Perubahan sikap Evano rupanya bukan sebentar saja Bianca rasakan. Kemarin setelah kembali dari kantor, mereka sama sekali tak ada komunikasi sedikitpun. Bahkan, Evano hanya terus berada di kamarnya sepanjang malam.
Untuk makan malam, Evano memang tetap menyiapkan. Beres-beres rumah juga. Tapi, dia bahkan tak mengajak Bianca untuk makan bersama. Dia sendiri membawa piring nya ke kamar untuk makan disana.
Perkataan Bianca memang benar-benar membuat hatinya sakit. Semalaman tidurnya tak tenang karena memikirkan itu.
Mengapa rasanya sesakit ini?
Mengapa Bianca tega melakukan ini kepadanya?
Evano masih tetap tak percaya. Entahlah, seharusnya Evano memang tidak perlu memulai ini dari awal. Mungkin, menyerah adalah jalan terbaik untuk memulihkan rasa sakitnya.
Evano akan tetap seperti ini dalam beberapa hari, setelahnya dia akan berusaha bersikap normal dan membatasi dirinya terhadap Bianca. Ia berjanji tidak akan lagi mengucapkan hal-hal yang berkaitan dengan perasaannya.
Ia bertekad, untuk mulai mengubur perasaannya dalam liang paling dalam.
Saat ini, Evano tengah mencuci piring bekas makan kemarin malam. Setelahnya menyapu rumah, lalu mandi untuk bersiap ke kantor. Sedangkan Bianca? Sepertinya gadis itu belum bangun dari tidurnya.
Tak lama, alarm Bianca berbunyi. Ia meraba sekitar kasurnya untuk mencari keberadaan ponselnya. Ya, dia berhasil menemukannya.
Segera ia matikan alarm, dengan langkah yang sempoyongan Bianca bangkit menuju jendela. Ia hendak menyingkirkan gorden agar cahaya matahari pagi bisa menembus kamarnya.
"Hoammm."
Terowongan besar terbentuk di mulutnya, ia menutup area itu dan menepuk-nepuknya pelan.
Seketika Bianca teringat akan Evano. Bagaimana keadaan lelaki itu? Dari kemarin sikapnya berbeda. Bianca bahkan tidak bertegur sapa semenjak pulang dari kantor.
Bianca penasaran, apa yang sebenarnya terjadi.
Gadis itu memutuskan untuk melihat keadaan Evano. Ia sudah berada di gerbang-gerbang mini lantai 2, didekat tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua.
Nihil, Bianca tak mendapati sosok Evano disana. Biasanya, jam segini Evano sudah mulai bersih-bersih dan menyiapkan sarapan.
Namun, dapur dan sekitarnya sudah rapi. Berarti Evano sudah selesai mengerjakan tugas rumah. Bianca memberanikan diri turun ke lantai satu, menuju kamar Evano yang ada disana.
Saat ini, Bianca sudah ada di depan pintu kamar Evano. Ingin mengetuk pintu tapi perasaannya ragu. Sedari tadi hanya mondar-mandir di depan pintu kamar. Sampai akhirnya membulatkan tekad untuk menyapa Evano.
Tok tok
"Van?" Panggil pelan Bianca dari arah luar.
"Evano? Lo udah bangun?" Bianca kembali bertanya untuk memastikan keadaan Evano.
"Udah."
Terdengar suara samar-samar dari arah dalam. Siapa lagi kalau bukan Evano. Bahkan ia tetap tidak membukakan pintu kamarnya.
"Nyapu, nyuci piring, ngepel, udah lo kerjain?" Bianca terlalu bodoh menanyakan pertanyaan ini, Evano pasti akan semakin kacau karena ia pasti berpikir Bianca hanya memperlakukannya sebagai seorang babu. Mana mungkin ratu akan mencintai seorang babu.
"Hmm." Evano hanya berdehem pertanda mengatakan "iya". Bianca semakin menyadari ada sesuatu yang berbeda. Evano terlihat sangat cuek, sangat berbeda dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JINGGA [END]
General FictionWARNING ⚠️ Cerita ini tidak cocok untuk yang mau langsung uwu-uwuan di awal. Karena, alur nya emang awal-awal sedih. Jadi, berproses ya manteman. Kalau kamu mau dapat feel-nya, baca keseluruhan ya, jangan setengah-setengah. Blurb : "Gue hamil. Ini s...