Memories On The Beach

525 98 33
                                    

Ruang tamu terlihat ramai karena suara televisi yang di tonton oleh Carissa. Kedua anaknya yakni Farah dan Barra tampak serius mengerjakan tugas sekolah di sebuah meja dekat dirinya. Sedang Evano masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya di dalam kamar.

Suasana semakin pecah saat remaja lelaki itu mengganggu kakaknya yang sedari tadi tak kunjung menyelesaikan pekerjaan rumah alias PR. Anak itu sengaja bernyanyi ria dekat telinga Farah untuk memecah konsentrasinya. Farah yang pusing karena tugas matematikanya semakin pusing lagi melihat tingkah adiknya. Wahh jahil sekali Barra, ya.

“Husttt. Belajar apa berantem ini? Mama masih asyik nontron drakor, ntar aja berantemnya kalo drakor mama selesai,” ucapnya melerai sejoli yang masih asyik beradu argumen.

Wahh sudah ibu-ibu tontonannya drakor, ibu zaman now sekali Carissa ini. Namun, bukannya berhasil melerai mereka, pertengkaran justru semakin menjadi. Suara televisi kalah jauh dengan mereka berdua yang saling meneriaki. Rupanya keramaian itu sampai ke telinga Evano, menyebabkan ia turun dan meghampiri ibu dan adik-adiknya.

“Ya ampun, Farah, Barra. Stop! Atau kalian mau uang jajan abang potong?” ancamnya dan berhasil menghentikan kebisingan di ruangan.

Kalimat itu benar-benar mujarab dan tidak pernah gagal sekalipun. Kedua remaja mendadak bungkam saat uang jajannya terancam. Mereka menjadi penurut dan kembali ke meja untuk belajar dan mengerjakan tugas. Ibu hanya menggelengkan kepala melihat ketiga anaknya, sudah paham betul sepertinya.

“Ma, Evan mau nanya, boleh?” lelaki itu mendudukkan bokongnya di sebelah Carissa.

“Boleh dong. Nanya apa, Nak?”

“Traumanya seseorang bisa disembuhin ngga, Ma?” tanya Evan dengan ekspresi serius.

“Trauma dalam hal apa, Nak?” sang ibu bertanya balik.

“Ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai,”

Mendengar kata cinta-cintaan, kedua remaja yang terlihat serius menatap buku bacaan mendadak mengalihkan perhatian ke arah ibu dan abangnya. Melihat hal itu, Evan membelalakkan matanya dan membuat sejoli itu kembali merunduk cemberut.

“Menurut Mama bisa, trauma dalam hal apapun pasti bisa disembuhin. Yang terpenting harus selalu dalam pengawasan dan perhatian orang-orang sekitar. Orang yang trauma, jangan dibiarkan berjalan sendiri. Karena, hal itu cuma akan membuatnya terus merasa takut atas hal yang pernah terjadi dalam hidupnya. Perhatian keluarga, teman, dan orang-orang sekitar sangat dibutuhkan untuk mengembalikan motivasi hidupnya. Mama juga pernah mengalami hal itu, saat Papa kamu meninggal, ekonomi kita anjlok, ketiga anak Mama membutuhkan biaya, Mama begitu stress, putus asa dan hampir bunuh diri. Tapi, melihat kalian bertiga di dekat Mama membuat Mama sadar bahwa hidup harus terus berjalan. Kamu begitu telaten mengurus Mama yang sakit-sakitan, mengurus adik-adikmu padahal kamu sendiri juga masih sekolah. Kalian adalah alasan Mama bertahan hingga saat ini. Bukankah sekarang Mama sudah kembali bangkit dan jauh lebih baik dari sebelumnya? Dan itu semua karena kamu, Farah, dan Barra yang selalu mendukung dan ada di dekat Mama,” Carissa menjelaskan dengan mata yang berbinar.

Begitu pun Evano, ia terhanyut dalam perkataan sang ibu. Benar adanya, jika bukan karena kerja kerasnya, entah akan seperti apa keluarganya saat ini. Ia memang begitu berjasa dalam hidup keluarga, namun tak pernah sedikitpun mengeluh. Sebab ia tahu, bahu yang ia punya memang sudah ditakdirkan untuk memikul dan menanggung segala hal tentang keluarganya.

JINGGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang