Bab 17

2.4K 53 0
                                    


Ini adalah pertama kali Yatta mengikuti rapat bulanan di PT. SAMPAI MAMPUS. Saat dia berjalan masuk ke dalam ruangan rapat, dibayangi oleh Lischa di belakangnya, hanya Pak Bento seorang yang berdiri menyambut. Sisa 4 orang lainnya tetap duduk.

Ada Inta, Direktur HRD, dia tetap duduk sambil menekuk kepala, memandangi kuku jarinya yang lebih butuh perhatian ketimbang seorang Yatta. Pak Bolon, Direktur Teknis, duduk santai dengan sebelah tangan menopang kepala, dia langsung memejamkan mata saat Yatta berjalan memasuki ruangan. Pak Danang, Direktur produksi, menghela napas sambil membuang sebuah folder ke atas meja setelah memberikan satu lirikan kepada Yatta. Narli, anak Pak Bento sekaligus Wakil Dirut, langsung membuang wajah sambil memutar kursinya hingga menghadap jendela kaca. Pesan dari dia sangat jelas. Pemandangan di luar sana yang tidak pernah berubah masih lebih berharga untuk dilihat.

Tapi Yatta hanya tersenyum. Dia menikmati pemandangan dari lantai teratas gedung ini. Dia juga menikmati sinar matahari yang memenuhi seluruh ruangan rapat. Dia menikmati perasaan menjadi orang penting saat melihat sekretaris cantik yang selalu menjadi bayangannya, bahkan menikmati wajah kusut orang-orang yang tidak menyukai dirinya. Seperti yang sekarang ada di dalam ruangan ini.

"Selamat pagi semuanya." Yatta tersenyum cerah dan memberi salam.

"Pagi, Yatta. Silahkan duduk." Sambut Pak Bento. Tidak ada suara lain yang terdengar. Selain Pak Bento, yang lain hanya diam mematung.

"Lebih baik dia tidak ada di sini." Kata-kata Narli pelan saja. Tapi karena ruangan yang sunyi, suara dia memenuhi seluruh sudut.

"Tentu saja dia harus ada di sini. Dia komisaris." Pak Bento mendesis gusar.

Raut wajah Pak Bento menyampaikan pesan yang cukup jelas bagi Yatta. Ini pasti bukan pertama kalinya mereka berselisih mengenai. Dan untuk pertama kalinya Yatta bersimpati kepada Pak Bento. Mungkin ada banyak sifat baik Pak Bento yang selama ini tersamarkan di balik sifat maha pelitnya.

"Terserah Papi mau bilang apa. Di mata saya dia hanya cleaning service." Narli menggeram dengan gusar. Sekali ini dia sama sekali tidak merendahkan suara.

Yatta tersenyum. Pandangan matanya menyisir wajah seluruh orang yang duduk mengelilingi meja rapat. Setelah itu dia tersenyum semakin lebar. Yatta tahu, Narli tidak sendiri. Dia mewakili suara semua orang di dalam ruangan itu, terkecuali Pak Bento.

"Kalau bukan karena Yatta, kantor ini mungkin sudah disegel pihak Bank." Kata Pak Bento sambil melotot kepada anaknya. Yang disambut oleh Narli dengan dengusan napas.

"Apa begini saja rapat para petinggi perusahaan ini? Kalau hanya seperti ini, lalu apa bedanya dengan gosip di dalam dapur sewaktu saya masih menjadi cleaning service? Sepertinya yang membedakan mutu kalian dengan office boy di bawah hanya jas dan dasi. Narli, kau copot saja jas dan dasi kamu, setelah itu pakai seragam office boy. Dengan gaya bicara dan pola pikiranmu yang seperti bocah, tidak akan ada yang bisa membedakan." Yatta berkata dengan tenang. Kepalanya berputar ke sana ke mari memamerkan senyum manis kepada seisi ruangan.

Ruangan itu hening. Semuanya membetulkan sikap duduk dan menegakkan punggung setelah ditampar oleh kata-kata Yatta. Bahkan Yatta sendiri terkejut, benarkah itu tadi suara dia? Tentunya benar. Bukankah manusia memang seperti ini? Pada saat seseorang memiliki keyakinan sekokoh gunung bahwa dia tidak dapat ditaklukkan, maka topan badaipun akan lari menghindar.

Yatta duduk dengan tenang. Tidak ada perasaan gugup sedikitpun pada dirinya. Dia tahu, kalau mau, dia tinggal bilang semuanya tampan dan cantik, maka seisi ruangan dengan pendapat di dalamnya akan sesuai dengan yang ia mau. Tapi dia tidak melakukan itu, belum perlu.

Hipno-tease (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang