Yatta sengaja memilih rumah makan yang penerangannya agak remang. Rumah makan dengan gaya korea, yang meja makannya terkurung di dalam kubikel.
Dari sudut matanya, dia menangkap bayangan tinggi Tarok yang melangkah tergesa-gesa melalui pintu masuk restoran. Dia berhenti sebentar di depan meja penerima tamu, ada percakapan singkat di sana selama beberapa detik, setelah itu dia kembali melangkahkan kaki.
Yatta mengawasi pintu masuk. Sejauh ini belum ada yang ikut masuk membayangi Tarok. Yatta menunggu sampai Tarok masuk ke dalam kubikelnya, setelah itu dia berdiri dan mulai melangkah. Berulang kali Yatta memutar kepala memperhatikan pintu masuk restoran, memastikan bahwa Tarok hanya seorang diri.
Jarak di antara mereka semakin pendek, punggung Tarok sudah terlihat. Untuk terakhir kali Yatta memutar kepala ke arah pintu. Tidak ada tanda-tanda orang yang menemani Tarok. Dia langsung membenamkan diri ke dalam kubikel. Tarok agak terkejut, merasakan hembusan angin dari gerakan seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam kubikel.
"Lo ganteng." Kata Yatta, tepat saat Tarok memandangnya. Wajah Tarok langsung tersenyum damai tanpa sukma. Bagaikan sehelai foto polaroid yang tak bernyawa.
"Lo mau apa?" Mata Tarok berkabut.
Yatta memandangnya dengan senyum. Dia memiliki banyak rencana untuk orang ini. Sangat banyak, dan tidak akan berakhir menyenangkan untuk Tarok.
Ω
"Tumben mampir." Kata Lischa saat membuka pintu apartemennya. Tangannya bersilang di depan dada, tubuhnya bersandar di kosen pintu. Matanya malas-masalan menatap Yatta, seulas senyum tipis melukis wajahnya. Dia mungkin baru terbangun dari tidurnya saat Yatta menekan bel. Sebuah blus tipis membungkus baju tidurnya yang berwarna perak. Anak rambutnya tercerai berai, tapi tidak merusak kecantikannya.
"Apa begini cara kamu menyambut seorang Boss?" Tanya Yatta dengan mata berkerut. Kepalanya berputar melakukan survey kilat ke sekeliling apartemen Lischa melalui pandangan mata. Koridor di depan pintu apartemen menggunakan marmer, lampu putih menyorot terang namun tidak menyilaukan, dinding koridor dipenuhi lukisan dan tempelan dinding bermotif mozaik. Yatta bukan ahli mengenai barang-barang mewah, tapi sekali lihat saja dia sudah mengerti. Apartemen ini termasuk mewah dan berkelas. Beda jauh dengan apartemen di dekat kosan lamanya yang lorong-lorongnya setara dengan lorong di kamar mayat rumah sakit. Remang, kusam, suram, dan seram.
"Di luar jam kerja, kita sejajar. Dan ini di luar jam kerja." Lischa menatap bengal kepada yatta. Sepertinya dia sengaja ingin menguji kesabaran Yatta.
"Kau mungkin benar mengenai Boss dan anak buah. Tapi kau lupa mengenai satu hal, di antara kita berdua, selalu aku yang menghukum kamu. Setiap waktu." Yatta membungkuk dan meraih kaki Lischa. Sekejap kemudian Lischa sudah berada digendongannya.
Lischa tertawa kecil, kedua tangannya melingkari leher Yatta.
Yatta cukup terkejut saat melihat apartemen Lischa. Permadani tebal bermotif batik menghangatkan telapak kaki dari lantai marmer di bawahnya. Sofa yang tertata rapi mengelilingi sebuah meja pendek di ruangan tamu. Di belakang ruang tamu ada ruang keluarga, setelah ruang keluarga baru terlihat ruang makan dan dapur. Di setiap ruangan ada televisi layar datar, termasuk di ruang makan.
Benar yang dikatakan oleh Tarok. Bayaran yang mereka terima pada acara tiga bulanan di masso-hype dapat menghidupi mereka lebih dari cukup.
Yatta membuang Lischa ke atas sofa yang empuk. Disertai dengan jeritan kecil dari mulut Lischa.
"Apa selalu begini caramu bertamu ke rumah perempuan? Sungguh kampungan." Bibir Lischa mencuat. Dia tetap berbaring di sofa. Membiarkan blus yang menutupi baju tidurnya terbuka lebar.
Yatta tidak peduli. Dia menghempaskan diri di atas sofa sambil mengerutkan kening, berusaha memikirkan bagaimana dia harus memulai percakapan agar terdengar mengalir dan tidak mengejutkan.
"Hari minggu, kau jangan pernah pergi ke tempat Tarok lagi."
Lischa terbelalak, dia langsung duduk meluruskan punggung. Sepertinya pembicaraan tidak akan mengalir dengan tenang. "Kenapa kau tiba-tiba bicara seperti ini?"
"Tahukah kau, setiap hari minggu kau direkam?" Tanya Yatta. Matanya menusuk kelereng mata Lischa.
Lischa menarik napas panjang, dan menghelanya perlahan. Dia merapatkan blus, dan kembali melemaskan punggung hingga mengikuti bentuk sofa. Wajahnya datar, tidak ada senyum, juga tidak ada sedih. Dia menatap dinding seolah di sana ada yang menarik untuk diperhatikan. Mulutnya senyap.
Yatta tertegun. Lischa hanya diam. Namun sikapnya telah menjawab dengan jelas.
"Apakah kita harus bicara mengenai ini?" Tanya Licha. Kepalanya menekuk, memperhatikan kuku tangan.
"Aku tidak akan menyebut ini sebagai keharusan. Tapi kita perlu bicara mengenai ini. Kalau tidak, ini akan menjadi lingkaran setan yang tiada akhirnya bagimu." Kata Yatta.
Lischa mendengus. Dia memberikan lirikan tajam kepada Yatta. Kemudian kepalanya kembali menunduk dengan bahu terkulai. "Ini sudah menjadi lingkaran setan. Lagi pula, apa bedanya satu rekaman dengan seratus rekaman?" Nada suaranya penuh kegetiran.
"Karena aku akan menghancurkan lingkaran setan itu." Kata Yatta dengan tegas. Lischa mengangkat alis, matanya tak berkedip menatap Yatta.
"Kau? Kenapa kau tiba-tiba seperti tahu begitu banyak mengenai perkumpulan ini? Kau baru bergabung." Kata Lischa sambil mengerutkan kening.
"Kau tidak perlu tahu mengenai itu. Berjanjilah bahwa kau tidak akan pergi ke sana lagi setiap hari minggu." Yatta menggenggam bahu Lischa, dan menatap dalam-dalam kelereng mata Lischa.
Lischa tertegun. Dia lama terdiam, pandangan matanya yang bertemu dengan pandangan mata Yatta tak berkedip. Mereka saling berusaha mengartikan pandangan mata masing-masing.
"Hanya kalau kau punya tempat penggantinya." Lischa akhirnya berkata.
"Aku punya. Mejanya sesuai dengan yang kau mau."
Lischa mengangguk kecil kemudian mengangkat bahu. "Baiklah kalau begitu." Ada senyum di bibirnya.
"Dan kau juga tidak perlu datang ke acara tiga bulanan." Yatta meneruskan.
Kata-kata itu langsung menghapus senyum di bibir Lischa. Perempuan itu tercengang, menatap Yatta dengan sorot mata tidak percaya.
"Kau sudah tahu mengenai rekaman di dalam ruangan itu. Tapi kau belum tahu__"
"Aku tahu. Mereka juga memiliki rekaman saat acara tiga bulanan."
"Kalau begitu kau seharusnya tahu, resiko macam apa yang aku hadapi jika tidak hadir di sana." Kata Lischa lirih.
"Kau tidak akan menanggung resiko." Kata Yatta.
Lischa kembali tertegun. Pandangan matanya menyisir tubuh Yatta, dari ujung rambut hingga ke kaki. Kemudian mengedip berulang kali. "Kau tidak mengerti. Aku akan katakan ini satu kali kepadamu. Nikmatilah menjadi anggota Masso-hype. Bebaskan imajinasimu, dan lakukan segala hal yang dapat kau kenang untuk seumur hidup."
Yatta terpaku mendengar kata-kata Lischa. Tanpa terasa dia memangkas jarak dengan Lischa, dan saat Yatta sadar, dia telah mencengkeram kedua bahu Lischa. "Kau tidak perlu melakukan semua itu." Kata Yatta parau.
Lischa tercengang. Lama bola matanya bergerak menyisir wajah Yatta. "Kenapa?" Tanya Lischa lirih.
Yatta termenung, kedua tangannya yang mencengkeram bahu Lischa perlahan melemah. Dia berdiri, membaikkan tubuh dan perlahan melangkah keluar apartemen Lischa. Sembari menyeret kakinya menjauh, pikirannya menyalak kacau balau.
Ya. Kenapa? Kenapa Yatta harus peduli? Nikmati saja seluruh tubuhnya. Dia adalah objek, dan dia sendiri yang mau.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hipno-tease (completed)
FantasiaYatta adalah pria tamatan SMA yang nekat merantau ke Jakarta. Dia sendiri tidak mengerti, entah sejak kapan dia memiliki kemampuan yang bahkan belum ada namanya di mbah gugel. Dia baru menyadari kemampuannya ini sejak bekerja sebagai cleaning servi...