Hurt

298 41 0
                                    

Kalo berkenan vote, ya. Engga juga ngga apa-apa kok, kalian baca aja aku udah happy hehe

______________

Sudah seminggu Evano dan Bianca berangkat bersama ke kantor. Rumor tentang hubungan mereka semakin luas menyebar. Seperti virus menular yang tidak membutuhkan waktu lama untuk menjalar, rumor berpindah dari satu mulut ke mulut yang lain. Benar-benar secepat itu.

"Eh btw, menurut kalian cocok ngga sih Bu Bianca dan Pak Evano? Gue kok baper sendiri ya liat mereka." Ucap salah seorang karyawan, sebut saja A yang tengah berada di kantin untuk makan siang.

"Cocok banget. Secara, visual mereka itu nyaris perfect. Gimana ngga serasi, ya ngga?" Sahut wanita lainnya, sebut saja B seraya menaikkan alisnya kegirangan.

"B aja menurut gue. Lagian nih ya, Bu Bianca itu kan belum ada setahun ditinggal tunangannya, masa cepat banget move on dan berpindah hati. Kalo gue jadi dia sih mungkin entah beberapa tahun kemudian baru bisa buka hati, dan itu pun belum pasti." Sambung wanita C dengan julid.

Ternyata, bukan hanya mereka yang membicarakan soal Evano dan Bianca. Melainkan, hampir seluruh karyawan di kantin bahkan seisi kantor membicarakan mereka. Maklum, Bianca kan anak pemilik perusahaan ini. Pastilah apapun yang ia lakukan akan menjadi sorotan.

Saat ini, Bianca sedang berada di kantin. Bersama Silvy, teman akrabnya di kantor. Sedari tadi telinganya panas mendengar dengungan suara orang-orang yang membicarakannya dan Evano.

Sudah pasti ia risih, hampir semua pasang mata mengamati keberadaannya. Tapi, Bianca tetap menjaga sikapnya. Ia tidak mau citra ayahnya tercoreng jika dia berulah.

Biarlah, lama kelamaan akan tenggelam sendiri rumornya.

"Lo beneran punya hubungan spesial ya sama Pak Evano?" Silvy bertanya untuk mengusir penasaran. Sedari tadi telinganya juga sudah dimasuki puluhan rumor tentang Bianca dan Evano.

"Ya engga lah. Hubungan gue sama dia itu biasa aja, sebatas temen dan partner kerja. Ngga lebih, dan sepertinya ngga akan pernah lebih." Sahut Bianca, setelahnya menyeruput air mineral yang ada di hadapannya.

"Lo yakin ngga punya perasaan ke dia? Gue liat dia tulus sama lo." Silvy sudah terbumbui karyawan lain rupanya, ia juga semakin penasaran mengenai hubungan keduanya.

"Yakin lah, perasaan gue cuma untuk Kavin. Ngga ada yang bakal gantiin dia, sampe kapan pun."

"Lagipula, gue tuh ilfeel banget sama Evano tau ngga? Kadang dia perhatian, kadang menyebalkan, kadang sok serius, udah kayak bunglon sifatnya.  Paling sebel nih, dia itu sok ngatur-ngatur gue, harus ini, harus itu, emang dia sepenting apa buat gue sampe gue harus nurutin dia? Ngga lah, ngga penting sama sekali." Ketusnya dengan raut wajah sinis dan kesal.

"Astaga, lo ngga boleh gitu, Bi. Yang gue liat dia tu tulus sama lo. Lo gaboleh berpikiran seperti itu lah. Ga kasian lo sama dia?" Silvy merasa Bianca sudah keterlaluan, ia harus sedikit menasehati Bianca agar gadis itu sadar.

"Biarin. Biar ga ngarep terus dia sama gue. Udah gue peringatin juga di awal, untuk ga berharap sama gue. Dia nya aja sok gamau mundur. Padahal maju terus pun belum tentu dia menang."

Jleb

Sesosok pria rupanya tengah mengamati Bianca dari jarak yang tidak terlalu berjauhan. Posisi nya, lelaki itu ada di belakang Bianca dan Silvy, hingga keduanya tak menyadari keberadaan pria itu.

Pria itu adalah Evano. Bak disambar petir di siang bolong. Tubuh Evano rasanya seperti hancur dicabik-cabik. Semua organ dalamnya memanas, seolah ingin keluar dan berlari dari tempatnya, terutama uluh hatinya. Rasanya benar-benar sakit, sesak dan seperti hendak meledak seketika.

Apa ia tidak salah dengar?

Apa Bianca baru saja mengatakan hal yang jujur?

Apa sebegitu tidak berartinya ia dimata Bianca?

Apakah salah jika Evano mencintai Bianca?

Apakah salahnya jika ingin mengisi tempat di hati Bianca meski masih ada nama yang menetap?

Haruskah ia mendengar ini semua dari mulut Bianca?

Ini semua memang salahnya. Bianca sudah mengingatkan dari awal, Evano saja yang tetap bersikukuh untuk memperjuangkan.

Sakit, Evano tak tahu lagi harus mendefinisikan sakitnya seperti apa. Ia mengepal kedua tangannya geram, kemudian berlalu meninggalkan kantin.

Saat ini, ia sudah berada di dalam ruangannya. Evano mengacak-ngacak dokumen yang ada di mejanya.

BUGH

Satu bogeman ia layangkan pada tembok yang tak bersalah. Terlalu keras hingga membuat tangannya memar.

Evano terduduk lemas di kursinya, kedua tangannya mengusik dan mengacak rambutnya. Matanya menatap meja kerja Bianca yang berada tak jauh darinya.

"Kalau ini mau lo, oke gue turuti. Mulai detik ini, gue berhenti. Gue nyerah. Gue mundur. Gue tarik kata-kata gue yang pernah bilang akan perjuangin lo. Nyatanya, lo emang gabisa ngehargai perasaan gue yang jelas-jelas tulus sama lo. Sorry, gue yang ngga tahu diri ini terlalu berharap lebih sama lo."


🍉🍉🍉

Jalanan sore hari ini tidak terlalu padat seperti biasanya. Sejoli yang menjadi perbincangan kantor sudah berada di jalan menuju ke rumah.

Sedari tadi, Evano hanya bungkam. Bicara seadanya, itupun jika ada pertanyaan penting yang harus ia jawab.

Evano mengemudikan mobilnya dengan sangat kencang. Bianca mungkin akan terpental jika tidak menggunakan safety belt. Satu tangannya saja sudah menggenggam erat pegangan yang ada di bagian atas dekat kaca mobil. Benar-benar Evano seperti orang yang kesurupan.

"Pelan dong! Gue hampir kepental nih." Bianca mengomeli Evano yang terlalu kencang membawa mobil.

Tidak ada sahutan apapun, Evano tetap melajukan mobilnya tanpa peduli omelan Bianca. Andai di depan ada bongkahan pohon besar, mungkin Evano sudah menabrakannya.

"Lo kenapa sih? Gue perhatiin dari tadi murung terus. Biasanya juga lo ladenin omelan gue. Lagi ada masalah, lo?" Bianca bertanya untuk menemukan rasa penasarannya.

Lagi lagi bukan jawaban yang Bianca dapatkan, melainkan pedal gas yang semakin kencang di tarik Evano.


"Awww."

Ringis Bianca saat kepalanya terbentur sesuatu di hadapannya. Bukan tanpa alasan, itu karena Evano melakukan rem mendadak karena ada lampu merah di pertigaan.

Tak menoleh ke arah Bianca sedikitpun, gadis itu tampak memegangi dahinya yang sedikit terbentur tadi.

Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di pekarangan rumah Bianca. Evano segera keluar dari mobil dan langsung menuju ke dalam rumah.

Ada yang aneh, biasanya Evano selalu membukakan pintu mobil Bianca saat naik maupun turun dari mobil. Tapi apa barusan? Bahkan Evano tidak mengucapkan sepatah katapun padanya.

Apa yang terjadi? Apakah ia berbuat salah pada Evano? Perasaannya, dia tidak membuat kesalahan apapun. Bianca juga bingung ada apa dengan Evano hari ini. Sangat berbeda dari biasanya, padahal tadi pagi masih baik-baik saja dan masih mau untuk meladeni omelannya.

Mau tidak mau, Bianca membuka sendiri pintu mobilnya. Tentu dengan perasaan aneh dan bertanya-tanya. Setiap langkah kakinya dibarengi dengan rasa penasaran.

BRAK

Evano membanting pintu kamarnya, suaranya sangat kuat dan nyaring terdengar. Bianca sangat terkejut dan sedikit ketakutan. Entahlah, ia tidak paham lagi dengan Evano.

"Itu orang lagi kenapa, sih? Aneh. Kerasukan kah?" Gumamnya sebal.

___________-Thank You-____________

JINGGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang