Bab 13

3.4K 64 2
                                    

Yatta menempel di belakang Pak Tarok dan Lischa seperti bayangan. Kedua orang itu sekarang benar-benar tidak menganggap Yatta ada. Dan sebagai akibatnya, dia mendengar sepenuhnya percakapan kedua orang itu. Mereka berdiri menunggu di depan pintu lift, memperhatikan lampu kuning yang masih jauh dari lantai dasar.

"Mantel kamu kurang rapat." Kata Pak Tarok kepada Lischa.

"Gak ada orang kok. Gak masalah kan?" Lischa memutar kepala melihat sekeliling mereka. Tubuh Yatta begitu saja dilewatkan, seolah Yatta adalah kaca.

Tapi Yatta melihat mereka dengan jelas. Dia juga melihat mantel Lischa yang agak terbuka. Dia nyaris tersedak saat melihat Lischa, si sekretaris judes itu, hanya mengenakan sehelai bikini hitam berbahan kulit.

"Aku bukan orang?" Tanya Pak Tarok. Napasnya terdengar berat, dan tangannya dengan bebas merogoh ke dalam mantel.

Lischa tertawa renyah, "eits. Apa-apaan nih? Kok udah mulai megang? Nanti aku minta tambah loh."

"Kok minta tambah terus? Memangnya uang seratus juta yang Om kasih untuk membeli fotokopi kontrak PT SAMPAI MAMPUS itu sudah habis?"

Lischa tertawa renyah. "Soalnya Om udah lama gak nyari fotokopi lagi." Napas Lischa mulai tersengal saat merasakan tangan Pak Tarok meraba titik-titik vitalnya. "Jangan di sini om."

"Kan kamu yang bilang. Gak ada orang gak apa-apa."

"Kurang seru kalo di sini. Sensasinya beda." Lischa tertawa kecil. Pintu lift telah membuka. Mereka berjalan masuk, diikuti Yatta. Begitu pintu lift menutup, Lischa langsung membuang mantelnya. Memperlihatkan tubuh indahnya yang hanya terbalut bikini hitam berbahan kulit. Yatta meneguk ludah, tidak menyangka sekretaris judes yang sombong ini memiliki tubuh demikian indah. Kulitnya yang kuning berkilat, mengingatkan Yatta akan madu cair.

"Kita pemanasan dulu di sini." Pak Tarok langsung menarik Lischa ke dalam pelukannya.

Lischa kembali tertawa renyah. Tangannya mulai bergerak menyambut serangan Pak Tarok.

Yatta mengambil sapu tangannya, melap keringat yang muncul di kening. Setengah mati berusaha menahan gelora di dada. Dia berusaha fokus dengan tujuannya. Dia sadar, tanpa sengaja dia telah menemukan jalan yang akan memudahkan dia untuk membantu Pak Bento. Yatta mengeluarkan ponsel dari kantong, dan mulai merekam.

Di dalam lift itu, Pak Tarok memeluk Lischa dan mulai menciuminya. Hingga pintu lift membuka lagi, Lischa sudah hampir telanjang. Hanya sisa sehelai celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. Mereka berdua berjalan keluar dengan terhuyung, pintu demi pintu mereka lewati, hingga tiba di dalam sebuah ruangan yang mirip bioskop. Tapi ukuran kecil.

Pak Tarok menuntun Lischa yang hanya mengenakan celana dalam menuju panggung kecil di ujung ruangan. Di sana ada sebuah meja papan berbentuk X.

Tanpa diperintah, seolah sudah sering dan biasa, Lischa naik dan merebahkan diri di atas papan itu. Dia berbaring terentang. Kedua tangan dan kakinya terpentang lebar mengikuti bentuk papan silang itu. Dengan tenang dia berbaring sementara Pak Tarok berjalan mengelilingi dia. Satu persatu kaki dan tangannya ditarik dan diikat ke ujung papan. Hingga dia terikat tak berdaya dengan kaki dan tangan terpentang lebar.

Yatta merasa paru-parunya kepanasan. Tak peduli seberapapun kuatnya dia menghisap udara, tapi terasa kurang untuk mendinginkan paru-paru. Aneh, karena di kulit dia merasakan belaian pendingin ruangan yang cukup untuk membuat dia menggigil.

Ponselnya masih merekam, dia berusaha mengambil posisi yang paling tepat untuk mengambil gambar. Termasuk ekspresi wajah Lischa. Tatapan matanya yang judes dan sombong telah menghilang. Sekarang matanya setengah terpejam. Sinar matanya mengandung hasrat, pasrah, dan sangat tenang. Sinar mata seseorang yang sangat berpengalaman.

Tubuhnya yang hanya menyisakan sehelai cawat berkilat-kilat di bawah sorotan lampu berwarna kuning. Bibir merahnya yang biasanya penuh hinaan sekarang hanya diam, sesekali dia menjilat bibirnya. Ketika tangan Pak Tarok mulai berpetualang di atas tubuhnya, bibir judes itu mulai mendesah dan mengerang.

Mimpipun Yatta tidak menyangka, bahwa hari minggu yang seharusnya menjadi saat bersantai baginya, berubah menjadi hari yang akan mengubah masa depan sangat banyak orang. Termasuk dirinya sendiri.

Yatta hanya berdiri dan merekam, namun keringat dan deru napasnya seperti orang yang sedang memindahkan bukit. Dia harus mengakui, sekretaris sialan ini benar-benar memiliki pesona yang langka. Bahkan pada saat tidak berdaya seperti ini. Lischa seolah sangat menikmati ketidak berdayaannya.

Yatta tidak tahu, berapa lama dia berdiri di sana sambil merekam. Satu hal yang pasti, baterai ponselnya sudah habis sebelum permainan mereka selesai. Tapi semua itu sudah cukup. Yatta sudah mendapatkan sangat banyak adegan. Tubuh Pak Tarok yang telanjang bulat, cambuk, lilin dan berbagai alat permainan di tangan Pak Tarok, hingga seringai dan tawa sadis Pak Tarok, dia berhasil merekam semuanya. Lischa yang menggelepar dan menggelinjang tak berdaya di atas balok kayu, tidak ada yang dapat dia lakukan selain menjerit dan mengerang nikmat. Semua sekarang ada di dalam ponselnya.

Perlahan Yatta melangkah mundur menuju pintu keluar. Hingga punggungnya menyentuh pintu keluar, dia baru membalikkan tubuh. Hingga di luar ruangan, kepalanya masih berkunang-kunang. Adegan-adegan itu masih mencengkeram daya ingatnya.

Ω

Semua ingatan itu langsung kembali, saat Yatta berjalan ke ruangan Pak Bento. Terutama, saat dia melihat Lischa duduk di belakang meja sekretaris. Dengan kemeja bergaris putih dan hitam, dan setia dengan rok pendeknya. Wajah judes itu sudah kembali, matanya bersinar galak, dengan alis menyatu di tengah.

"Heh, ngapain di sini? Memangnya udah janji sama Pak Direktur? Kalau gak ada janji, jangan ke sini." Mata Lischa berkilat-kilat, menatap Yatta dengan seringai jijik dan dagu terangkat. Dia mengibaskan tangan seolah mengusir lalat.

Tapi Yatta hanya diam. Tidak ada gunanya ribut frontal dengan orang yang kelemahannya sudah berada di dalam kantung kita. Untuk apa? Yatta tahu, setiap saat dia dapat menyengsarakan kehidupan Lischa hingga tingkat yang tidak akan pernah ia bayangkan, bahkan di dalam mimpinya yang paling buruk sekalipun.

Yatta berdiri dan memperhatikan Lischa, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bayangan tubuh bugilnya yang terikat tak berdaya langsung menyeruak di dalam pikiran Yatta. Masih segar dalam ingatan, baru satu hari yang lalu. Dia bahkan dapat melihat pergelangan tangan Lischa yang masih berbekas, seperti bekas mengenakan jam tangan yang terlalu ketat. Yatta bertanya-tanya dalam hati. Kehidupan Lischa yang mana yang merupakan samaran. Dan yang mana yang merupakan kehidupan aslinya. Yatta tersenyum, cepat atau lambat dia akan tahu.

"Heh, cengar cengir lagi. Tangga untuk turun di sana." Mata Lischa berapi-api.

"Lo cantik. Tidur dulu yang manis yah." Yatta memutuskan untuk mengesampingkan masalah Lischa. Pada saatnya nanti, dia akan mengetahui segalanya mengenai perempuan sombong ini.

Sekarang ada hal yang jauh lebih penting untuk diselesaikan. Dia meninggalkan Lischa yang langsung mendengkur di atas meja, dan melangkah masuk ke dalam ruagan Pak Bento.

Pak Bento mengangkat kepala, dan terkejut melihat Yatta dengan busana rapih masuk ke dalam kantornya. Wajah Pak Bento terlihat menua. Hanya dalam beberapa hari, umurnya seolah bertambah belasan tahun.

"Untuk apa kamu masuk ke sini? Kenapa Lischa tidak menahan kamu di luar?" Pak Bento melotot menatap Yatta.

Yatta tersenyum. Kali ini dia tidak boleh memuji Pak Bento, karena saat ini dia membutuhkan kesadaran Pak Bento.

"Aku ada urusan penting mencari Pak Bento. Aku kenal pemilik PT. SEMRAWUT."

Pak Bento diam terpaku. Dia langsung membuka kupingnya lebar-lebar. "Apa katamu?"

"Aku kenal Pak Tarok. Pemilik PT. SEMRAWUT. Kalau Bapak ada waktu untuk berbincang, saya bisa membuat PT. SEMRAWUT membatalkan kontrak dengan klien kita. Dengan demikian kita tidak ada saingan."   

Hipno-tease (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang