Sacrifice

419 40 1
                                    

Chapter ini butuh penghayatan supaya feel-nya dapat.

Kalau perlu, putar lagu yang sendu biar semakin menusuk relung hati kalian :)

Happy Reading 🧡
____________________

Bianca memangku kepala Evano. Sedari tadi mata dan tangannya tak lepas dari luka tusuk di perut lelaki itu. Semakin terisak tangisnya, bahkan air mata Bianca juga berjatuhan mengenai wajah Evano.

Evano mendongak ke atas. Ia memandangi wajah Bianca. Ia menatapnya dalam-dalam. Mengamati secara detail paras indah hasil karya Tuhan yang tampak sempurna.

Namun, ada rasa sakit saat ia melihat wajah Bianca. Mukanya yang lebam, rambutnya yang berantakan, matanya yang terus mengeluarkan air mata. Semua itu membuat Evano sakit. Semua itu membuat Evano sedih tak kuasa.

"Bi, pipi lo lebam. Mulut lo berdarah. Pasti sakit banget, ya? Maaf ya, gue telat. Gue telat nemuin lo. Ini semua salah gue. Andai gue nggak ngebiarin lo pergi sendirian. Lo nggak akan seperti ini. Maafin gue, Bi. Gue gagal jagain lo." Suara Evano terdengar parau, tangan kirinya menyeka sudut bibir Bianca yang berdarah.

"Hiks. Gaperlu minta maaf, lo nggak salah. Gue nggak apa-apa, kok. Lo tahu gue kuat, kan? Gue nggak akan ngerasa sakit cuman karena luka ini." Ucapnya berusaha tegar, padahal di dalam hatinya sudah berkecamuk tak karuan.

Senyum Evano mengembang. Senang rasanya melihat Bianca dari jarak dekat seperti ini. Senang rasanya Bianca tampak menangis dan mengkhawatirkan keadaannya. Apa Bianca sudah tidak membencinya lagi?

"Lo cantik, Bi. Gue takut. Gue takut nggak akan bisa liat wajah cantik lo lagi," serunya sembari membenarkan anak rambut Bianca yang tampak berantakan.

Semakin hebat Bianca memuntahkan air matanya. Ia ingat benar. Kavin pernah mengatakan hal seperti itu sebelum pergi jauh meninggalkannya. Sekarang, Evano mengatakan hal yang sama. Apa ia juga akan pergi jauh meninggalkannya? Tidak. Evano tidak boleh pergi. Apapun yang terjadi, Evano tidak boleh pergi jauh seperti Kavin yang meninggalkannya sendirian. Biarlah semua orang mengatakan dirinya egois. Ia tidak peduli, dia memang harus egois kali ini.

"Jangan ngomong gitu! Gue benci dengernya, hiks." Bianca semakin mencengkram kuat bahu Evano. Membawa Evano semakin dekat dalam pelukannya.

Lagi-lagi, senyum Evano mengembang. Ternyata seperti ini rasanya. Evano tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Bianca yang selalu mengacuhkannya. Bianca yang selalu mengatakan membencinya. Bianca yang selalu merutuki dirinya karena menyesal pernah dipertemukan dengannya. Kali ini, Bianca begitu erat mendekapnya. Bianca begitu cemas dan mengkhawatirkannya. Apa salah jika Evano merasa senang?

"Lo jaga diri baik-baik, ya? Mungkin tugas gue cuma sampai disini, Bi."

"Nggak. Lo jangan ngomong aneh-aneh. Lo yang harus jagain gue selamanya. Lo sendiri kan yang bilang bakal tanggung jawab sama gue? Jadi, lo harus tepatin itu. Gue nggak mau tau!" Bianca menyandarkan kepalanya pada kepala pria itu. Ia juga terus memegangi luka Evano, berharap darahnya berhenti dan tidak akan keluar terus menerus.

"KALIAN KENAPA DIAM AJA, HA? BANTU GUE BAWA EVANO KE RUMAH SAKIT! BANG, AYO KITA BAWA EVANO. HIKS," teriaknya kesal seraya memohon pada Fabian untuk membantunya ke rumah sakit.

Mereka semua langsung terkesiap. Bukannya tidak ingin membantu, mereka hanya memberikan sedikit ruang untuk kedua manusia yang selalu terluka itu.

"Lo duluan aja ke rumah sakit! Gue sama Monica stay dulu disini nungguin polisi datang. Nanti kami nyusul kalau mereka semua udah diamankan." Perintah David kepada Fabian dan langsung dibalas anggukan oleh pria itu.

JINGGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang