***
"Btw, itu cowo siapa sih, Bi? Kenalin ke gue dong! Ganteng banget sumpah, bergetar jiwaku ingin dihalalin," seru Elma memeluk guling seraya meremas gemas.
"Emang lo haram pake dihalalin segala?" Monica menjawab dan langsung mendapat lemparan guling dari Elma.
"Woy, gue ga ikutan. Ngapa jadi gue yang ketimpuk." Alana memegang dahinya bekas landasan guling yang mendarat.
Suasana kamar Bianca ramai karena tingkah sahabatnya. Malam ini, ketiganya memutuskan menginap untuk menemani sahabat mereka itu. Tidak akan pernah rapi kamarnya, jika sahabatnya itu berada disana. Selalu ada saja yang dikorbankan. Mulai dari kasur yang harus berbagi, guling yang selalu jadi perdebatan, selimut yang kerap jadi incaran, dan kamar mandi yang pasti akan jadi rebutan.
Yah, Bianca sudah biasa merasakan itu. Ini bukan kali pertama, tapi untuk yang kesekian kalinya. Semua bukan masalah, justru kehadiran mereka malah membuat kebahagiaan Bianca naik di atas rata-rata.
"Dia atasan gue di kantor. Wakil direktur, itu berarti wakil bokap gue. Dan gue baru tahu, ternyata dia temen SMA Bang Fabian, dan dulu sering banget ngerecokin gue sampe bikin gue nangis."
"Wah, udah ganteng, mapan, baik hati, pekerja keras. Cocok banget sama kepribadian gue yang nyaris sempurna ini." Percaya diri Elma memang tidak ada tandingannya.
"Halu teros sampe mamposss," celetuk Alana.
"Udah ah. Mending kita istirahat aja. Kasian Bianca, dia kan belum terlalu pulih," sambung Monica dibalas anggukan oleh para gadis itu.
Mereka mengambil ancang-ancang, mengatur posisi agar kasur muat dihuni oleh 4 orang. Syukurlah, ranjang Bianca berukuran besar, juga badan mereka yang ramping membuat kasur itu tak masalah jika keempatnya harus merebahkan tubuhnya disana.
***
Bulan berganti, hari berulang kali bertemu, dan waktu yang kerap berlalu. Genap sudah satu bulan kepergian Kavin. Tentu Bianca sangat merindukan lelaki itu. Masih teringat jelas setiap kenangan yang ia lalui dengan Kavin.
Hati masih berduka, namun tak seperti awal mula. Sedikit lebih kuat dan jauh lebih baik setiap harinya. Apa lagi yang harus dilakukan? Tidak mungkin terus menerus menangis, meratapi yang sudah pergi, apalagi sampai menutup diri berhari-hari. Kavin akan merasa sangat sedih, jika Bianca sampai melakukan itu.
"Hi. Kamu baik kan disana? Jangan khawatir perihal aku disini, aku baik-baik aja kok. Aku janji akan jadi perempuan yang kuat, seperti yang selalu kamu katakan. Nanti aku jenguk ya ke rumah kamu."
Bianca memandangi langit pagi yang belum cerah sempurna. Masih membekas awan-awan malam di angkasa. Tangannya disilangkan di dada, senyum nya menyeringai meski matanya masih mengandung kesedihan.
Gadis itu berniat untuk menghampiri makam Kavin sepulang kerja. Melepas rindu, meski ia tahu tak akan ada lagi janji temu.
Setelah puas menyapa mentari pagi, ia segera bergegas untuk berangkat ke kantor. Menyelesaikan segala pekerjaan agar bisa segera menemui Kavin.
"Bianca berangkat dulu ya Ma, Pa, Bang Bian, Kak Mira. Nanti sarapan di kantor aja, Bianca lagi buru-buru. Bye, love you all."
Gadis itu melangkah keluar usai berpamitan bergantian pada anggota keluarga. Seisi ruangan hanya saling menatap dan melemparkan raut keheranan. Bianca yang sebenarnya sudah kembali hari ini.
"Hati-hati, Nak. Jangan ngebut dan jangan lupa berdoa!" ucap sang ibu seraya menggelengkan kepala melihat tingkah anak gadisnya.
"Oke, Ma," teriaknya dari arah luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
JINGGA [END]
General FictionWARNING ⚠️ Cerita ini tidak cocok untuk yang mau langsung uwu-uwuan di awal. Karena, alur nya emang awal-awal sedih. Jadi, berproses ya manteman. Kalau kamu mau dapat feel-nya, baca keseluruhan ya, jangan setengah-setengah. Blurb : "Gue hamil. Ini s...