Good People

308 65 6
                                    

"Masalah gue cuek atau menjauh dari lo, gue jamin itu bukan karena perkataan lo kemarin. Tapi, gue berusaha membentengi perasaan gue, sedikit menjaga jarak karena gue ngga mau lo sedih karena gue gabisa balas perasaan lo. Lagian, kayanya ga masuk akal kalo lo jatuh cinta sama gue di waktu yang masih terbilang singkat." Tegasnya pada Evano.

"Lo lupa kita pernah ketemu sebelumnya?" Lelaki itu memalingkan wajahnya ke arah Bianca, netra keduanya bertemu dalam satu waktu.

Bianca memasang mimik keheranan. Mereka memang pernah bertemu sebelumnya, tapi itu sudah lama. Saat itu Evano masih SMA, sedang Bianca masih duduk di bangku SMP. Tidak mungkin Evano menyukainya saat itu, pikirnya.

"Gue suka sama lo sejak saat itu, Bi. Mungkin lo pikir itu ngga masuk akal, tapi itulah kebenarannya. Sikap lo yang ceria, perhatian, itu semua ngebuat gue ngerasa tenang di tengah masalah keluarga yang gue hadapi. Ketika gue di rumah, cuma kesedihan dan keterpurukan yang gue rasa. Tapi, saat gue ketemu lo, ngeliat senyuman lo, masalah itu seolah sirna menjadi kebahagiaan."

Bianca serius mendengarkan, kata perkata yang keluar dari mulut Evan begitu ia perhatikan. Benarkah perkataan lelaki di sebelahnya itu?

"Dan alasan gue selalu gangguin lo, bikin lo kesel dan bahkan sampe nangis, ya itu karena gue cinta sama lo, Bi. Tapi, gue rasa belum saatnya kala itu ngomongin masalah cinta. Selain usia kita masih belia, masalah keluarga gue juga adalah persoalan utamanya. Sampai di suatu titik, keluarga gue benar-benar hancur dan gue harus banting tulang ngehidupin ibu dan kedua adik gue. Dari situlah gue gapernah main lagi ke rumah lo, dan bahkan gapernah ketemu lo sampai akhirnya keluarga kalian pindah."

Gadis itu mematung, bingung harus mengatakan apa. Ia masih tidak percaya Evano menyukainya saat itu.

"Itu dulu kan saat kita masih sering ketemu? Bisa aja perasaan lo udah berubah sekarang, karena udah lama banget kita ga ketemu," ucapnya menanggapi Evano.

"Awalnya gue juga berpikir gitu. Bisa-bisanya gue ngga ngenalin lo saat pertama kali kita ketemu. Ya gimana, lo jauh lebih cantik sekarang. Tapi, gue jujur aja nih, di awal ketemu lo pun gue ngerasain perasaan yang beda. Seolah kita pernah bertemu sebelumnya. Dan benar aja, setelah gue tahu lo itu Bianca yang gue temui dulu, perasaan gue ke lo semakin kuat, Bi."

"Maaf, Van. Tapi, gue gabisa balas perasaan lo. Please jangan berharap apapun dari gue. Gue takut lo bakal kecewa."

Bianca menjawab tanpa menatap lelaki itu. Ia tak ingin melihat rona kecewa di mata Evano. Bagaimana pun juga, Evan adalah orang yang baik. Bagaimana dia bisa melukai perasaan lelaki baik sepertinya.

"Bukan sekarang, Bianca. Gue tahu ngga mungkin bisa secepat ini. Tapi, izinin gue berjuang buat lo, ya? Jangan paksa gue berhenti sebelum gue benar-benar ingin berhenti. Nanti, saat gue ngerasa harus mundur, gue janji gue akan menyerah dengan sendirinya. Oke?" Evano mengacak lembut puncak kepala Bianca, terpancar senyum dari bibir gadis itu. Lelaki itu? Ia menampilkan tatapan yang sangat meneduhkan.

"Kapanpun lo butuh gue, lo ngomong aja karena gue akan selalu siaga buat lo."

_____

Suasana kembali normal seperti sebelumnya. Tidak ada lagi rasa canggung di tengah sejoli itu. Evano lega, sebab Bianca membiarkannya berjuang tanpa harus memaksakan perasaan gadis itu. Pun juga Bianca, ia sudah memperingatkan agar lelaki itu tidak terlalu berharap, takut-takut jika ia tak bisa membalasnya maka Evano akan sangat kecewa.

Matahari mulai menenggelamkan dirinya pada langit barat. Sore semakin mendekati larut malam.

"Kita berhenti dulu di Masjid, ya. Udah mau magrib." Evano menepikan mobilnya di halaman sebuah masjid yang tidak terlalu besar.

JINGGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang