"Beliin pembalut. Gue haid."
Kalimat yang cukup singkat, namun berhasil membuat Evano membelalakkan mata. Seperti ada bom atau petir yang hendak menyambar tubuhnya, begitulah kira-kira rasa terkejutnya saat ini.
Evano menelan salivanya kasar, mencoba menelaah kembali perkataan Bianca barusan. Apa ia salah dengar? Buru-buru ia kembali bertanya untuk memastikan lebih jelas.
"Lo minta tolong apa tadi? Gue ga dengar jelas." Kali ini Evano bersiaga untuk memasang telinganya dalam-dalam, agar tidak mendengar hal-hal yang membuatnya bergidik ngeri.
"Beliin pembalut, Evano. Gue haid, lupa nyiapin stok."
Jleb, Evano kembali menelan salivanya tak percaya. Apa Bianca bercanda? Evano menggelengkan wajah tanpa sadar. Tidak, Bianca tidak menampakkan sedikitpun raut bercanda.
"Lo gila? Yakali gue beli gituan, aneh aja lo. Beli sendiri aja sono!" Kali ini sifat menyebalkan Evano keluar dari penjaranya.
Mulut tak selaras dengan hati, itulah Evano. Mana mungkin dia tega melihat Bianca yang lemas tak berdaya itu untuk pergi. Hanya alibi, iya alibinya saja.
"Gue demam, perut gue sakit. Gue emang sering gini kalo lagi haid. Apalagi ini haid hari pertama gue. Gue lemes banget. Please, tolongin gue, ya?" Bianca meminta dengan sendu, ia benar-benar tidak bisa membawa tubuhnya berdiri sempurna. Kepala dan perutnya benar-benar sakit. Mengapa dia harus seperti ini ketika haid? Entahlah, Bianca juga tak mengerti.
Mau tidak mau, Evano akhirnya menuruti Bianca. Meski di pikirannya sudah dirasuki hal-hal aneh yang membuatnya bergidik ngeri.
Tapi, tak apalah. Kalau bukan dia siapa lagi yang akan membantu dan mengurus Bianca? Hitung-hitung sebagai latihan menjadi suami yang baik saat merawat istrinya sakit.
Evano senyum-senyum sendiri membayangkannya. Apakah begitu nantinya saat ia sudah menjadi suami Bianca?
Ah sudahlah, Evano terlalu banyak berhayal.
Pria itu sudah meninggalkan rumah, sebelumnya ia sudah mengunci pintu rapat-rapat dan juga memberikan Bianca sup untuk makan. Setidaknya, gadis itu harus mengisi sedikit tenaganya.
Evano memutuskan untuk membeli ke Indonovember. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, ia sudah sampai di pekarangan mini market itu.
Bukannya langsung turun, Evano malah menarik nafas berkali-kali, lalu menetralkannya. Sudah sekitar 5 menit dia berada di dalam mobil.
Setelah menyiapkan mental, tak lama kakinya melangkah memasuki pusat perbelanjaan mini itu. Matanya menelusuri satu persatu objek disana. Hingga akhirnya tertuju pada jajaran benda yang akhirnya dia cari.
Segera ia berjalan kesana, seketika langsung bingung karena benda dihadapannya terdiri atas berbagai warna dan model. Ada yang berukuran kecil, sedang, dan bahkan panjang.
Warnanya juga beragam, ada warna ungu, pink, kuning, mint, biru, dan kombinasi warna-warna lainnya.
Evano menggaruk tengkuknya yang tak gatal, tangannya mulai mengamati satu persatu benda didekatnya. Ia membolak-balik objek ditangannya, tetap saja ia tidak mengerti perihal benda itu.
"Permisi. Ada yang bisa saya bantu?" Suara penjaga tokoh memecah konsentrasi Evano.
Sial, seperti tertangkap basah. Evano benar-benar malu hingga ia gugup saat menjawab.
"A...nu. Mau cari pembalut, Mbak." Jawabnya menahan malu, penjaga tokoh itu hanya cengengesan melihat ekpekresinya.
"Baik. Mau model yang seperti apa, ya? Biar saya bantu carikan." Tawaran yang cukup bagus, tapi malah membuat Evano bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
JINGGA [END]
General FictionWARNING ⚠️ Cerita ini tidak cocok untuk yang mau langsung uwu-uwuan di awal. Karena, alur nya emang awal-awal sedih. Jadi, berproses ya manteman. Kalau kamu mau dapat feel-nya, baca keseluruhan ya, jangan setengah-setengah. Blurb : "Gue hamil. Ini s...