Bab 28

1.2K 33 0
                                    

Dia tidak seperti Muyan. Yang menyambar sana sini seperti lidah api di tengah gulungan angin. Dia juga tidak seperti Virly. Yang meleleh dan menyelimuti seluruh tubuh seperti air hangat. Lischa seperti pohon. Dia hanya diam, tidak bergerak. Membiarkan orang menulis nama di atas tubuhnya. Namun, sangat menghanyutkan. Diamnya Lischa seperti batu yang tenggelam ke dasar danau. Selamanya akan berada di dasar, tidak bisa dihilangkan.

Yatta mulai menyadari itu, dan dia tahu, sudah terlalu lambat bagi dia untuk mencegahnya. Tapi masih mungkin untuk diobati.

Yatta menekan sebuah nama di ponselnya. Dia hanya perlu menunggu dua nada panggil, ketika sebuah suara menyambut di seberang sana.

"Hei, Yatta. Ada apa?" Suara Tarok terdengar.

Yatta berdehem. "Waktu kita berada di rumah makan tempo hari, aku lupa menanyakan sesuatu kepadamu."

"Kau bisa menanyakannya sekarang."

"Berapa harga iuran keanggotaan Masso-hype?"

Tarok diam sesaat. Kemudian terdengar suara tertawa gurih di seberang sana. "Yatta, sewaktu aku mengatakan bahwa kelompok kami tidak sembarangan menerima anggota, aku tidak sedang bermain-main. Ini bukan sepenuhnya mengenai uang. Tapi sebelum aku memutuskan, aku ingin bertanya dulu. Apa yang membuat kamu memiliki minat untuk bergabung."

Yatta kembali menghela napas. "Ceritamu menghantui aku setiap malam. Sebenarnya tidak tepat kalau disebut aku ingin bergabung. Lebih tepat jika disebut, aku meminta tanggung jawabmu."

Tarok tertawa tergelak di ujung sana. Butuh beberapa saat sampai tawanya reda dan mereka bisa meneruskan percakapan.

"Kau memiliki alasan paling manusiawi yang pernah kudengar. Baiklah, iuran kami setiap tahun adalah dua miliar. Sangat banyak orang yang sanggup membuang uang sejumlah itu setiap tahun. Tapi kami membatasi agar anggota kami tidak pernah melebihi 250 orang. Kami masih memiliki dua slot kosong, satu untukmu, kalau__"

"Aku mau. Akan ku bayar hari ini."

"Baik, satu slot akan kuisi dengan namamu. Kau berhak untuk ikut acara-acara kami, dan mempergunakan fasilitas kami."

"Terima kasih."

Yatta menutup telepon. Mungkin memang harus seperti ini. Jika dia tidak bisa melupakan bayangan telanjang itu, sebaiknya sekaligus dinikmati terus menerus hingga dia sendiri muak.

Ini adalah perempuan yang tidak memiliki kesetiaan. Dia adalah pengkhianat. Dia adalah perempuan yang tidak peduli kepada nyawanya. Tidak ada gunanya untuk dirawat. Mungkin dia seperti makanan yang enak. Kita akan merindukan jika jarang dimakan. Namun, tak peduli makanan seenak apapun, tetap akan membosankan jika dimakan setiap hari. Yatta akan menikmatinya sesering mungkin, hingga kelak, melihatnya pun dia sudah muak.

Ω

"Hei, lo kenape bro?" Otoy menepuk pundak Yatta. Samar, dia melihat kantung mata Yatta agak hitam. "Lo gak bisa tidur?"

"Yah, gitulah. Jadwal gue agak padat akhir-akhir ini." Padat di pikiran, Yatta membatin. Dia menggoyangkan gelasnya yang kembali kosong. Dia mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat gelas ke berapa ini yang telah ia kosongkan?

"Udah jangan nambah lagi. Badan lo udah kebal sama kopi. Percuma, lo minum segalon juga bakalan tetap ngantuk. Yang ada perut lo mencret." Otoy menjauhkan gelas dari tangan Yatta. Jalan di belakang stool padat merayap. Macet, semuanya melambatkan langkah. Karena Muyan lewat, dan seperti biasa dengan murah hati memamerkan belahan dada dan goyangan pinggul yang menyesakkan napas.

"Habis gimana? Agak ngantuk gue. Atau lo gantiin gue aja Toy? Wawancara pelayan di tempat baru?"

"Eh, janji lo apa? Lo yang ngomong, gue taunya hanya jalanin setelah semuanya beres. Tepatin janji lo. Berangkat lo sana, udah jam berapa ini?" Otoy memukul pundak Yatta dengan kertas koran, sambil menunjuk jamdi dinding.

"Gue gimana mau milih pelayan yang bagus, mau buka mata aja susah ini." Yatta mengucek mata. Dalam hati dia memaki orang yang telah menyebabkan dia hanya berguling mengukur lebar kasur tanpa dapat memejamkan mata.

"Kalo udah mulai liat cewek-ceweknya mata lo pasti terang sendiri. Buruan sana, lo udah habis duit banyak sewa gedung itu, mau lo anggurin? Inget, ini lo yang mau, jangan protes." Otoy memercik wajah Yatta dengan air dari keran.

Yatta menghela napas. Otoy benar. Memang dia sendiri yang mau seperti ini.

Ω

Hanya ada sebuah sofa panjang, beberapa buah kursi, dan sebuah meja persegi empat di dalam ruangan yang kelak akan menjadi kantor mereka. Masih setengah jadi, tapi sudah bebas dari debu. Lampu dan pendingin ruangan telah menyala, seluruh sistem elektrik telah bekerja dengan baik, dan saluran telepon juga sudah menyala.

"Masih ada berapa orang di bawah?" Tanya Yatta melalui telepon kepada petugas keamanan di bawah.

"Sisa satu Pak."

"Ya sudah, suruh naik."

Yatta duduk merosot di belakang meja, sambil memperhatikan daftar panjang nama yang telah diwawancarai. Sebenarnya dia sudah dapat memilih sepuluh orang dari seluruh orang yang melamar. Semuanya memiliki nilai lebih, tapi dia sudah memberi tanda, nama-nama yang akan dia pilih. Di luar dari sepuluh nama yang telah ia tandai, terpaksa dicoret.

Sisa satu ini, sebaiknya dibuat secepat mungkin. Yatta duduk merosot di belakang meja. Angin sejuk dari pendingin ruangan membuai dirinya, semakin membuat kelopak matanya. Sayup dia mendengar suara derap sepatu hak tinggi yang bergema mendaki tangga. Tak lama kemudian pintu ruangannya di dorong terbuka.

Yatta mengangkat kepala malas-malasan, tapi seketika langsung membetulkan posisi duduknya saat melihat sosok yang muncul dari balik pintu.

Ruangan itu terasa lebih terang, saat pelamar yang terakhir melangkah masuk ke dalam kantor yang masih setengah jadi ini. Untuk sesaat Yatta merasa ragu, apa benar perempuan ini mau melamar menjadi pelayan?

"Halo, Pak. Interviewnya di sini yah?" Perempuan itu menyapa dan tersenyum cerah.

Yatta masih terpaku, matanya menyapu perempuan itu dari anak rambut di ubun-ubun hingga kuku kaki kelingkingnya. Kalau dia hanya menilai penampilan, wawancara sudah selesai sejak perempuan ini masuk ke dalam ruangan.

Rambut panjangnya berombak dan mencapai pinggang. Sebagian rambutnya dicat warna kuning. Perpaduan yang sempurna dengan warna kulitnya yang mirip karamel susu. Mata, alis, hidung, dan bibir, semuanya menempati posisi dan bentuk yang sempurna. Wajahnya adalah contoh sempurna untuk seorang perempuan yang ingin disebut imut. Namun, tubuhnya sama sekali tidak imut. Sebuah baju terusan berwarna biru laut yang ia kenakan memperlihatkan bentuk tubuhnya yang sempurna. Dia memiliki dada bulat seperti Muyan, tapi pinggul dan kakinya langsing seperti Virly. Melihat wajah dan tubuhnya adalah seperti melihat sebotol susu dengan bir di meja yang sama.

"Ehem, iya benar. Kamu mau melamar kerja?" Tanya Yatta, masih ragu. Sederhana saja. Kalau perempuan ini memperkenalkan diri sebagai artis, Yatta akan langsung percaya.

"Iya, perkenalkan saya Sarah." Sarah menjulurkan tangannya.

"Perkenalkan juga, saya Yatta." Yatta menyambut uluran tangan Sarah. Sekilas dia melihat kemilau cincin emas di jari kelingking Sarah. Yatta terpana. "Sarah, apakah kau tahu lowongan yang kami butuhkan?"

"Pelayan." Sarah menjawab polos. Matanya yang bulat besar menatap Yatta tanpa kedip, kedua tangannya terangkat berusaha menjepit poni rambutnya kebelakang.

Yatta menghela napas panjang, sekali lagi dia menyapu Sarah dari ujung kaki hingga ujung kepala. Samar dia melihat ada kilauan dari cuping telinga yang tertutup rambut.

"Sarah. Lo cantik. Diam dulu yah."

Sarah langsung mematung dengan mata berkabut. Yatta berjalan mendekati sarah, dia menyibakkan rambutnya, dan melihat sebuah anting emas, dengan bandul permata berwarna merah. Yatta tidak mengerti permata, namun dari bentuk emasnya yang rumit dan indah, Yatta bisa menebak. Apapun permata itu, tentunya bukan barang murah. Kecil saja permata merah itu, sekecil upil. Tapi terlalu menyolok untuk dikenakan oleh seseorang yang akan melamar menjadi pelayan. Mana ada orang yang memiliki perhiasan seperti ini melamar kerja sebagai pelayan. Ini seperti artis menyamar sebagai pembantu.

Yatta meraba dagu dan memperhatikan Sarah yang matanya masih berkabut. "Lo cantik. Tahu tempat ini ada lowongan dari siapa?"

"Dari Rancho."

Yatta terbelalak. Dia masih ingat nama itu.  

Hipno-tease (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang