduanya yang sangat padat.

“Bintang aja tahu gue lagi rinduin Bianca. Dia lagi apa ya sekarang? Gue telpon langsung aja lah,” ucapnya berjalan memasuki kamar untuk mengambil handphone-nya yang tergeletak di meja.

Dua panggilan sudah ia lakukan namun tak kunjung mendapat jawaban. Apa yang sedang dilakukan oleh calon istrinya sampai-sampai mengabaikan telepon darinya. Ia beralih pada galeri di ponselnya seraya membiarkan beberapa menit berlalu agar ia bisa menghubungi kembali gadisnya.

Satu persatu foto muncul bergantian di layar handphone, baik foto-foto yang dikirimkan Bianca maupun foto asli yang diambil dengan ponsel itu.

“Entah sampai kapan mata ini mampu untuk melihatmu. Besok, lusa? Ah entahlah. Yang pasti, aku hanya akan membuatmu bahagia saat kita masih bersama. Tak peduli sampai kapan  waktunya tiba. Sebab, melihat senyummu adalah kebahagiaan untukku,” ucapnya pelan saat memandangi foto calon istrinya.

Sepuluh menit berlalu, ia kembali menghubungi gadis itu untuk yang ketiga kali. Setelah cukup lama menunggu akhirnya Bianca menjawab panggilan dari dirinya.

“Assalamu’alaikum, Bi. Ma shaa Allah layar handphone-ku dipenuhi wajah bidadari,” godanya pada Bianca.

“Waalaikumussalam. Ihh kamu mah, belum apa-apa udah ngegombal. Kok tumben video call dadakan ngga ngabarin dulu. Kangen aku pasti kan?” sahutnya percaya diri kemudian disusul tawa-tawa kecil.

“Haha pinter banget calonnya aku. Jadi ngga sabar pengen cepat nikahin. Siapa tau kan besok-besok aku udah gabisa lihat kamu lagi,” ucapnya dengan pandangan mata yang sedikit berbeda dari biasanya.

“Ngomong apasih kamu, besok kita kan juga ketemu. Jangan-jangan kamu lupa ya kalo besok kita ada janji?” ocehnya dengan eskpresi kesal.

“Mana mungkin aku lupa janji sepenting itu. Buat kamu ngga ada kata lupa,” jawabnya membuat gadis itu bergidik.

Keduanya masih betah bertatap muka melalui layar ponsel masing-masing. Sudah hampir satu jam, sejoli itu masih saja memiliki topik untuk dibicarakan. Begitulah saat sedang kasmaran, terkadang saling memandang wajah saja sudah cukup untuk melepas kerinduan.

JINGGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang