Bab 30

1.4K 35 0
                                    

Sekilas penampakan Lischa___________________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekilas penampakan Lischa
___________________________________

Dari ujung lorong Yatta sudah melihat sekretaris cantiknya. Lischa kembali mengenakan kemeja putih, dipadu dengan rok hitam. Kulitnya yang kuning langsat bersih bercahaya, sanggup bersaing dengan cahaya matahari pagi. Tapi sayang, mata-mata.

Yatta hendak melewati meja Lischa, ketika matanya menangkap sesuatu di dalam tas Lischa yang tergeletak di atas lantai. Tas itu sepertinya terjatuh dari gantungan di belakang kursi Lischa, dan sebagian isinya tercecar ke atas lantai tanpa ia sadari. Yatta tertegun saat melihat benda aneh yang mencuat keluar dari dalam tasnya yang tergeletak.

Lischa mengangkat kepala, memperhatikan Yatta. Masih belum mengerti apa yang diperhatikan oleh Yatta. Tapi seperti biasa, dia diam. Dan hanya membalas pandangan mata Yatta dengan ekspresi yang sulit untuk dicerna. Sinar mata yang menerima, tanpa banyak tanya. Lischa baru merasakan hal yang aneh ketika melihat bola mata Yatta berpindah antara dia dan lantai.

Reflek, dia menoleh ke lantai di belakangnya. Dengan menjerit kecil dia bergerak membereskan barang-barang yang tercecer dari tas. Tapi sebelum dia selesai Yatta sudah menunduk dan memegang tangannya.

"Ikut aku ke dalam." Kata Yatta sambil merampas tas Lischa. Tanpa mempedulikan reaksinya, Yatta sudah berjalan mendahului. Dia meletakkan tas Lischa di atas meja kantornya, dan dengan penuh minat mengeluarkan dua buah benda yang telah menyita seluruh perhatiannya.

Tak lama kemudian Lischa ikut masuk, dia menyeret kakinya hingga ke depan meja Yatta. Dia berdiri di depan Yatta sambil menggigit bibir, pipinya agak merah.

Sementara Yatta terheran-heran memperhatikan dua buah benda yang ia keluarkan dari tas Lischa. Yang satu cukup jelas, walaupun tetap saja tidak umum. Borgol, tapi berbeda dengan borgol yang umumnya hanya ada dua gelang. Borgol ini ada tiga. Semuanya berbahan kulit yang lunak. Yatta melirik Lischa. Kedua tangan perempuan itu saling meremas dengan mata menatap kakinya sendiri.

"Kenapa kau membawa barang ini ke kantor?" Tanya Yatta.

"I..ini...aku...hanya...titipan." Lischa bergumam, patah-patah dan tidak jelas.

Yatta mendengus keras sambil tersenyum. Titipan? Siapa yang berusaha dia bohongi? Dia mengerti kegunaan borgol cabang tiga ini. Tapi dia sama sekali tidak punya bayangan, apa yang bisa dilakukan oleh satu benda lainnya yang berwarna ungu mencolok.

Yatta terheran-heran memperhatikan benda berwarna ungu itu. Bentuknya memanjang, tapi ujungnya melengkung seperti udang. Di ujung lengkungan ada capit, seperti capit kepiting.

"Apa ini?" Tanya Yatta. Dia mengangkat alis sambil memperhatikan Lischa. Pengkhianat kecil itu membeku, bola matanya berpindah-pindah antara benda di tangan Yatta dengan membalas pandangan Yatta.

Lama Yatta menunggu, tapi Lischa tidak menjawab. Hanya bibirnya bergerak-gerak tanpa ada suara yang keluar. Yatta sudah berpikir untuk menggunakan mantera ajaibnya kepada Lischa, dan menyuruh dia untuk menunjukkan kegunaannya. Tapi dia urung. Sekilas Yatta memperhatikan kalender di dinding. Ini hari Jumat. Dua hari lagi dia akan tahu. Mungkin juga itu tujuan Lischa membeli alat ini sekarang.

Tapi borgol ini, akan menarik jika dia mencoba kepadanya sekarang.

Yatta berdiri. "Menurut kamu, barang-barang seperti ini apakah pantas dibawa ke dalam kantor?" Tanya Yatta.

"Tidak." Lischa bergumam lirih. Matanya membalas tatapan mata Yatta. Lischa menggigit bibir bawahnya, tapi matanya berulang kali melirik Yatta. Dia gugup, tapi masih sangat jauh dari kata takut.

Yatta melangkah pelan ke depan Lischa sambil menimang-nimang borgol itu. "Kalau kau tahu tidak pantas, kenapa kau bawa?"

Lischa berdehem pelan. "Aku..baru membeli online. Tapi dikirim ke kantor." Dia diam tak bergerak. Sementara Yatta melangkah ke belakang punggungnya.

"Itu tidak berarti kamu tidak salah." Yatta setengah berbisik di kupingnya. Yatta menarik kedua lengan Lischa ke belakang punggungnya, hanya ada suara jeritan kecil dari mulut mungil Lischa. Yatta tidak tahu, seperti apa ekspresi wajah Lischa. Tapi yang pasti, pengkhianat kecil itu hanya sedikit meronta ketika merasakan kedua siku lengannya di satukan oleh borgol di belakang punggungnya.

Yatta menyibak rambut Lischa, dan mengalungkan gelang borgol yang ketiga di lehernya. Perlahan dia mengencangkan borgol leher itu, dan membuat Lischa menengadah dengan dada membusung.

Yatta merangkul pinggang Lischa dari arah punggung, dia memperhatikan wajah Lischa yang menengadah dengan kedua siku tangan menyatu di belakang punggung. Mata-mata itu mati kutu dengan leher agak tercekik.

Yatta sudah menduga, bahwa Lischa tidak akan melawan. Mereka sudah melakukan hal yang jauh melebihi ini. Dan Yatta yakin, permainan seperti yang sekarang mereka lakukan, bagi Lischa hanya akan terasa bagaikan orang dewasa yang main boneka. Walaupun demikian, dia tidak mengharapkan wajah yang demikian tenang dari Lischa.

Pada saat pandangan mereka beradu, Yatta hampir dapat merasakan sinar mata yang jenaka dari Lischa. Bibir tipisnya yang merah dan basah terbuka, hidungnya yang tipis dan mancung kembang kempis berusaha menyalurkan udara melalui tenggorakan yang agak tersumbat. Mata jenaka itu seolah berkata, 'apaan sih Bos?

Yatta memeluk semakin erat dari belakang, dia menarik napas dengan serakah, memenuhi paru-parunya dengan aroma vanilla yang memabukkan. Tangannya mengelus tubuh Lischa yang padat dan lembut, terus hingga dadanya yang membusung. Dia dapat merasakan napasnya yang semakin keras. Bibirnya yang tipis dan merah membuka semakin lebar. Dengan buas Yatta melumat bibir mungil itu dengan mulutnya. Dia memeluk Lischa semakin erat. Kehangatan matahari pagi yang merasuk melalui kaca jendela membaur dengan kehangatan tubuh Pengkhianat kecil ini. Dia menciumi Lischa sampai puas.

Ketika dia selesai, mereka berdua telah bernapas dengan tersengal-sengal. Yatta memperhatikan mata Lischa yang setengah terpejam. Sekarang Lischa menyandarkan tubuhnya kepada Yatta, kakinya lemas tak bertulang.

"Jangan di sini." Lischa bergumam lirih. Dia masih berusaha mengatur napas dengan leher yang agak tercekik. Dia mulai mengerang saat merasakan tangan Yatta merogoh ke balik kemejanya. Mulutnya menolak, namun tubuhnya menerima.

Yatta tidak peduli, dan terus melanjutkan. Kancing kemeja Lischa telah terbuka semua. Sinar matahari dari jendela telah menyatukan bayangan mereka. Namun, suara dering telepon yang memekakkan telinga membekukan Yatta. Dengan napas tersengal dia terpaksa melepaskan Lischa. Setelah berulang kali menarik napas panjang, Yatta mengangkat pesawat telepon.

"Halo, selamat pagi." Yatta berusaha menelan napasnya yang tersengal. Dari ujung matanya dia dapat melihat Lischa yang menahan tawa. Dia duduk di atas meja, masih dengan kedua siku tangan menyatu di belakang punggung, dan kepala yang menengadah. Kemejanya terbuka lebar, dia menggigit bibirnya yang sedang tersenyum lebar, bahunya bergerak-gerak berusaha menahan suara tawa.

"Pak Yatta. Ada klien kita yang membatalkan kontrak. Pak Bento minta agar Pak Yatta segera ke kantornya." Suara sekretaris Pak Bento terdengar di seberang sana.

Yatta menghela napas kecewa. Tapi juga mustahil dia menolak hal sepenting ini. "Baik. Sebentar lagi aku ke sana." Yatta menutup telepon dengan bantingan kecil. Yatta melirik Lischa yang sekarang tertawa cekikikan dengan lepas. Kakinya yang menggantung di atas meja menendang angin.

"Berani kau menertawakan Bos mu?" Yatta mendengus kesal. Dia menarik lengan Lischa, dan melepaskan borgol di belakang punggungnya.

"Salah lagi yah?" Mata Lischa bercahaya bagaikan bintang ketika berdiri tegak, dan merapikan kemejanya. Bibir tipisnya menyungging sebuah senyum, diikuti oleh mata, alis, bahkan gaya tubuhnya. "Kan aku sudah bilang, jangan di sini Pak." Dia tampak luar biasa menggemaskan.

"Tetap saja kamu yang salah." Yatta menggeram kesal sambil ikut merapikan kemejanya.

"Kalau begitu, Bos tahu kan? Kapan dan di mana bisa hukum aku?" Lischa tersenyum tipis menantang. Setelah itu meninggalkan Yatta yang berulang kali meneguk ludah di dalam ruangan.

Hipno-tease (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang