Bab 10

5.4K 89 3
                                        


Tepat seperti dugaan Yatta. Kafe Semok penuh sesak oleh pelanggan yang penasaran. Dan mereka jelas tidak kecewa saat melihat Muyan dan Tessa mondar mandir dengan baju yang irit bahan.

Rok mini yang mereka kenakan menggantung tinggi di atas lutut. Baju spandex yang kekecilan mencetak bentuk tubuh mereka. Dengan warna merah menyala yang sangat menarik perhatian. Pertahanan baju mereka hanya seutas sleting di bagian dada, yang sepertinya harus berupaya keras bertahan menghadapi dorongan dua gunung kembar di dalamnya. Muyan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menarik perhatian. Dia sengaja menurunkan sleting bajunya, hingga memperlihatkan sebagian buah dadanya yang hampir tumpah ruah melalui celah sleting.

Setiap kali Tessa dan Muyan berjalan lewat, seluruh kepala berputar mengikuti seperti pasir besi tertarik magnet.

Hanya dalam beberapa hari, Yatta dan Otoy langsung menyadari. Hanya Tessa dan Muyan tidak akan cukup untuk melayani demikian banyak pelanggan. Dan celakanya, para pelanggan itu enggan buru-buru pulang. Mereka duduk selonjor, menikmati pemandangan yang berlalu lalang di depan mereka, dan tetap memanggil pelayan untuk pesanan baru. Walaupun gelas mereka masih terisi penuh.

Yatta yakin. Tidak ada seorangpun yang hapal menu di dalam Kafe baru mereka. Tapi bisa dipastikan, semua orang langsung hapal nama Tessa dan Muyan sejak pertama kali mampir. Mereka memesan sembarangan, asal tunjuk. Semua memegang buku menu di tangan, tapi kepala menghadap pelayan. Dan dari sinar mata mereka yang melahap dengan nikmat tubuh Tessa dan Muyan, bisa dipastikan, itu bukan kunjungan terakhir mereka.

Wajah Otoy bercahaya setiap kali mereka tutup Kafe.

"Yat, segini nih." Otoy memegang tumpukan uang dengan dua tangan, dan mengipasnya ke wajah. Seumur hidupnya dia belum pernah menggenggam lembaran uang sebanyak itu. Benar kata orang. Bau yang paling menyenangkan hati, dan ingin dicium berulang-ulang adalah bau uang.

"Apa gue bilang. Bagus kan hasilnya. Daripada lo harus dengerin berita soal Raja pelit, mending lo urus ini kafe. Siapa tahu, kita bisa kembangin ini Kafe jadi bercabang-cabang."

"Tapi Yat, kenapa lo gak mau ikut urusin? Lo liat sendiri, kita kurang orang ini."

Yatta tersenyum. Kalau dia juga ikut urusin di Kafe, lalu siapa dong yang porotin si Raja pelit? Tapi dia tidak mungkin menjawab seperti itu.

"Gue ada masih ada urusan yang belum selesai di PT SAMPAI MAMPUS. Harus ada yang bisa jagain teman-teman kita di kantor. Lo tau sendiri, Bos yang di sana penghisap darah karyawan semua." Kata-katanya selesai, seiring dengan wangi semerbak parfum anggrek yang menyeruak ke dalam dada. Yatta menoleh kebelakang punggung. Muyan dan Tessa berjalan mendekat. Masih dalam busana maut mereka yang membuat para lelaki membayangkan hujan gerimis dan tilam hangat. Termasuk Yatta. Mau tak mau, dia meneguk ludah ketika melihat Muyan menarik sebuah bangku ke sampingnya hingga tidak berjarak. Dan dengan bebas menggelendot manja, dadanya yang setengah terbuka ditopangkan ke lengan Yatta. Lembut, hangat, dan kenyal. Yatta bernapas lebih keras.

"Ohh. Begitu yah?" Otoy manggut-manggut. Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya. Dia sedang memilih pertanyaan yang akan disalurkan melalui mulut, ketika semuanya buyar oleh Tessa.

Tessa berjalan mendekati Otoy. Dia terpancing melihat sikap Muyan yang bebas lepas kepada Yatta. Dia melangkah perlahan mendekati Otoy dari arah belakang, dan dengan gerakan lambat, bersandiwara seperti orang kelelahan yang tanpa sengaja menggesek dadanya ke punggung Otoy. Hanya berhenti saat dia telah berdiri di samping Otoy, sambil menyandarkan tubuh kepadanya.

Tiba-tiba Otoy merasa udara menjadi terlalu padat untuk dihirup. Dia membuka mulut untuk membantu hidungnya menghisap udara. Punggungnya masih kejang, kehangatan tubuh Tessa masih menyerap di sana. Dan sekarang setengah tubuhnya terbakar, menopang tubuh Tessa yang bersandar seperti orang kehilangan tenaga. Posisi kepala Otoy yang masih duduk menjadi sejajar dengan dada Tessa yang hanya satu senti di samping telinga. Jari tangannya malah menyentuh paha Tessa yang tidak tertutup oleh rok mini. Jari tangannya perlahan mengelus, merasakan lembutnya kulit perempuan yang sudah lama menjadi bunga tidurnya. Terus mendaki hingga jarinya menyusup ke dalam rok, satu-satunya reaksi yang diberikan oleh Tessa hanya desahan napas yang semakin keras.

Ujung mata Otoy melirik wajah Tessa. Tapi Tessa memejamkan mata, hanya tangannya bergerak lembut merangkul leher Otoy. Sepertinya dia sedang memamerkan kemampuan merayu yang selama ini ia sembunyikan. Atau, mungkin seharian dijilat oleh pandangan mata pria telah membakar birahinya.

Entahlah, Otoy tidak tidak peduli. Dia berbisik, "kau mau nginap di sini?"

Tessa diam, matanya masih terpejam. Tapi bibirnya sedikit melebar memperlihatkan lesung di pipi.

Ω

Sementara Yatta dan Otoy sibuk dengan Kafe, kehidupan di PT SAMPAI MAMPUS terus bergulir. Kejadian demi kejadian lolos tanpa terpantau oleh Yatta. Tapi tentu saja, dengan sedikit puja puji, posisi Yatta di dalam perusahaan tetap bertahan.

"Gile lo. Dua minggu ngilang gitu aja. Gue kira lo berhenti kerja."

Suara Marni langsung terdengar begitu Yatta membuka pintu dapur, tempat biasa dia nongkrong dengan rekan-rekan kerja. Dapur ini adalah markas besar karyawan tingkat bawah, tempat mereka saling berbagi cerita mengenai penindasan demi penindasan yang mereka alami. Kadang juga menjadi tempat menumpahkan keluh kesah kesulitan hidup mereka di luar kantor.

"Halo. Apa kabar semuanya. Kalian kelihatan cantik dan ganteng." Yatta tersenyum dan menyapa mereka semua dengan cerah. Di dalam dapur ada Marni, Nita, dan Tino, sesama cleaning service yang sungguhan bekerja membersihkan kantor. Sejak Yatta bekerja sesuka hati, seluruh beban membersihkan kantor berada di pundak Tino. Maka Yatta memberikan seluruh gajinya kepada Tino, yang diterima olehnya dengan berurai air mata.

"Makasih. Lo mau apa?" Mereka bertiga serentak menyahut dengan mata berkabut.

Yatta terkesiap dan menampar mulutnya sendiri. Tanpa sengaja dia memuji ketiga temannya. "Gue mau lu bertiga biasa aja."

Seketika semuanya kembali seperti biasa. "Lo kemana aja Mas?" Nita ikut menanyakan.

"Lagi ada urusan di luar kantor. Gimana keadaan lo orang selama gue gak ada?" Yatta cengengesan.

Tiga orang di depannya terdiam. Semuanya menghela napas. Mendung langsung menyelimuti aura di dalam dapur.

"Ada apa nih?" Yatta terheran-heran melihat perubahan pada wajah teman-temannya.

"Semuanya dipotong gaji Yat." Tino menghembuskan napas panjang.

"Lho? Semua? Lu bertiga salah apa?" Yatta bangkit berdiri dengan geraham mengeras.

"Bukan kita bertiga doang. Tapi semua. Satu kantor ini dipotong gaji." Jawab Marni.

"Gak jelas siapa yang salah. Katanya sih, gegara klien kita ada yang membatalkan kontrak. Jadi pendapatan perusahaan ini turun drastis. Kata Bu Inta, pilihan manajemen hanya dua. Antara PHK sebagian karyawan, atau potong gaji seluruh karyawan tapi tanpa ada yang perlu di PHK. Akhirnya diputuskan, gaji seluruh karyawan dipotong, biar adil. Begitu Mas." Nita menerangkan panjang lebar, diiringi dengan anggukan kepala Marni dan Tono.

Yatta termenung mendengarkan. Sepertinya kali ini bukan karena sifat pelit Pak Bento dan anaknya. Mungkin untuk sekali ini mereka memang tertimpa musibah. Gawat juga, kalau perusahaan ini sampai bangkrut, yang akan menerima akibatnya sangat banyak. Bahkan termasuk Yatta. Dia tidak akan tega mengambil uang dari tangan orang yang terancam bangkrut.

Yatta mengelus dagu. Kalau saja dia bisa bertemu dengan klien itu, tidak akan ada kontrak yang di batalkan. 

Hipno-tease (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang