"Gimana keadaan, lo?" Evano melayangkan pertanyaan setelah keluar dari pekarangan rumah keluarga Bianca.
"Baik, cuma sedikit syok aja kemarin. Papa cerita ke lo, ya? Gadis itu bertanya balik.
Evano mengangguk, setelahnya meyakinkan Bianca akan mencari tahu siapa dalang di balik semua itu.
"Lo tenang, ya! Gue akan cari tahu, siapa orang berengsek yang udah berani ganggu calon masa depan gue."
Sontak Bianca mengernyitkan dahi seraya menggeleng kepala keheranan.
Serah lo deh, batin Bianca.
*****
Se-sampainya di kantor, semuanya dikejutkan dengan kedatangan Bianca dan Evano yang bersamaan. Banyak yang mengatakan mereka sangat serasi. Banyak juga yang menatap mereka dengan tatapan iri.
Di sudut ruangan, sudah ada yang mengamati sejoli itu dengan tatapan sinis. Pria itu menautkan alisnya, tak lupa mengepal kedua tangannya yang berisi angin.
Evano mengikuti Bianca, jelas sekali pesona pria itu yang ingin melindungi gadisnya.
Gadisnya? Oh tidak, Evano tidak boleh bermimpi terlalu jauh. Ia masih pemula dan tidak pantas untuk berharap lebih jauh, seperti yang sudah pernah diucapkan Bianca.
Jangan berharap, iya, jangan terlalu berharap. Bianca takut hanya akan membuatnya kecewa.
"Mau kemana?" Tanya Evano saat Bianca melewati ruangannya.
"Ke ruangan gue lah, kemana lagi?"
"Ruangan lo disini, bareng gue," pria itu mengarahkan matanya pada sebuah pintu ruangan yang tidak jauh dari lift.
"Ha?" Beo gadis itu kebingungan.
"Mulai hari ini, kita satu ruangan. Pak Adyatma yang perintahin. Biar lebih mudah gue jagain lo, katanya."
Bianca menatap tidak percaya. Apa ini tidak terlalu berlebihan? Dirinya merasa sudah baik-baik saja, tapi kenapa orangtuanya mencemaskannya terlalu berlebihan?
Satu ruangan dengan Evano yang usil sepertinya akan membuat Bianca semakin pusing, pikirnya.
"Jangan bengong gitu. Gue ngga bakal apa-apain lo, kok. Justru gue akan selalu jaga lo." Tatapan mata Evano mengandung ketulusan, ketulusan yang seperti pernah Bianca lihat di mata Kavindra, tunangannya yang sudah pergi.
"Emang lo bodyguard gue?" Ketusnya.
Pria itu menggeleng sambil memasang senyum sumringahnya. Menundukkkan kepalanya agar sejajar dengan Bianca yang sedikit lebih rendah darinya.
"Bukan. Tapi, gue masa depan lo."
Demi apapun Bianca geli mendengarnya. Sepertinya Evano salah sarapan pagi ini.
______
Berada satu ruangan dengan Evano justru membuatnya gusar. Pasalnya, ia tidak bisa bekerja dengan tenang. Seringkali ia memergoki pria itu menatapnya sambil tersenyum tidak jelas. Sudah gila, batinnya.
"Udah laper?" Lamunannya terhenti saat Bianca mendengar suara itu.
"Hmm lumayan." Singkatnya, karena pagi tadi Bianca hanya sarapan roti dan susu. Sekarang sudah jam 11.30, hampir mendekati tengah hari. Wajar jika cacing di perutnya demo minta diberi makan.
"Yaudah, nanti ke kantin bareng. Mau?" Evano terus menampakkan perhatiannya.
"Ngga, gue sama Silvy aja." Sahutnya tanpa menatap Evano.
KAMU SEDANG MEMBACA
JINGGA [END]
General FictionWARNING ⚠️ Cerita ini tidak cocok untuk yang mau langsung uwu-uwuan di awal. Karena, alur nya emang awal-awal sedih. Jadi, berproses ya manteman. Kalau kamu mau dapat feel-nya, baca keseluruhan ya, jangan setengah-setengah. Blurb : "Gue hamil. Ini s...