Found Out

305 35 0
                                    

Jangan lupa vote dan komen!

Happy Reading 🧡

____________________

Bianca bersiap-siap untuk pergi ke rumah orangtuanya, menjenguk baby Syaqilla.

Hari ini, ia akan pergi bersama Evano. Karena, orangtuanya yang menyuruh mereka pergi bersama. Berhubung, Evano juga belum pernah menjenguk bayi kecil itu.

"BIANCA, BURUAN! GUE UDAH SELESAI," teriak Evano dari lantai bawah.

Mendengar itu, Bianca langsung terburu-buru mengambil tasnya. Tanpa sadar, ia memasukkan asal ketiga alat testpack nya yang tergeletak di meja rias.

"Hmm," suara Bianca berdehem pertanda ia sudah ada di lantai bawah.

Menyadari itu, Evano langsung mengajaknya keluar untuk segera pergi ke rumah Adyatma.

"Ayo berangkat sekarang!"

(°-°)


Jalanan tampak sangat ramai. Wajar saja, sekarang adalah hari minggu. Banyak orang berjalan-jalan sekedar melepas penat karena lelah bekerja.

Saat ini, Bianca dan Evano berhenti di persimpangan lampu jalan. Warna lampu yang ditampilkan merah, pertanda pengemudi harus menghentikan kendaraan. Berhenti sebentar dan berbagi jalanan dengan pengemudi lain.

Hati Bianca tersentuh saat melihat beberapa pengamen cilik dengan usia yang masih sangat belia.

Sakit rasanya, di usia yang sedini itu, mereka yang seharusnya bersekolah dan mendapat penghidupan yang layak justru harus berkeliaran di bawah terik matahari demi mencari rezeki.

Luluh hatinya, tanpa sadar tangannya mengelus-elus perutnya lembut. Matanya berkaca-kaca, ada sedikit rasa penyesalan atas perbuatannya yang ingin menggugurkan bayi tak berdosa itu.

"Kenapa?" Tanya Evano lembut saat melihat Bianca tampak sendu.

"Sedih, ngga tega liat anak umur segitu harus ngamen demi uang. Kasian," sahutnya dengan rasa prihatin.

"Iya, Bianca. Semua orang memang tidak selalu lahir dari keluarga mampu. Mereka contohnya. Di usia segitu, mereka yang harusnya dinafkahi, justru harus cari nafkah sendiri atau sekedar bantu orangtua mereka."

"Anak di perut kamu, anak kita. Jangan kita biarkan seperti itu, ya?" Ucap Evano dan membuat Bianca melebarkan pupil matanya.

"Apasih, mulai gajelas lo. Ini anak gue, gue yang akan besarin dia. Bukan lo!" Ketus gadis itu.

"Anak gue juga, kita rawat dan besarin sama-sama, ya?" Goda Evano membuat Bianca mendengus kesal.

"OGAH."

Evano hanya tersenyum melihat Bianca cemberut seperti itu. Senang kembali rasanya, saat Bianca sudah mau meladeni bicaranya meski hanya sesekali.

Plin plan, dua kata itu sepertinya cocok untuk Bianca. Sebentar benci, sebentar tidak. Sebentar benci, sebentar tidak. Entah memang karakternya seperti itu, atau karena pengaruh bayi dalam perutnya?

Evano melajukan kembali mobilnya. Sekitar dua puluh lima menit, akhirnya mereka tiba di kediaman Adyatma.

"Assalamualaikum, Ma, Pa. Bianca pulang," ucapnya sesaat setelah masuk ke dalam rumah.

Di ruang tamu, sudah ada Adyatma dan Astrid yang menunggu kedatangan mereka. Fabian dan Miranda tentu ada di kamar bersama si kecil Syaqilla.

"Wahh, Evano. Apa kabar, Nak?" Tanya Astrid pada pria itu.

JINGGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang