Bab 2

15.7K 203 0
                                    

Si belang menatap lurus kepada Yatta dengan mata bundarnya. Ekornya tegang menusuk langit. Dia menoleh, memperhatikan sepotong daging ikan lele di atas lantai, kemudian kembali menatap Yatta. Sorot matanya berbicara, 'lo kesambet tong? Ada racunnya ngga nih?' Sama seperti si Otoy yang melotot dengan bibir jatuh terkulai.

Mamalia kaki dua dan kaki empat itu sama-sama menolak untuk mempercayai mata mereka. Yatta! Yang biasa makan hingga piringnya bersih seolah tak pernah digunakan, hingga tidak bersisa apapun untuk sekedar diendus oleh si Belang, sekarang memberikan secuil daging ikan.

Otoy menekuk kedua kaki dan bersujud. Wajah menghadap langit, mata terpejam dengan mulut komat kamit. Kedua telapak tangannya sejajar dengan kepala, dan terbuka menghadap wajah.

"Toy, lo kenape?" Yatta mengangkat alis sambil memperhatikan Otoy. Suaranya agak terbenam oleh mulut yang penuh, cemong nasi dan sambal terasi memenuhi pipi.

"Ssstt, gue lagi berdoa. Bentar lagi kiamat."

Yatta terperangah mendengar jawaban Otoy. Sebelum selesai mencerna maksud tersembunyi si Otoy, ekor matanya menangkap sebuah bayangan besar di ujung lorong. Lorong tempat kamar kos mereka berada penerangannya remang, tidak mampu menampilkan bayangan itu dengan jelas. Namun, Yatta langsung mengenali sosok lebar yang nyaris memenuhi lorong. Itu Ibu Buntet. Pemilik kos ini.

Ibu Buntet bergerak pelan di ujung lorong, berusaha mengempiskan perut untuk melewati sela-sela bangku dan meja di lantai dasar. Dia hendak naik ke lantai dua, tempat tinggalnya.

"Eh sebentar, Bu Buntet." Yatta memanggil, kemudian berdiri dan berlari sambil melambaikan tangan kepada Bu Buntet.

Otoy tercengang saat melihat Yatta berlari mendekati Ibu kos. Bahkan Ibu kos mengucek mata saat melihat Yatta melambai dan berlari mendekati dia. Biasanya mencari Yatta sama sulitnya dengan mencari hantu. Harus menggunakan ritual khusus, mengintip dan mencari disudut yang paling tersembunyi, mengorek sela-sela yang dalam dan gelap, itupun harus menunggu sampai dia lengah. Dan sekarang, orang yang sama berlari mendekat sambil melambaikan tangan. Tanpa dicari!

Bu Buntet mengguncang kepalanya, setelah itu kembali mengucek mata. Tapi bayangan itu tidak berubah. Benar-benar Yatta yang sedang berdiri di depannya. Masih penasaran, Bu Buntet menggunakan jari menusuk perut, pundak, dan bahunya. Sekaligus menekuk pinggang, memperhatikan lantai dan kaki Yatta.

Yatta yang kegelian setelah tubuhnya dicungkil sana sini oleh Bu Buntet mulai protes. "Apaan sih Bu? Kok jadi genit begini sama Yatta?" Kedua lengannya bersilang di depan dada.

"Genit? Sama elo? Eh, gue cuma curiga, jangan-jangan lu udah mati. Setan lu gentayangan di tempat gue mau nakut-nakutin tamu yang lain." Bu Buntet berkacak pinggang dengan mata menyala. "Ada apa lo manggil-manggil gue? Mau bilang minggu depan lagi?"

"Lho. Bukan, enak aja. Nih, ini untuk yang bulan kemarin." Dengan wajah cerah Yatta mengeluarkan beberapa lembar uang yang telah disiapkan. Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca, Bu Buntet menerima uang di tangan Yatta.

Penuh rasa haru Bu Buntet mendekap erat lembaran uang itu seolah impian yang menjadi kenyataan. Tapi Yatta ternyata belum berhenti sampai di sana. Dengan pandangan mata penuh tanda tanya, Bu Buntet memperhatikan gerak gerik Yatta yang mengorek kantong celananya.

"Ini, sekalian untuk yang bulan depan." Yatta tersenyum lebar sambil kembali menyodorkan segepok uang kepada Bu Buntet. Senyum di wajahnya mengering saat melihat Bu Buntet yang membeku di depannya. "Kenapa Bu?"

Bibir bawah Bu Buntet bergetar ketika berucap, "lo kesambet hantu baik rupanya. Jangan cepat pergi yah Tu. Besok Buntet bakar menyan." Bu Buntet beberapa kali mengusap pipi Yatta sebelum naik ke kamarnya. Meninggalkan Yatta yang terbengong-bengong.

Hipno-tease (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang