Bab 21

2.1K 51 0
                                    

Ini adalah pertama kalinya, Yatta tidak perlu bersusah payah berpikir mengenai dari mana atau bagaimana dia harus memulai, agar perempuan di depannya merasa nyaman. Semuanya terserah dia. Pengkhianat kecil di depannya ini terpentang lebar tak berdaya, atas kemauannya sendiri.

Yatta berdiri di antara kedua kaki Lischa yang terpentang lebar. Tangannya mulai menjelajah. Menyisir seluruh tubuh pengkhianat kecil itu, dari ujung kaki hingga puncak kepala. Tidak ada satu titikpun yang terlewatkan. Satu persatu kancing kemejanya dilucuti oleh Yatta, hingga hanya selembar celana dalam yang tersisa melekat di tubuh Lischa.

Butiran peluh mulai memenuhi kulit Lischa. Napasnya mulai tersengal. Tubuhnya menggelinjang.

Pandangan mata Yatta tanpa sengaja menumbuk sebuah meja di tepi panggung. Di atas meja itu ada sebuah bejana kaca berisi air bening. Dan berbagai macam alat permainan yang berhamburan. Beberapa di antaranya pernah dilihat oleh Yatta, saat digunakan oleh Tarok. Termasuk bejana kaca itu.

Yatta tahu, itu bukan air. Namun, minyak pelumas tubuh. Dia mengangkat bejana itu dan menyiram seluruh tubuh Lischa. Pengkhianat kecil itu menggelinjang merasakan cairan dingin tiba-tiba membasahi tubuhnya yang sedang panas terbakar gairah. Dia menjerit kecil berusaha menghindar. Tapi tubuhnya hanya dapat sedikit menggeliat, setelah itu dia mengerang dan otot-ototnya kembali merenggang pasrah.

Lischa terus menerus mengerang dan mendesah ketika tangan Yatta mengusap tubuhnya, meratakan pelumas itu ke seluruh bagian tubuhnya, tanpa terkecuali. Tubuhnya gemetar ketika tangan Yatta berulang kali menyusup masuk ke dalam celana dalam. Jeritan terdengar ketika tangan Yatta menyentak dengan keras, dan pertahanan terakhir Lischa lenyap tak berbekas. Satu-satunya bagian tubuh yang masih berpenutup adalah matanya.

Tubuh telanjangnya berkilat-kilat memantulkan sorotan lampu panggung. Terpentang lebar tanpa pertahanan. Pengkhianat kecil itu hanya bisa pasrah menerima seluruh serangan yang membuat tubuhnya hampir meledak. Tapi ini masih jauh dari selesai.

Yatta tersenyum sinis, kemudian mengeluarkan sebuah kantong plastik tembus pandang berisi pil warna warni. Dia menatap plastik itu dan tubuh telanjang Lischa bergantian. Gerahamnya mengeras. Dia melangkah ke samping Lischa. Wangi tubuhnya yang menyerupai vanilla menyeruak dan memenuhi udara. Tangan Yatta bergerak perlahan, melepaskan pengikat matanya.

Tidak ada mata judes yang terlihat. Hanya ada sepasang mata sayu yang setengah terpejam, namun sesaat kemudian mata itu membulat saat melihat sosok Yatta.

Yatta tersenyum sinis saat pandangan mata mereka bertemu, dia memperlihatkan kantong plastik berisi narkoba yang ditemukan polisi di dalam mobilnya.

"Ini cukup banyak untuk membuat seseorang dihukum mati. Tapi masih kurang kalau untuk nangkep gue." Dengan gemas dia melemparkan kantung plastik itu ke wajah Lischa. "Dan sekarang, gue akan bikin lo sampai setengah mati." Yatta mendesis.

Lischa terbelalak, dia sedikit meronta namun tahu akan sia-sia aja. Pandangan matanya mengikuti Yatta, mulutnya ternganga, namun tidak ada suara yang keluar. Sesaat kemudian dia memejamkan mata pasrah, setelah melihat Yatta kembali mendekat sambil mendorong meja yang penuh berisi peralatan.

Suara dengungan alat penggetar bersahutan dengan erangan dan desahan. Pengkhianat kecil itu menggelepar tak berdaya, dipaksa bertempur melawan puluhan alat penggetar yang menempel di bagian-bagian tubuhnya yang paling sensitif. Suara erangan dan desahannya memenuhi udara. Sementara Yatta dengan rakus menikmati tubuh indahnya yang terbentang tanpa pertahanan. Tangan dan mulutnya bekerja dengan bebas, berkelana menyisir setiap inci tubuh Lischa yang gemetar menahan birahi.

Waktu terasa sangat pendek, Yatta nyaris tidak percaya ketika melihat lampu kuning di atas pintu masuk ruangan itu tiba-tiba menyala. Perasaannya seperti baru beberapa menit dia berada di sana.

Tiba-tiba Yatta mengerti mengapa peringatan itu diberikan setengah jam sebelum waktunya selesai. Lampu itu adalah untuk mengingatkan dia agar dapat menuntaskan dahaganya sendiri.

Untuk sesaat dia beradu pandang dengan mata sayu Lischa yang setengah terkatup. Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut Lischa, namun suara desahan dan erangannya terdengar parau. Hampir satu setengah jam dia disiksa, di panggang di atas api birahi yang menghanguskan seluruh isi tubuhnya. Mata sayu yang setengah terpejam itu mengandung permohonan. Permohonan untuk dituntaskan.

Yatta melangkah berpindah tempat, dan berdiri di antara kedua kaki Lischa yang menganga lebar. Berbagai macam alat, dari yang seukuran kacang hingga yang sebesar mic, masih bergetar dan melekat di sekujur tubuhnya. Pengkhianat itu gemetar dan menggelinjang menahan berahi yang membakar seluruh syarafnya. Tubuhnya masih terikat erat, bahkan kepalanya hanya dapat menengadah, tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi di bagian kaki. Desahan dan erangan Lischa berganti dengan lenguhan panjang ketika tubuh mereka pada akhirnya menyatu.

Ω

Inikah yang disebut hidup terasa makin hidup oleh Pak Tarok?

Yatta merasakan seluruh tubuhnya lemas tak bertulang. Dia duduk di atas sofa, merasa tubuhnya meleleh mengikuti bentuk sofa. Dia tidak ingin berdiri, tidak ingin bicara, dan anehnya juga tidak ingin tidur. Dia hanya duduk di atas sofa itu sambil memejamkan mata.

Tubuh yang licin berkeringat dengan aroma vanilla itu masih sangat pekat mencengkeram hati dan pikirannya.

Apakah itu yang namanya menghukum dia? Dalam benak Yatta masih terbayang jelas wajah Lischa yang menyungging sedikit senyum setelah mereka menuntaskan segalanya. Pengkhianat sialan itu tidak terlihat seperti telah dihukum. Tapi anehnya, ada rasa lega yang menyusup ke dalam hati Yatta, saat melihat senyum simpul yang misterius timbul dari bibir tipis yang tersengal-sengal.

Mungkin perasaan marah di dalam hatinya telah menyelinap pergi tanpa pamit. Hingga ketika semuanya selesai, yang dia inginkan hanya pergi menjauh dari ruangan itu. Meninggalkan pengkhianat kecil itu terentang sendirian, terikat tak berdaya melawan puluhan alat penggetar yang masih menyala di sekujur tubuhnya. Tapi Lischa juga diam saja. Perempuan sialan itu tidak memanggil, juga tidak memohon untuk dilepaskan. Tapi wajah yang menyungging senyum itu menyusup tanpa permisi dan tinggal di dalam hatinya.

Yatta menghela napas panjang. Dia merasa tidak mengenali dirinya sendiri. Dia sendiri tidak mengerti, apa yang sedang terjadi kepada dirinya sendiri. Perempuan sialan yang pernah menghina dia, sombong, dan hampir membunuhnya, terikat tak berdaya di hadapannya, dan yang Yatta lakukan sebagai balasan adalah memuaskan perempuan itu. Yatta berulang kali memukul kepalanya.

"Mau gue bantuin mukul nggak?"

Yatta membuka mata dan mencari sumber suara. Dia melihat Otoy berdiri di kepala tangga dan memperhatikan dia sambil mengerutkan alis.

"Toy, gue mau nanya dong." Kata Yatta. Otoy berjalan mendekat. Wajahnya terlihat cerah. Sofa itu berguncang keras saat Otoy ikut menghempaskan diri tepat di samping Yatta.

"Kenapa bro?"

"Ada cewek, cakep banget. Tapi dia mau bunuh gue. Kalau lu jadi gue, gimana coba sikap lo?"

Otoy mengangkat alis dan kepalanya tersentak, matanya menatap tak percaya kepada Yatta. "Itu pertanyaan?"

Giliran Yatta yang menatap tak percaya kepada Otoy. "Ya iyalah. Kenapa? Perlu gue kirim WA dulu, biar kelihatan tanda tanya di belakang?"

Berangsur-angsur wajah Otoy berubah menjadi wajah iba. "Gue liat lo semakin dekat untuk disebut gila Yat. Ada orang mau bunuh elo, dan lo masih bisa bilang dia cakep banget? Yat, kalo gue jadi elo nih, kalo ada cewek yang mau bunuh gue, udah pasti dia kelihatan jelek banget di mata gue. Gak mungkin gue bilang dia cakep."

Yatta menahan napas memperhatikan Otoy. Mulutnya menganga. Dia tidak mengharapkan jawaban yang seperti itu. Tapi jawaban itu juga membangunkan dia, Otoy benar, ada yang salah di dalam dirinya. Mungkin Otoy juga benar, dia selangkah semakin dekat ke rumah sakit jiwa.

Yatta menggaruk kepala yang tidak gatal, merenung cemas.

Hipno-tease (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang