Yatta berjalan menuju ruangan Pak Bento. Dia perlu bertemu dengan klien yang membatalkan kontrak itu. Dia percaya diri dengan ilmu puja pujinya. Tapi kali ini beda, karena jalur yang harus ia lalui penuh lika liku. Dia perlu membuat strategi agar dapat bertemu dengan pembuat keputusan di pihak klien. Yang sekarang bahkan tidak Yatta ketahui namanya.
"Berhenti."
Sebuah suara yang tajam dan judes menghentikan langkah Yatta. Dia memutar kepala, dan menghela napas. Lagi-lagi si cantik yang bawel. Dia sudah lupa, bahwa sekarang Pak Bento memiliki penjaga pintu yang galak, tapi manis dan.....berani. Berani dalam penampilan maksudnya. Apakah seluruh sekretaris memang harus mengenakan rok setinggi ini? Yatta teringat seragam pelayan Kafe Semok. Rok putih yang sedang dikenakan oleh Lischa hanya selisih sedikit.
"Eh lo lagi, tukang bersih-bersih. Berani amat lo gak pake seragam? Lo nyolong baju di mana? Pake baju bagus datang ke kantor Bos, lo mau cari muka?" Lischa berdiri dengan berkacak pinggang.
Dada Yatta terasa sesak. Sengatan kata-kata Lischa menimbulkan percikan api yang membakar darah hingga mendidih. Dalam hati Yatta menerawang. Anak satu ini, dengan mulut yang seperti ini, sudah berapa banyak karyawan yang dibuat sakit hati oleh dia? Mungkin satu kancing masih kurang memalukan untuk mulut comberannya.
"Mulut lo apa selalu seperti ini?" Yatta menggeram penuh ancaman. Matanya menatap Lischa dengan dingin. Tapi sekretaris bermulut jamban itu tidak merasakan ancaman Yatta.
"Bukan urusan lo. Urus kamar mandi tuh, sikat. Itu bagian elo."
Darah Yatta naik ke ubun-ubun. "Lo cantik." Dia memutuskan untuk menyudahi permainan, demi Lischa sebenarnya. Kalau dia membiarkan mulut comberan itu terus menerus menghina, dalam keadaan emosi mungkin dia akan membuat Lischa bugil di dalam kantor.
"Buka dua kancing." Perintah Yatta.
"Iya." Dengan senyum di wajah, Lischa membuka dua kancing bajunya, memamerkan dada mulus yang sebagian tertutup kutang biru.
Yatta mendengus dan berlalu ke dalam kantor Pak Bento.
"Heh, ngapain kau masuk ke.."
"Lo ganteng."
Pak Bento langsung diam dengan wajah sumringah. "Mau apa?"
"Coba ceritain, klien mana yang mau batal kontrak?" Tanya Yatta. Dia menarik kursi dan duduk di seberang Pak Bento. Bahkan dalam kondisi tak sadar, dia dapat melihat kerutan di kening Pak Bento saat mulai bercerita mengenai sebuah perusahaan besar yang membatalkan kontrak dengan alasan yang mengada-ada. Tanpa kontrak itu, perusahaan ini terancam gulung tikar.
Yatta mengerutkan kening. "Ada kartu nama pemegang keputusannya tidak?"
Dengan ekspresi datar, Pak Bento menyodorkan sebuah kartu nama.
Ω
Yatta terburu-buru masuk ke dalam Kafe Semok. Seperti biasa, Kafe ramai. Tessa dan Muyan hilir mudik mengantar dan mencatat pesanan, ditatap dengan buas oleh mata-mata yang kelaparan dari segala arah. Tatapan mata buas itu sepenuhnya dinikmati oleh Muyan, yang pada dasarnya memang eksibisionis. Dia berjalan mondar mandir mempertontonkan dadanya yang nyaris tumpah ruah, dan sesekali mengangkat kedua tangan mengibaskan rambut. Sebagai akibatnya pesanan minum mengalir dengan deras. Mungkin sikapnya semakin mengeringkan tenggorokan pengunjung.
Ah, kalau saja dia bisa mendapat tambahan beberapa pelayan yang seperti Muyan. Kafe ini mungkin akan ramai 24 jam. Atau mereka bisa saja membuka cabang di tempat lain. Yatta membatin. Dia melirik Otoy yang juga sedang sibuk menerima pembayaran. Beberapa karyawan lelaki hilir mudik membersihkan meja, mencuci, dan menyiapkan hidangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hipno-tease (completed)
FantasíaYatta adalah pria tamatan SMA yang nekat merantau ke Jakarta. Dia sendiri tidak mengerti, entah sejak kapan dia memiliki kemampuan yang bahkan belum ada namanya di mbah gugel. Dia baru menyadari kemampuannya ini sejak bekerja sebagai cleaning servi...