New Job

597 113 67
                                    

Suara kokokan memekik telinga manusia-manusia di bumi. Bekerja, sekolah, maupun aktivitas lainnya yang tak luput dari sambutan mentari pagi. Di sebuah rumah sederhana yang tidak terlalu megah, terdengar gemuruh langkah kaki para penghuni rumah yang bersiap-siap untuk bertemu dengan dunia.

"Ma, gimana penampilan Vano?" tanya anak lelaki pada sang ibu.

"Ganteng aja, eh engga ganteng banget. Produk Mama emang ngga ada yang gagal. Oya dasi benerin dulu tuh, sedikit miring, Nak," sahut Carissa mengarahkan telunjuk pada dasi anaknya.

Aktivitas seorang ibu setiap pagi, apalagi kalau bukan mengerjakan pekerjaan rumah dan menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Itulah yang dilakukan Carissa Safira, orangtua tunggal dengan tiga anak dalam hidupnya.

Evano Syahreza Gavin, anak tertua dalam keluarga. Pekerja keras, ambisius, pintar, penyayang, dan yang tidak boleh dilewatkan adalah wajahnya yang sangat tampan. Ketampanan yang tidak dapat diragukan, sebab mampu menyihir mata siapapun yang memandang. Alisnya begitu tebal serta bibir menawannya yang semakin menambah tingkat ketampanan lelaki itu dengan sempurna.

Semenjak kematian ayahnya, ia menjadi tulang punggung untuk membantu ibunya dalam menghidupi ia dan kedua adiknya. Apapun dilakukan untuk menghasilkan uang dan yang terpenting halal. Berkat kegigihannya dalam belajar, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan sarjananya di Jepang.

Berat sebenarnya karena ia harus meninggalkan ibu dan adik-adiknya. Tapi mau bagaimana lagi, semua memang harus dilakukan untuk masa depan yang lebih baik.

Setelah kurang lebih empat tahun di Jepang, ia memutuskan untuk kembali ke tanah kelahiran. Mencari pekerjaan, pun agar ia lebih dekat dengan keluarga. Tak lama setelah kembali ke Indonesia, Evano diterima pada salah satu perusahaan ternama dengan menjabat sebagai wakil direktur. Hari ini, adalah perdana dirinya akan menginjakkan kaki sekaligus bekerja di sana.

Farah Anindira, adalah adik pertamanya yang saat ini duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Sedang adik satunya lagi, Barra Alman masih duduk di bangku sekolah Menengah Pertama. Itulah kedua adik kesayangan yang juga membuatnya semakin merindukan keluarga jika jauh dari mereka.

"Bang, sebentar lagi waktu pembayaran SPP. Kalo ngga bayar gaboleh ikut ujian," ucap Farah saat di meja makan.

"Iya, kamu tenang aja ya. Uang tabungan Abang masih banyak kok, cukuplah untuk biaya sekolah kamu dan Barra. Apalagi sekarang abang udah dapat pekerjaan yang cukup lumayan, pasti bakal abang beliin semua kemauan kalian dan juga Mama," sahutnya mengelus kepala kedua adiknya bergantian.

"Wahh serius bang? Horeeeeeee. Barra doain, pekerjaan abang lancar terus dan ngasilin banyak uang," lanjut remaja lelaki itu.

"Husstt kamu ini, masih kecil tahu apa kamu tentang uang Nak, Nak."

"Van, maafin Mama, ya. Semenjak Papa kamu meninggal dan Mama sakit-sakitan, kamu jadi harus bekerja keras sendirian untuk menghidupi kami. Masa muda kamu lewat gitu aja karena kamu bener-bener harus perjuangin hidup kita. Mama belum pernah liat kamu punya pacar, Van," celetuk Carissa nyaris membuat anak lelakinya itu tersedak.

"Ayo dong bawa pacar abang kerumah," sambung Farah menanggapi perkataan sang ibu.

"Kamu lulus sekolah aja belom sok nanyain pacar abang. Tenang aja, nanti abang langsung bawa istri ke rumah. Mama lagi, ngga perlu minta maaf karena itu emang udah jadi tanggung jawab Evan. Untuk masalah pacar, Mama tenang aja, mungkin emang belum waktunya Evan punya pendamping, karena yang terpenting sekarang adalah kebahagiaan kalian semua."

"Udah, cepat habiskan sarapannya! Nanti sekalian abang anterin ke sekolah," perintahnya pada sang adik.

"Siap, bos," sahut mereka serentak.

Usai sarapan, mereka bertiga berangkat dan tak lupa berpamitan terlebih dahulu pada Carissa. Mengantar Farah, Barra, baru kemudian berangkat ke kantor. Butuh waktu sekitar empat puluh menit dari rumah agar sampai ke perusahaan.

Bagaskara Group, tulisan itu terpampang jelas pada sebuah gedung perusahaan megah dengan kilauan kaca di setiap ruangannya. Evano memarkirkan mobil terlebih dahulu sebelum akhirnya memasuki perusahaan.

Detak jantung yang terpompa jauh lebih cepat menemani tiap langkah yang masih terlihat gugup. Ia masih sangat bingung saat memasuki ruangan yang luas itu, hingga memberanikan dirinya bertanya pada orang-orang disekitar.

"Jane, Jane. Gue ngga lagi mimpi kan? Gue liat pangeran deh kayaknya," ucap salah seorang karyawati seraya menepuk-nepuk pundak karyawati lain disebelahnya.

"Ngomong apaan sih lo? plakk," bunyi tamparan kecil yang mendarat di pipi sebelah kanan.

"Aduh. Kok lo nampar gue sih? Gila lo ya?"

"Lah bukannya lo sendiri yang nanya lagi mimpi atau engga, yaudah gue gampar aja biar lo sadar."

"Serah lo deh. Eh liat-liat, pangerannya mengarah kesini," tutup karyawan itu.

Ternyata, pangeran yang sedang dibicarakan itu adalah Evano. Baru saja ia melangkahkan kaki, seketika ribuan pasang mata langsung memburu keberadaannya. Terutama para wanita-wanita yang haus akan ketampanan.

"Permisi, Mbak. Saya mau bertanya, ruangan Bapak Adyatma dimana, ya?" tanyanya pada karyawan yang terlihat salah tingkah karena kehadirannya.

"Indah sekali ciptaan Tuhan," ucap salah satu karyawati dengan ekspresi kagum.

"Ada di lantai 5. Mas tinggal naik lift aja menuju lantai 5, ruangannya tidak jauh kok dari posisi lift. Mas bisa liat sendiri nanti ada tulisan "Ruang Direktur", nah itu ruangannya," jelas karyawati lainnya pada Evano.

Lelaki itu melanjutkan kembali langkahnya, tak lupa ia mengucap terima kasih pada dua karyawati yang sudah memberitahunya. Senyum ramahnya ia tujukan pada orang-orang yang berada di sekitar, sebagai adaptasi awalnya di perusahaan.

Kini kakinya sudah mendarat di lantai yang dituju, matanya celingak-celinguk ke arah kanan dan kiri untuk mencari ruangan yang dimaksud. Tak butuh waktu lama, ia langsung mendapati ruangan itu yang berada tidak jauh dari posisinya.

"Permisi," ucapnya sembari mengetuk pintu ruangan.

Terdengar suara dari dalam yang mempersilakan ia untuk memasuki ruangan. Segera ia membuka gagang pintu dan membawa dirinya menemui Adyatma. Saat sudah berada di ruangan, pria berusia empat puluh tahunan yang duduk di bangku kerja mempersilakan Evano untuk duduk pada kursi di hadapannya.

"Kamu Evano, kan?" tanya pria itu dengan memegang secarik kertas yang ternyata adalah CV dari Evan.

"Benar, Pak," sahutnya mengangguk.

"Baik. Sekarang kamu adalah bagian dari perusahaan ini, sebagai wakil direktur yang akan membantu saya untuk meng-handle perusahaan. Saya harap, kita dapat bekerja sama dengan baik. Untuk ruangan, kamu bisa pakai meja di sebelah sana, agar mempemudah kita berinteraksi satu sama lain," jelasnya menunjuk satu meja lagi di ruangan.

Evano mengangguk memahami arahan dari Adyatma. Ia beranjak dari kursi untuk menuju meja baru yang akan menjadi tempatnya bekerja. Pekerjaannya baru akan dimulai hari ini, ia sangat berharap agar mampu bekerja dan menjalankan amanah dengan sangat baik. Sebab, kejujuran dan amanah adalah dua hal penting yang harus selalu diterapkan, termasuk dalam sebuah pekerjaan.

Quotes :
Dimanapun kamu berada, jangan lupa untuk selalu menjunjung kejujuran serta bertanggungjawab atas segala amanah yang diberikan. Sebab, mengkhianati dua hal tersebut sama halnya dengan mengkhianati diri sendiri.

-Nur Halijah-

JINGGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang