Otoy terbelalak saat mereka tiba di gedung bekas hotel itu. Bangunan empat lantai, dan luasnya sekitar tiga kali Kafe mereka yang sekarang.
"Yat. Lo gak salah?" Tanya Otoy. Baru beberapa bulan yang lalu, mereka berdua masih kelimpungan untuk membayar sewa kos yang ukurannya lebih kecil daripada pos hansip di depan gedung ini. Baru beberapa bulan yang lalu, mereka berfoya-foya dengan cara memesan segelas kopi untuk berdua di warung seberang, dan menjadikannya sebagai kenangan indah untuk diceritakan selama berhari-hari. Dan tau-tau sekarang Yatta mengajak membesarkan usaha dengan menyewa tempat sebesar ini. Ini terlalu berlebihan bagi Otoy. Ini bukan hanya lompatan besar, tapi dia bagaikan peluru yang ditembakkan melewati garis nasibnya sendiri, hingga dalam waktu seketika hidupnya berubah seperti saat ini.
"Nggak. Sama sekali nggak salah. Kenapa lo tanya begitu?" Tanya Yatta. Dia melihat sekeliling gedung itu, dan puas melihat lingkungan sekitarnya yang penuh dengan Bapak-bapak berkemeja rapi dan pemuda berpakaian ala mahasiswa. Sekitar lima puluh meter dari gedung, di pojokan jalan, ada sebuah pusat perbelanjaan yang cukup mewah. Sepanjang jalan ini dipenuhi perkantoran, dan dalam radius satu kilometer ada dua kampus yang sangat ternama. Ini adalah lokasi yang sempurna.
"Yat. Harga berapa sebesar ini?" Otoy terbelalak. Membayangkan banyaknya deretan angka nol yang sudah pasti akan menyakitkan hati saat dia melihatnya.
"Lo tenang aja. Lo tinggal jalanin. Masalah itu gue yang beresin. Pokoknya pas lo datang lagi, semua udah gue beresin. Nama Kafe ini akan gue pasang tinggi-tinggi, pake warna merah yang bikin semua orang silau. Kafe SS." Kata Yatta dengan penuh semangat.
"Kafe SS?" Otoy bingung.
"Iya. Kafe Semakin Semok. Keren kan?"
"Lo mau didatengin polisi lagi?" Otoy menggeleng dan menghela napas.
Yatta berdecak. "Lo tenang aja. Kan tinggal bel gue. Pasti beres."
Otoy mengerutkan kening dan menghela napas. Tangannya meraba dagu. Dia terus menimbang-nimbang. "Pelayannya dari mana? Tempat segede ini, kita mungkin butuh sekitar sepuluh pelayan Yat."
"Itu dia salah satu tujuan gue mau buka cabang. Pelayannya, kita minta tolong si Tessa, Muyan, dan Virly. Suruh mereka bawa teman-teman mereka. Kan lo yang usulin, kita bantu mereka meninggalkan lubang nista. Gimana? Bagus kan rencana gue?"
Otoy mendengus. "Iya, nolongin mereka keluar dari lubang nista. Tapi bikin elo sendiri terjerumus. Paling-paling semuanya lo cobain."
"Nggak lah. Tenang aja, gak akan terjadi seperti yang lo ngomong." Yatta berkata dengan yakin. Setidaknya untuk saat sekarang. Memang selalu begitu kan? Ngomong doang mah gampang.
Akhirnya Otoy menarik napas panjang sambil tersenyum. "Terserah lo dah. Memang udah kepalang basah juga sih kita. Mumpung kesempatan sedang ada, kemampuan juga ada. Cuma nyali gue aja belum terbiasa Yat."
"Ada gue. Tenang aja." Yatta menenangkan sambil tersenyum. Kalau saja Otoy tahu bahwa Yatta punya mantera sakti mandra guna, mungkin dia akan langsung mengiyakan tanpa berpikir.
Ω
Yatta dan Otoy duduk termenung di dalam warung, bernostalgia akan masa-masa dulu yang lamanya hanya beberapa bulan yang lalu. Kosan lama mereka masih sama bentuknya. Pintu depannya yang doyong tidak pernah dapat menutup rapat. Dari jauh Yatta dapat melihat si Belang yang melangkah malas-malasan melewati celah kecil di samping pintu. Kucing jalanan itu sudah menganggap kosan sebagai rumahnya, berkat pintu rusak yang tidak bisa tertutup rapat.
Warung ini juga masih sama. Si Bapak pemilik warung juga masih sama. Tapi bisnis di warung itu tidak seperti biasanya. Yatta terheran-heran. Mereka duduk nyaris sepanjang malam, tapi hanya dia dan Otoy yang menjadi penglaris.
"Pak. Orang-orang pada kemana?" Tanya Yatta.
"Iya nih, kok sepi amat yah? Yang jalan kaki lewat juga gak ada." Kata Otoy. Dia masih ingat, beberapa bulan yang lalu, semua orang harus berebut untuk duduk di dalam warung ini. Setia bertengger di dalam warung, dengan mata waspada memperhatikan parade perempuan yang berlalu lalang di sepanjang jalan. Lha, sekarang? Dari tempat mereka duduk, Otoy dapat melihat tukang tambal ban yang jauhnya sekitar tiga puluh meter. Sepanjang trotor itu kosong melompong.
"Iya, sekarang sepi dek. Tukang makanan yang di pojok jalan juga jerit-jerit." Kata Bapak tua yang tulangnya belulangnya menonjol di sekujur tubuh.
"Kenapa begitu? Dulu tempat ini ramai." Yatta prihatin memperhatikan si Bapak. Kalau keadaan masih seperti ini, dengan segera si Bapak hanya akan sisa tulang terbungkus kulit.
"Kosan ini ditutup soalnya Dek." Pak Tua menunjuk kosan khusus wanita yang berada di belakang warungnya.
Yatta dan Otoy tercengang. "Kenapa ditutup? Ramai kok ditutup?" Otoy dan Yatta bertanya nyaris bersamaan.
"Di gerebek polisi Dek. Katanya, ada beberapa penghuni kosan yang terlibat prostitusi. Akhirnya yang punya kos ikut terseret. Jadinya langsung ditutup. Sejak saat itu, sepanjang jalan ini jadi sepi. Macam kuburan dek. Sudah hampir dua bulan seperti ini. Bingung juga saya, mesti bagaimana ini." Mata Pak Tua berkaca-kaca.
Yatta dan Otoy saling pandang. Mereka sama-sama merasa alangkah beruntungnya diri mereka.
"Kasih kerjaan di tempat kita aja yah Yat?" Tanya Otoy sambil berbisik.
Yatta tersenyum menatap Otoy. "Terserah lo. Lo kan Boss nya di Kafe."
Sunyi menghinggapi, sementara Otoy memutar otak mencari pemecahan yang tepat. Di kejauhan sana, Yatta melihat sepasang kekasih bergandengan tangan, berjalan santai di atas trotoar. Suara tawa mereka merobek kesunyian hingga terdengar oleh Yatta dan Otoy. Di dalam keremangan lampu jalan yang berwarna kuning, tanpa jajanan, jauh dari kemewahan dan bersahabat dengan kesederhanaan. Hanya berjalan kaki ditemani sang kekasih, tawa mereka jauh lebih ceria dibandingkan seseorang yang setiap minggu harus berpeluh dan menyiksa diri demi merasa lebih hidup.
Yatta kembali termenung. Mungkin hidup memang seperti ini. Kita tidak pernah tahu peran macam apa yang akan kita mainkan. Yang hari ini tertawa hingga giginya kering, besok mungkin akan menangis hingga air mata yang mengering. Sama seperti Bapak pemilik warung ini. Dulu Bapak ini selalu santai menghadapi terpaan hidup. Warung sederhananya tidak pernah sepi. Sama seperti Yatta dan Otoy. Beberapa bulan yang lalu, duduk di warung ini adalah kemewahan bagi mereka berdua.
"Yat, gue tahu." Kata Otoy pada akhirnya, setelah menguras pikiran sekian lama, mencoba mencari posisi tepat untuk diisi oleh Bapak tua yang penampilannya sangat lusuh ini.
"Tahu apaan?"
"Kerjaan buat si Bapak ini. Kita kan mau buka cabang baru. Nanti si Bapak, kita suruh jaga parkir aja. Gimana nurut lo?"
"Terserah elo lah. Kan elo yang Boss. Pokoknya, gue yang urusin sampai Kafe itu buka. Setelah itu elo yang urusin pada saat operasinya." Kata Yatta malas-malasan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hipno-tease (completed)
FantasyYatta adalah pria tamatan SMA yang nekat merantau ke Jakarta. Dia sendiri tidak mengerti, entah sejak kapan dia memiliki kemampuan yang bahkan belum ada namanya di mbah gugel. Dia baru menyadari kemampuannya ini sejak bekerja sebagai cleaning servi...