"GIMANA SIH LO SEMUA? NGURUS PEREMPUAN SEBIJI AJA PADA GA BECUS," bentak seseorang di dalam ruangan yang tampak seperti gudang.
"Maaf, Bos. Kalo bukan karena pahlawan kesorean itu, kita pasti udah berhasil nyelesain perintah Bos." Salah seorang pria tegap angkat bicara dengan sedikit menunduk ke bawah.
"GUE GAMAU TAU DAN GAMAU DENGAR ALASAN APAPUN. LAIN KALI LO SEMUA HARUS BERHASIL NYINGKIRIN PEREMPUAN SIALAN ITU!"
"Baik, Bos." Ketiganya berbalik badan lalu melangkah meninggalkan ruangan.
Seseorang yang dipanggil "Bos" itu terlihat sangat marah. Tergambar dari ekspresi wajahnya yang kesal dan gerahamnya saling berlaga membuat area pipinya bergerak-gerak.
Jemarinya digenggam kasar, pun juga matanya terbelalak pada salah satu objek di ruangan tak beraturan itu. Bayangkan saja bagaimana isi gudang yang kumuh dan jarang di tempati, begitulah ruangan yang menjadi basecamp komplotan itu merencanakan kejahatan.
Manusia misterius dengan tubuh tidak terlalu tinggi, berjalan menuju objek yang menjadi pusat kemarahannya sedari tadi. Tangannya mulai meraba objek yang ternyata adalah kumpulan foto-foto Bianca dan Kavin.
Jejeran foto itu hanya menampakkan jelas wajah Kavin, sedang wajah Bianca sudah habis dicoret-coret. Hanya menampakkan sedikit wajahnya saja.
Setelah Kavin, selanjutnya lo yang akan dijemput malaikat maut! Gumam sosok itu seraya menekan foto wajah Bianca dengan kuku panjangnya.
***
Evano segera berpamitan pulang usai mengantar Bianca. Ingin singgah, namun waktu semakin mendekati larut. Tak mungkin ia bertamu di jam rawan seperti ini.
Di kamar, Bianca merebahkan tubuhnya pasrah di atas kasur. Biasanya, ia akan langsung mandi begitu sampai di rumah. Aktivitas apapun, jika sudah membawa dirinya keluar dari rumah, pastilah ia akan membersihkan diri setelahnya.
Rajin sekali Bianca ini, ya.
Namun, karena tadi ia sudah mandi saat berada di rumah Evano, hingga tak perlu lagi mandi di jam malam. Paling, hanya sekadar cuci muka dan kaki saja.
Bianca pun mengenakan baju Carissa, ibunda Evano. Maklum saja, tubuh mungil mereka yang hampir tidak ada bedanya, membuat Bianca cocok sekali mengenakan pakaian Carissa.
"Arghhh."
Bianca mengacak rambutnya, memukul pelan kepalanya saat mengingat perkataan Evano. Ia masih tidak menyangka, Evano mengatakan hal yang menurutnya sangat tidak masuk akal untuk kondisinya yang sekarang.
Baru satu bulan kepergian Kavin, ia sangat mencintai lelaki itu. Mana mungkin ia bisa mencintai lelaki lain selain Alfarezi Kavindra.
"Sampai kapanpun, aku ngga akan lupain kamu, Vin. Aku ngga akan khianatin janji kita. Kalo aku ngga bisa hidup bareng kamu, itu berarti aku juga ngga akan mau hidup bersama laki-laki lain," ucapnya menatap sendu teddy bear di hadapannya.
Bianca memeluk erat boneka itu, menumpahkan kembali tangisnya. Bulu halus pada boneka menjadi sedikit lembab karena air matanya. Belum lama ia mendekap teddy bear, seketika ponselnya berdering dan membunyikan notifikasi whatsapp.
Nomor tidak dikenal?
Bianca mengernyitkan dahi saat mengintip notifikasi whatsapp dari layar handphone-nya. Ia penasaran siapa yang menghubunginya malam-malam begini, apalagi dengan nomor baru yang tak pernah ia simpan sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JINGGA [END]
General FictionWARNING ⚠️ Cerita ini tidak cocok untuk yang mau langsung uwu-uwuan di awal. Karena, alur nya emang awal-awal sedih. Jadi, berproses ya manteman. Kalau kamu mau dapat feel-nya, baca keseluruhan ya, jangan setengah-setengah. Blurb : "Gue hamil. Ini s...