Long Friend

382 78 15
                                    

Usai memastikan Bianca baik-baik saja, mereka melajukan mobil kembali agar segera sampai di rumah. Gadis itu sudah lelah, ingin segera merebahkan tubuh pada ranjang kesayangannya. Tak lama, terdengar notifikasi handphone Bianca yang tak henti-hentinya.

Queen BEAM

Monica
Bi, gimana keadaan lo? Gue dengar kabar, katanya lo nyaris tenggelam :(

Elma
What? Lo ngga nyebar berita hoax kan, Mon?

Monica
Mon, mon, lo pikir gue monyet. Panggil gue Ica!
Gue ngga hoax, berita itu udah kesebar luas.
Lo aja yang ga update.

Elma
Yaelah pekara nama doang sewot banget, mbak.
Eh kok bisa sih, Bi?
Seingat gue lo bisa berenang.
Ngga masuk akal keknya kalo lo tenggelam.

Monica
Namanya juga musibah, yang ga mungkin bisa jadi mungkin.
Gue mau ke rumah Bianca, kalian berdua ikut ngga?
Alana mana nih?
Hello, @Alana?

Elma
Ikutlah, yakali ga ikut.
Tau tuh si Alana, sok sibuk banget.
Woy @Alana, muncul dulu lo, lagi urgent juga.

Bianca
Apa sih kalian? Berisik banget.
Gue ngga papa kok.
Lagi di jalan otw pulang.

Elma
Ya ampun my Bianca, akhirnya lo nongol juga.
Syukur deh kalo gitu, gue seneng dengarnya.

Alana
Ada apanih udah rame aja?
Sorry guys, gue baru buka hp.

Elma
Budayakan membaca, mbak!
Waktu terlalu berharga untuk mengulang kembali.
Udah ah, waktunya bubar.
Bubar gaes bubar!

Alana
Bener-bener lo ya, El.
Awas lo ketemu gue!

FYI:
BEAM, adalah singkatan dari huruf awal nama mereka masing-masing.
B : Bianca
E : Elma
A : Alana
M : Monica

Ketiga sahabatnya memang terkadang membuat geleng kepala. Namun, Bianca bersyukur karena mereka khawatir akan keadaannya. Itu berarti, mereka menyayangi Bianca dan tidak ingin sesuatu yang buruk menimpanya.

Sekitar hampir tiga jam perjalanan, akhirnya mereka akan segera sampai di kediaman Bianca. Bianca terlihat mengarahkan jalan pada Evano. Wajar saja, ini kali pertama bagi lelaki itu berkunjung ke rumah bos-nya.

“Di depan ada pertigaan. Setelah itu belok kiri, Van. Rumah gue ngga jauh dari situ,” telunjuknya mengarah ke depan memberitahukan jalan.

Evano mengangguk pertanda memahami instruksi Bianca. Seharusnya mereka sudah sampai sejak tadi, namun kemacetan yang mendadak menyebabkan mereka tiba lebih lama.

Di kediaman Bagaskara, para keluarga sudah menunggu kedatangan Bianca, begitu juga dengan ketiga sahabatnya. Mereka menanti dalam kecemasan, takut-takut jika gadis itu terluka atau mengalami hal membahayakan.

Beberapa waktu kemudian, terdengar gemuruh mobil di halaman depan. Buru-buru mereka berlari ke arah sumber suara. Segera Astrid berlari dan memeluk putri semata wayangnya.

“Gimana keadaan kamu, Nak? Mama khawatir banget sama kamu,” ucapnya terisak seraya menempelkan kedua tangannya di pipi Bianca dan sesekali mengelus kepalanya.

“Bianca ngga papa, Ma. Cuma sedikit pusing aja,” sahutnya mengarahkan tangan di kepala.

Entah apa yang merasuki sahabatnya, mereka malah lebih fokus pada lelaki tampan yang datang bersama Bianca. Fabian, Miranda, pun juga ibunya menampilkan raut keheranan perihal keberadaan Evano.

“Na, apa jatah hidup gue di dunia udah habis? Gue ngeliat malaikat ganteng banget,” gumam Elma dengan mata yang tak berkedip sedari tadi.

“Iya. Ntar lagi gue kubur lo,” usil Alana membuat Elma mendengus kesal.

Kehadiran Evano membuat Fabian berpikir lebih keras. Pasalnya, wajah Evano terlihat sangat tidak asing. Seperti pernah melihat, dimana? Setelah lama mengamati, akhirnya ia sadar bahwa Evano adalah teman karibnya saat di SMA.

“Woy, Bro. Lo Evano, kan? Alumni SMA Highlight?” Fabian berjalan menghampiri Evan dengan posisi telunjuk yang mengarah ke arah lelaki itu.

Persis seperti Fabian, Evano pun tak mengingat dan baru tersadar beberapa saat kemudian.

“Eh lo Fabian, kan? Temen karib gue dulu. Wah ngga nyangka gue kita bisa ketemu disini,” Evano membalas uluran tangan Fabian dan akhirnya mereka bertemu dalam pelukan.

Keenam gadis disitu hanya terdiam melihat keduanya. Bingung dan terpaku sejenak memandangi dua lelaki yang sedang bernostalgia. Dunia luas, namun terkadang tampak sempit, apalagi kalau bukan takdir.

“Ayo masuk dulu, Nak. Bicaranya di dalam saja,” Astrid mempersilakan Evano dan lainnya untuk duduk di dalam rumah.

Mereka sudah berada di ruang tamu, duduk pada sofa yang disediakan. Miranda beranjak ke dapur, untuk mengambil minum dan beberapa cemilan untuk para tamu. Elma, Monica, dan Alana pun turut mengikuti Miranda untuk membantunya.

“Gimana kabar, lo? Dan kenapa bisa ada disini?” Evano bertanya penasaran.

“Gue baik. Ya ini kan rumah keluarga gue, Bianca itu adek gue, yang dulu selalu lo ganggu setiap main ke rumah gue.”

Evano berpikir sejenak, mencerna apa yang baru saja diucapkan tema lamanya itu. Benar, dulu Evano memang sering sekali berkunjung ke rumah Fabian. Tapi bukan disini, di rumah lama mereka.

Keluarga Bagaskara belum lama berada di rumah yang sekarang mereka huni, baru sekitar dua tahun lebih. Itupun setelah Fabian menikah, keluarganya memutuskan untuk pindah ke rumah yang sedikit lebih besar. Antisipasi untuk kehadiran junior-junior baru, katanya.

“Loh, jadi Bianca itu adek lo yang dulu selalu nangis pas gue gangguin?” Perkataannya membuat Bianca mengernyitkan dahi, mencoba mengingat kembali apa yang dua lelaki itu katakan.

“Oh jadi lo Eno? Cowo jail yang sering gangguin gue dulu,” sambungnya menanggapi percakapan abang dan juga atasannya di kantor.

Mereka semua tertawa mendengar apa yang baru saja diucapkan Bianca. Eno, adalah panggilan khusus darinya untuk Evan. Bianca bilang, Evano itu ada kepanjangannya. Emang Valing Norak, adalah istilah yang Bianca sematkan untuk lelaki itu. Kenapa Bianca bisa berpikir seperti itu? Yah, itu karena tingkah Evano yang selalu menjahili dan membuatnya menangis. Menurut Bianca hal itu sangat norak, cocok sekali dengan namanya. Namun, terlalu sempurna rasanya jika ia memanggilnya Evano, itulah sebabnya ia memutuskan untuk memenggalnya menjadi Eno.

Astrid pun turut larut dalam percakapan, ia pun menyadari bahwa Evano adalah teman anaknya yang dulu sering bermain ke rumah.

Namun, semuanya mendadak berubah ketika Evano harus menjadi tulang punggung untuk keluarganya. Ia tak lagi bermain ke rumah Fabian, tak lagi sering menghabiskan waktu bersama, dan selalu buru-buru pulang ketika bel sekolah berbunyi. Fabian mengerti, temannya sedang dalam lingkaran masalah. Berkali-kali ia mencoba membantu Evano, namun selalu di tolak dengan dalih ingin mandiri.

“Oh ya, lo kok bisa nganterin adek gue?” Fabian bertanya penasaran.

“Aduh saking asyiknya nostalgia gue sampe lupa cerita. Jadi, sekarang gue kerja di Bagaskara Group. Sebagai wakil direktur, wakil Pak Adyatma. Kita lagi acara tahunan kantor di umbrella beach, tapi tiba-tiba Bianca nyaris tenggelam. Gue nolongin dia, dan akhirnya disuruh anterin pulang karena bokap lo takut terjadi apa-apa. Jadilah gue mendarat disini sekarang.”

Mereka mendengarkan dengan seksama, dengan sesekali menganggukkan kepala sebagai  respon alamiah.

“Makasih, ya. Kamu udah nolongin anak Tante.”

“Sama-sama, Tante. Evano juga senang kok bisa bantu Bianca.”

Quotes:
Waktu akan berlalu, pun juga kenangan yang perlahan usang menjadi debu. Namun tidak dengan individu yang bisa saja bersua sewaktu-waktu.

-Nur Halijah-

JINGGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang