Saat ini, Bianca sudah berada di dalam taxi. Tangisnya sedari tadi tak henti. Gadis itu menahan tangisnya agar tak mengeluarkan suara. Namun, air mata justru terus tumpah dari tempat asalnya.
Setiap kali ia menyeka air mata, hasilnya hanya akan sia-sia. Wajahnya tetap saja dibanjiri bulir bening itu meski tanpa persetujuannya.
Supir taxi itu menampakkan raut keheranan. Ia tidak tahu apa yang sedang dialami gadis dibelakangnya hingga menangis hebat. Ingin bertanya, tapi ia takut akan mengganggu privasi penumpangnya.
Biarlah, mungkin gadis itu butuh waktu sendirian tanpa harus ada yang bertanya ada apa dan mengapa.
Saat ini, Bianca hanya ingin di dengar. Bianca hanya ingin menumpahkan tangisnya tanpa harus ditanya apa penyebabnya. Gadis itu ingin dipeluk, dimengerti, dipahami.
Satu-satunya yang bisa mendengarkan tanpa banyak bicara hanyalah Kavin.
Ya, dia akan mengunjungi rumah Kavin sekarang.
Bianca terus menatap bahu jalanan dengan tatapan kosong, namun tetap dengan matanya yang terus saja memuntahkan bulir beningnya.
Tanpa terasa, akhirnya taxi itu sudah berada di gerbang pemakaman. Bianca langsung membayar sebelum akhirnya turun.
"Semangat, Mbak. Meski saya tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Mbak, saya yakin Mbak bisa melewati semuanya. Saya yakin, Mbak ini orang yang kuat," ujar pria selaku supir taxi tersebut.
Bianca hanya melayangkan senyum sekilas, setelahnya langsung turun dan berlari menuju makam Kavin.
Bianca langsung menjatuhkan tubuhnya di atas makam Kavin. Memeluk gundukan tanah beralaskan keramik itu yang seolah-olah adalah Kavin. Menangis sejadi-jadinya seolah pria itu akan menyeka air matanya.
Gadis itu tak peduli keadaan sekitar. Meski orang-orang akan menganggapnya gila, ia tak peduli. Yang ia tahu, ia hanya akan berbagi cerita dengan Kavin meski hanya akan dibalas semu.
"Vin, aku hancur. Aku hancur banget, hiks," ucapnya seraya mengelus lembut makam itu.
"Kamu bisa denger suara aku, kan? Kamu bisa lihat aku dari atas sana, kan? Aku malu, aku malu ada di sini sekarang. Tapi, aku gatau harus cerita kemana, Vin. Aku cuma punya kamu, dan kamu malah tega ninggalin aku. Aku ngerasa hancur banget. Hiks."
"Bangun, Vin. Please, bangun! Peluk aku sekarang, kuatin aku. Aku bener-bener udah hancur sekarang. Aku butuh kamu disini. Aku butuh semangat dari kamu. Bangun, Vin! Bangun, hiks," isaknya memukuli pelan gundukan tanah yang sudah dialasi keramik itu.
Bianca terus mengatakan hal-hal yang justru semakin menyakiti hatinya. Sekuat apapun ia meminta, sekeras apapun tangisnya, tetap saja tidak akan pernah bisa mengembalikan Kavin seperti sedia kala.
"Kamu tau ngga, Vin? Hari ini, Papa bentak aku. Papa hampir aja tampar aku, Mama juga marah dan ngga mau liat muka aku. Abang, Kak Mira, mereka semua kecewa sama aku. Ngga ada yang ada di pihak aku, Vin. Ngga ada yang peduli sama rasa sakit yang aku alami. Aku tahu, aku melakukan kesalahan besar. Tapi, aku juga ngga mau semua ini terjadi. Ngga mau, Vin. Hiks."
"Kamu tahu ini semua gara-gara siapa?"
"Gara-gara Evano. Gara-gara laki-laki brengsek itu. Andai aku ngga ketemu sama dia, semua ngga akan jadi begini, Vin. Aku menyesal ketemu dia. Aku benci dia. Benci dia, Vin."
Gadis itu terus berucap panjang lebar. Ia memang ingin menceritakan semua, agar hatinya merasa lega.
Gadis itu mengangkat tubuhnya, pakaiannya sedikit kotor karena telah menyentuh tanah. Bianca mengelus lembut batu nisan Kavin.
"Kamu gimana disana? Apa kamu bahagia?"
"Kamu tahu ngga? Kamu itu satu-satunya orang yang paling aku percaya setelah keluarga. Kamu itu baik, penyayang. Kalo kamu ada, aku yakin kamu ngga akan biarin aku sedih apalagi sampe nangis gini. Aku harap kamu ngga kecewa ya sama aku?"
"Kamu yang selalu bilang aku harus kuat, ngga boleh cengeng, aku harus bisa bersikap dewasa, aku harus jadi Bianca yang ceria. Tapi, hari ini, aku khianatin semua nasehat kamu, Vin. Aku baru sadar, ternyata aku lemah. Aku ngga sekuat yang kamu kira. Aku cengeng, aku gagal bersikap dewasa, dan aku egois, Vin. Egois banget, hiks."
"Terima kasih, Vin. Kamu pernah hadir di hidup aku. Maaf udah buat kamu kecewa, maaf aku gagal jadi Bianca yang selalu kamu harapkan. Bianca yang kamu kira kuat dan ceria, ternyata hanya seonggok manusia lemah yang tak berdaya."
"Maafkan aku, Kavindra," tutupnya seraya mencium nisan lelaki itu.
Gadis itu berjalan sempoyongan meninggalkan makam. Tangannya memijit pelan pelipisnya yang mulai pusing.
Wajar saja, ia sudah menangis cukup lama. Kepalanya pasti akan bereaksi pusing setelahnya.
Apalagi, Bianca sedang hamil. Dengan usia kandungan yang masih berkisar dua bulanan, hormonnya pasti masih sering berubah-ubah.
Bianca harus kuat. Bianca tidak boleh lemah. Ini semua demi anaknya, demi calon bayi yang ada di perutnya.
"Maafkan Mama, ya. Mama akan berusaha kuat demi kamu. Mama harap, kamu mengerti keadaan Mama sekarang. Yang kuat di dalam ya, sayang?" Ujarnya sembari mengelus-elus perutnya dengan lembut.
Saat ini, Bianca tidak tahu mau kemana. Ingin pulang ke rumah, tapi dia tidak ingin bertemu Evano.
Ingin kembali ke rumah Adyatma, tapi ia takut membuat orangtuanya semakin murka.
Ingin berkunjung ke rumah sahabat-sahabatnya, tapi Bianca takut mereka akan membencinya saat mengetahui semua.
Buntu pikirannya. Kakinya berjalan tanpa arah. Hatinya terus menangis tanpa suara. Matanya terus menatap kosong seluruh objek di hadapannya.
Bianca terus berjalan meski tak tahu harus kemana. Langkah kakinya terhenti pada sebuah halte yang berada agak cukup jauh dari pemakaman.
Dia mendudukkan tubuhnya yang lemas pada kursi panjang disana. Kedua tangannya mencengkram erat besi panjang itu.
Suasana cukup sepi, hanya sedikit pengemudi yang nampak melewati jalanan.
Perlahan, mentari kembali menyembunyikan dirinya. Langit mulai petang, pertanda malam akan segera datang.
Di tengah lamunannya, kedua mata Bianca mendadak mengerjap-ngerjap karena kilauan lampu mobil.
Cahayanya cukup menembus matanya, hingga tak mampu melihat dengan jelas sekitar.
Mobil itu berhenti di dekatnya. Setelahnya, menampakkan dua orang bertubuh besar keluar dari mobil itu.
Bianca tertegun, raut wajahnya syok. Ia seperti pernah melihat mobil dan juga dua orang berbadan tegap itu.
Pupil Bianca melebar saat ia mengingat kejadian beberapa bulan lalu saat ia kembali dari makam Kavin.
Ya, orang yang berusaha menculiknya, kini datang lagi dan berada di hadapannya.
"MASUK LO!" Ucap salah seorang pria bertopeng itu sembari menarik kasar tubuh Bianca agar masuk ke dalam mobil.
"Lo siapa? Lepasin gue!" Celetuknya seraya menangkis tangan pria itu kasar.
Namun, tubuh mungilnya tetap saja tak mampu melawan pria yang tak dikenalnya itu. Apalagi, mereka berkelompok, sedang Bianca hanya sendirian.
"JANGAN BANYAK BACOT! IKUT GUE SEKARANG!" Ucap pria satunya lagi dan menarik paksa tangan Bianca.
Tubuh Bianca terhuyung, ia sudah berada di dalam mobil bersama para pria misterius itu. Tak lama, salah seorang pria itu membekap mulutnya dengan sapu tangan yang sudah diberi obat bius.
Cengkraman Bianca pada pria itu melemah, matanya mulai mengerjap pelan dan tak lama tertutup dengan sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
JINGGA [END]
General FictionWARNING ⚠️ Cerita ini tidak cocok untuk yang mau langsung uwu-uwuan di awal. Karena, alur nya emang awal-awal sedih. Jadi, berproses ya manteman. Kalau kamu mau dapat feel-nya, baca keseluruhan ya, jangan setengah-setengah. Blurb : "Gue hamil. Ini s...