Yatta berdecak kesal di dalam mobilnya. Kakinya terasa pegal, injak gas sedetik, rem, gas sedetik, rem lagi. Betul, panas tidak terasa di dalam mobil. Hujan badai pun tubuh akan tetap kering di dalam mobil. Tapi waktu yang terbuang saat terjebak macet tidak akan dapat dikembalikan.
Sialan, seharusnya tadi dia naik ojek motor. Yang bisa meliuk gemulai di tengah keramaian, naik turun trotoar, dan terobos lampu merah sesuka hati. Kalau dia naik ojek motor, orang lain yang akan ia buat marah. Kalau bawa mobil, dia sendiri yang akan dibuat marah oleh orang lain. Dia meninju gagang setirnya, saking gemas melihat kendaraan umum yang dengan ganas melahap jalur tipis di depannya.
Ingin rasanya dia menabrakkan mobil ini ke kendaraan umum di depannya. Tapi ragu. Dia tidak tahu berapa harga mobil ini. Dia tidak mengerti mengenai merek-merek mobil. Yang mana mahal, yang mana berkelas, atau yang mana sekali pakai boleh buang. Maklum, baru beberapa bulan lalu, bagi Yatta seluruh potongan besi yang bermesin sudah pasti mahal dan di luar jangkauannya. Dan sekarang, tiba-tiba dia memiliki mobil dengan logo seperti sepatu Nike.
Begitu banyak tombol di dalam mobil itu yang menakutkan bagi Yatta. Dia merasa seperti sedang menunggangi bom waktu, salah menekan tombol maka dia akan meledak bersama mobilnya.
Ponselnya kembali bergetar. Dia melirik layar, Otoy lagi. Dia berdecak kesal melihat keadaan jalan di depannya yang padat merayap.
"Bro, lo udah di mana?" Suara Otoy terdengar di seberang sana. Dia tidak menutupi perasaan tegangnya.
"Sabar bro, ini macet parah. Gue setres ini, gak bisa maju. Gimana keadaan di sana?"
"Polisinya ngotot bro, mau tutup Kafe kita. Dia bilang pelayan kita terlalu seronok. Tapi anehnya, mereka galak kalo ke gue doang bro. Tapi kalo ke Tessa, Virly, Muyan, mereka ramah-ramah bro. Itu mereka malah ketawa-tawa. Ah sialan, itu malah ada yang mau godain Tessa." Otoy menggerutu.
"Diskriminasi kelamin itu namanya." Yatta menggeram kesal, sekali lagi dia memukuli gagang setir. Dalam keadaan macet seperti ini, mau sampai jam berapa dia tiba di Kafe? Kalau dia berada di sana mudah saja, sedikit puja puji akan membuat seluruh polisi itu pulang ke rumah masing-masing. Eh, tunggu dulu, bagaimana kalau melalui telepon?
"Toy, bisa kasih telpon lo ke pemimpin pasukan polisi nggak?" Tanya Yatta.
"Bisa. Sebentar."
Suara di seberang sana berganti menjadi sebuah suara yang berat dan dalam.
"Halo. Saya Bires, saya yang pimpin penyelidikan ini. Anda siapa?"
"Eh. Lo ganteng."
"HEH, BRENGSEK, MAKSUD KAU APA?"
Yatta buru-buru menutup telepon. Ternyata, jurusnya tidak faedah jika melalui sambungan telepon.
Ω
Ketika akhirnya Yatta tiba di Kafe, suasana terasa mencekam. Dua buah mobil polisi berbaris rapi di lahan parkir. Tidak ada pengunjung lain selain polisi. Yatta masuk, dan langsung bertemu Otoy di meja depan.
"Tuh, liat." Kata Otoy sambil menunjuk dengan ayunan kepala. Wajahnya lesu tanpa semangat. Yatta belum pernah melihat wajah Otoy sekusut ini.
Yatta mengikuti arah pandangan Otoy. Di dalam sana sekitar selusin polisi sedang merekatkan pita kuning. Sambil digoda oleh ketiga bidadari Kafe.
Kursi, meja, mesin kasir, dapur, semuanya dipasang pita kuning. Marni, Tono, dan Tina berdiri murung di samping dapur. Padahal baru seminggu yang lalu mereka pindah kerja dari PT. SAMPAI MAMPUS. Berharap untuk masa depan yang lebih baik. Tapi baru seminggu bekerja, malah seperti ini. Mereka bertiga berdiri dengan punggung membungkuk, jari tangan mereka saling merangkul.
Tapi sekitar lima meter di depan mereka suasana berbeda. Muyan, Tessa, dan Virly ketawa ketiwi dengan setengah lusin polisi. Mereka sudah melepaskan seragam Kafe. Sekarang semuanya mengenakan pakaian biasa, namun daya tarik mereka tidak menghilang.
Yatta langsung paham saat melihat keenam polisi itu melupakan pekerjaan mereka, dan menumpahkan perhatian kepada ketiga bidadari Kafe. Ketiga perempuan itu cukup cerdas untuk mengulur waktu mereka.
"Gimana Yat? Ada ide ngga?" Tanya Otoy.
"Tenang aja Toy. Baru pita kuning. Kalau janur kuning but si Tessa baru boleh panik lo."
"Lo masih bisa bercanda?" Otoy terbelalak. Kafe ini sekarang adalah sumber penghasilan banyak orang selain dia. Dan mereka semua adalah teman. Bagaimana dia bisa tertawa?
Yatta tersenyum membalas tatapan mata Otoy. "Tenang Toy. Gue yang beresin. Lo duduk santai saja bro. Yang mana pemimpinnya?"
Otoy menunjuk polisi yang duduk diam di pojokan, sebatang rokok terselip di bibirnya. Matanya menyapu bagian dalam Kafe, memperhatikan anggotanya yang sedang bekerja.
Yatta tersenyum, menepuk bahu Otoy dan melangkah mendekati kepala Polisi yang sedang memojok seorang diri. Pandangan mata polisi itu langsung melekat, menyelidiki Yatta dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Jarak di antara mereka masih membentang jauh, tapi sorot mata polisi itu telah menyampaikan pesan yang kurang menyenangkan. Yatta tak peduli. Dia melangkah santai memangkas jarak di antara mereka, hingga cukup dekat baginya untuk menyapa.
"Halo, Bapak ganteng." Sapa Yatta penuh senyum.
Polisi membeku sesaat, setelah itu bangkit berdiri dengan wajah cerah ceria. "Oh, halo. Anda siapa? Mau apa?"
"Kumpulin semua anak buah lo, ikut gue naik ke atas."
"Siap." Kepala polisi itu memberi hormat, dan langsung mengumpulkan anggotanya. Seluruh anggotanya terheran-heran, mereka semua mengikuti Yatta melangkah ke lantai tiga seperti anak bebek mengikuti induk.
Di lantai tiga yang kosong melompong itu, Yatta langsung berkata dengan nada lantang. "Bapak-bapak ganteng sekalian."
"Lo mau apa?" Jawab mereka serentak.
Yatta tersenyum melihat mereka seperti anak sekolah yang sedang dibina di lapangan upacara. "Gue mau lo orang pulang ke rumah masing-masing, dan lupakan bahwa lo orang pernah datang ke tempat ini."
"Siap." Seluruh polisi itu langsung berbalik badan, memasang senyum di wajah namun mata berkabut. Mereka semua langsung melangkah turun tanpa bersuara sedikitpun.
Yatta melangkah santai mengikuti di belakang mereka. Dengan di antar oleh pandangan mata keheranan dari seluruh karyawan Kafe, para polisi itu begitu saja meninggalkan mereka.
Hingga mereka menghilang dari pandangan mata, Otoy dan kawan-kawannya yang lain masih menggosok mata.
"Lo apain itu Yat?" Tanya Otoy dengan mata terbelalak. Semua orang mengelilingi Yatta menuntut jawaban.
Yatta menyapu wajah mereka. Tiba-tiba dia merasa terharu. Demikian banyak wajah yang sudah berada di sekelilingnya sejak dia masih belum menjadi apa-apa.
"Nah, Kafe kan udah keburu tutup nih hari ini. Anggap aja hari ini lo semua liburan. Ayuk semua ikut, gue traktir makan semuanya."
Semuanya langsung bersorak sorai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hipno-tease (completed)
FantasiYatta adalah pria tamatan SMA yang nekat merantau ke Jakarta. Dia sendiri tidak mengerti, entah sejak kapan dia memiliki kemampuan yang bahkan belum ada namanya di mbah gugel. Dia baru menyadari kemampuannya ini sejak bekerja sebagai cleaning servi...