Bab 33

1.3K 27 0
                                        

Yatta malas berpanjang lebar dengan tiga orang perwakilan dari perusahaan yang ingin membatalkan kontrak. Dengan beberapa kali memuji, dia mengirim ketiga orang itu pulang dengan kayakinan bahwa dunia mereka akan kiamat jika tidak meneruskan kontrak dengan PT. SAMPAI MAMPUS.

Yatta duduk sendirian di dalam restoran hotel mewah tempat dia melakukan pertemuan dengan tamunya. Punggung ketiga tamunya masih terlihat, semakin mengecil sebelum akhirnya hilang ditelan pilar beton.

Dia mengangkat ponsel dan menekan satu tombol. Baru dua kali panggilan, Lischa telah menyahut di seberang sana.

"Halo."

"Kau boleh turun sekarang. Aku ada di dalam restoran." Kata Yatta.

Terdengar suara helaan napas dan gerutu yang kurang jelas. "Siap Boss." Setelah itu telepon langsung dimatikan olehnya.

Yatta hanya tertawa kecil. Pengkhianat kecil itu tentunya bosan setengah mati dilarang keluar kamar oleh Yatta. Bagaimana pun dia adalah mata-mata Tarok. Dan Yatta tidak ingin Tarok mengetahui kemampuannya. Bukankah kata orang, jangan pernah membiarkan musuh mengetahui senjata pamungkas Anda.

Dia bisa saja membius Lischa dengan manteranya, dan membuat dia diam mematung hingga urusan mereka selesai. Tapi seperti juga dulu saat menandatangani kontrak, Lischa cukup cerdas untuk merasakan kejanggalannya. Maka mengurung dia di dalam kamar adalah pilihan terbaik.

Perasaan baru sebentar menutup telepon, tahu-tahu Lischa sudah berada di depannya dengan alis menyatu di tengah. Yatta membalas wajah ketus Lischa dengan senyum lebar. Mata judes itu kembali muncul. Tapi tidak mengurangi kecantikannya. Dia mengenakan sehelai blus putih yang tipis, samar memperlihatkan bikini kuning dengan belahan dada rendah di baliknya. Sehelai celana pendek ala safari menggantung melebihi dengkul. Dia jelas sangat siap untuk tamasya, dan dikurung setengah hari di dalam kamar jelas tidak berada di dalam rencananya.

"Mau makan dulu?" Tanya Yatta masih sambil senyum.

"Di sini?" Lischa terbelalak dengan bibir meleyot.

"Ya. Memangnya salah?"

"Jauh-jauh pergi ke Bali, setelah itu makan di restoran ala barat?" Lischa menghela napas panjang. "Kita makan, tapi tidak di sini." Lischa langsung berjalan memimpin jalan, memaksa Yatta mengekor.

Pengkhianat kecil itu membawa Yatta ke sebuah rumah makan yang padat dengan pengunjung. Sepanjang jalan, hingga masuk ke dalam rumah makan itu, Yatta merasa seperti orang asing di rumah sendiri. Dia tidak merasa sedang berada di negeri sendiri. Bahasa asing terdengar di mana-mana. Bule-bule naik motor dan melawan arah, lebih gila daripada ojek di Jakarta. Bagi Yatta, semuanya ada hal baru. Dulu, pergi ke Bali adalah hal yang terlalu mewah baginya, bahkan untuk sekedar hadir di dalam mimpi.

Alhasil dia manut saja ditarik ke segala arah oleh Lischa.

"Aku mau naik pisang." Lischa berseru dengan wajah berseri-seri setelah perutnya terisi makanan lezat khas Bali.

Yatta ternganga. Naik pisang? Di tengah keramaian? Tapi sebelum membunyikan protes tangannya telah ditarik oleh si pengkhianat.

Setelah di pantai Yatta baru tahu, ternyata maksud dia adalah perahu berbentuk pisang.

Lischa dengan bikini kuningnya bagaikan matahari di tepi pantai. Dan kepala para lelaki adalah bunga matahari yang setia mengikuti kemanapun matahari itu berpindah. Dia sukses merampok perhatian para pengunjung pantai.

Mereka mengunjungi sebuah pura di atas tebing, dan menyaksikan siluet matahari terbenam. Dan mengakhiri hari di sebuah restoran makanan laut di tepi pantai. Cahaya kuning masih tertinggal di ufuk barat, ketika mereka duduk berdampingan melepas lelah di atas bangku restoran yang menghadap pantai.

Meja makan di depan mereka masih kosong. Pesanan belum datang meskipun mereka telah agak lama memesan. Untunglah pelayan lebih dulu mengeluarkan minuman.

Lischa setengah bersandar di bahu Yatta. Kehangatan tubuhnya yang hanya berbalut sehelai bikini tipis dan mini sungguh melelehkan hati.

"Aku jarang seperti saat ini." Tiba-tiba Lischa berkata.

Yatta menoleh, memperhatikan pengkhianat cantik yang sedang merebahkan kepala di bahunya. "Seperti apa maksudnya?"

"Seperti sekarang." Jawab Lischa.

"Apa lagi aku. Ini pertama kali aku ke sini."

"Bukan itu maksudku. Yang aku maksud, bersikap lepas tanpa perlu bersandiwara."

Yatta terdiam dan memperhatikan Lischa. Dia kurang memahami maksud Lischa. "Maksudmu, kau biasa bersandiwara?"

"Semua orang sebenarnya bersandiwara sepanjang hari. Hidup ini seperti film, kita semua hanya perlu berakting dengan sebaik-baiknya. Tapi saat aku terikat, aku tidak perlu berakting. Aku merasa bebas untuk melepaskan dan menunjukkan semua yang aku rasakan, justru pada saat aku terikat."

Yatta tertegun mendengarnya. Angin yang berhembus membawa aroma laut, tapi tidak dapat menenggelamkan aroma vanilla di tubuh Lischa. Tiba-tiba Yatta ingin secepat mungkin menghabiskan makanan dan menggotong pengkhianat ini pulang ke hotel. Tapi, sialnya makanan belum datang. 

Hipno-tease (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang