Sadness

492 39 1
                                    

Tuhan
Apa aku memang dilahirkan untuk terluka?
Apa aku tidak pantas untuk bahagia, sebentar saja?
Apa kedua mata ini memang diciptakan untuk menyuarakan kesedihan?
Apa kedua kaki ini memang diciptakan untuk menopang tubuhku yang penuh luka?

Sebentar saja, Tuhan.
Sebentar, saja.
Aku ingin mencicipi sedikit saja kebahagiaan seperti mereka.
Mengapa mereka yang berhati tulus selalu pergi meninggalkanku?
Apa terlalu hina diri ini hingga tak pantas untuk dicintai begitu lama?

Sebentar saja, Tuhan.
Aku mohon beri aku kebahagiaan.
Kembalikan dia yang kan menjadi alasanku untuk bahagia.
Kembalikan....
Jika Engkau berkenan, Tuhan.

-Bianca Hansel Almeera-


____________

Bianca membuka matanya perlahan. Kepalanya sedikit pusing, dan hal yang pertama kali ia lihat adalah langit-langit ruangan. Tampak asing, bukan seperti di kamarnya. Bianca mencoba mengamati sekitar. Matanya sedikit memicing dan mengamati wanita yang menidurkan kepala di brankar-nya. Wanita itu adalah Astrid, Ibunya.

“Ma,” panggilnya pelan seraya mengelus kepala sang ibu hingga membuat paruh baya itu terbangun.

“Kamu sudah bangun, sayang? Jangan bangkit dulu, kamu masih lemas, Nak,” perintah Astrid saat melihat Bianca hendak bangkit.

“Bianca dimana, Ma?” Beo gadis itu kebingungan.

Tak hanya sang ibu, ternyata Bianca juga melihat ketiga sahabatnya disana. Elma, Alana, dan Monica. Mereka masih tertidur di sofa dengan posisi duduk dan saling berhimpitan.

“Di rumah sakti, Nak. Kemarin malam kamu pingsan.”

Mendengar kata rumah sakit, entah mengapa membuat hati Bianca sedih. Raut wajahnya sendu. Tanpa sadar air matanya lolos begitu saja dari tempat asalnya. Astrid kebingungan, mengapa anaknya tiba-tiba menangis seperti ini.

“Hiks. Bianca mimpi, Ma. Bianca mimpi Evano ninggalin Bianca. Bianca mimpi dia pergi jauh seperti Kavin meninggalkan Bianca. Bianca takut, Ma. Bianca takut,” ucapnya seraya memeluk pinggang sang ibu dan menumpahkan tangisnya dalam pelukan Astrid.

Astrid tak kuasa membendung air matanya. Ia ikut menangis. Tak tega melihat putrinya seperti ini. Yang Bianca katakan bukanlah mimpi, melainkan kebenaran. Evano memang sudah pergi, pergi jauh seperti Kavin meninggalkannya.

Kemarin, saat di ruang ICU, Bianca jatuh pingsan. Untungnya, Elma dan Alana dengan sigap menampung tubuh gadis itu. Bianca di bawa ke salah satu ruangan rumah sakit untuk rawat inap. Tak lama setelah Bianca pingsan, kedua orangtuanya datang bersama dengan Monica dan David. Setelahnya di susul oleh kedatangan Carissa, ibunda Evano beserta kedua adiknya.

Keadaan rumah sakit mendadak mencekam. Suara tangis saling bersaut-sautan. Hati orangtua mana yang tak hancur saat kehilangan anaknya? Hati orangtua mana yang tak sakit melihat anaknya jatuh terluka dengan kondisi yang memprihatinkan? Tidak ada orang tua yang siap meski hanya melihat anaknya tergores sedikit saja.

______________
Flashback On

“Bian, dimana adikmu? Bagaimana keadaannya?” ucap Astrid saat tak melihat keberadaan putrinya disana.

Fabian mengacak rambutnya kasar. Wajahnya pun sudah tak karuan lagi. Rambutnya berantakan. Matanya sembab. Serta wajahnya yang lebam karena bertarung dengan para penjaga yang menculik Bianca.

“Ada di dalam, Ma. Bianca pingsan,” jawabnya seraya menoleh ke arah pintu tempat Bianca di rawat.

Tanpa berpikir panjang, Astrid langsung berlari masuk ke dalam ruangan. Diikuti oleh Miranda dan bayi kecilnya, Syaqilla. Di ruangan Bianca, ternyata sudah ada Alana, Elma, dan Monica yang menunggunya.

JINGGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang