Yatta berdiri di ruang depan, tapi sengaja tidak menggerakkan sapu di tangannya. Setiap beberapa menit dia mengangkat wajah, memperhatikan tempat parkir. Selang beberapa menit, yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba.
Sebuah Mercedez sporty berwarna merah apel menusuk ke dalam lahan parkir yang masih lengang. Yatta harus mengangkat tangan untuk melindungi matanya yang terbakar oleh pantulan cahaya matahari pada tubuh mobil. Untuk sesaat, lobi penerima tamu di dalam kantor PT. SAMPAI MAMPUS merah merona oleh bias warna mobil.
Yatta berdehem, menegakkan tubuh, dan dengan tegang memegang erat-erat sapu di dalam tangannya. Pak Narli, putra Pak Bento, telah tiba. Seperti biasa, pakaiannya necis. Kemilau rambutnya bersaing keras dengan mobilnya. Jas putih, celana panjang putih, dan sepatu hitam yang mengkilap menjadi seragamnya sehari-hari.
Pak Narli membuka pintu kantor, matanya menyapu seluruh sudut kantor. Tidak butuh waktu lama sampai dia menemukan bercak-becak halus di atas lantai.
"Heh. Kau ini kerja apaan? Mata kamu buta? Lihat itu, kotor sampai seperti itu tidak dibersihkan. Malah berdiri diam seperti patung." Wajahnya merah padam, matanya yang mendelik mirip dengan Ayahnya.
Tapi Yatta bergeming. Dia berjalan maju mendekati Pak Narli, setelah berjarak cukup dekat, Yatta berkata dengan lembut. "Pak, kamu pagi ini ganteng sekali." Yatta memperhatikan dengan tegang. Bisa saja dia langsung dipecat setelah ini.
Dia sudah banyak mendengar mengenai kekejaman Pak Narli. Anak yang sejak lahir tidak mengenal kata susah ini, tidak pernah menghargai kerja keras karyawannya. Bagi dia, memecat karyawan adalah bagian dari pekerjaannya. Dan dia sangat menikmati wajah-wajah karyawannya yang ketakutan saat dia marah.
Tapi pagi ini beda. Yatta memperhatikan wajah Pak Narli yang merah padam berangsur-angsur kembali menjadi coklat susu. Sebuah senyum mulai merekah, memecahkan wajah kaku yang biasanya ditampilkan.
"Pintar bicara kamu. Mendengar suaramu tiba-tiba aku teringat kue klepon. Hangat, lembut, dan manis." Narli menepuk-nepuk pundak Yatta yang sedang tercengang, tapi dengan wajah cerah. "Apa yang bisa aku lakukan untuk kamu?"
"Suruh si Marni beliin bubur ayam yang di pojok jalan. Pakai duit elo yah." Kata Yatta sambil memperhatikan air muka Narli tanpa kedip.
"Itu aja? Beres. Kamu tunggu aja di sini. Aku laksanakan."
Pak Narli pergi meninggalkan Yatta dengan langkah yang lebar. Yatta mematung sambil menggenggam sapu. Perlahan-lahan kesadarannya menggerogoti lamunannya. Senyuman mulai membelah wajah, beberapa detik kemudian dia membuang sapu di tangannya. Sambil tertawa riang dia duduk di atas meja.
"YATTA! KAU GILA?"
Sebuah suara menggelegar, membuat Yatta terlompat. Ternyata sapu yang dia buang mengenai Bu Inta yang baru masuk ke dalam kantor. Dia adalah Direktur HRD di perusahaan ini. Matanya yang dilapisi kaca mata tebal melotot ketika melihat Yatta ugal-ugalan duduk di atas meja.
"Eh, Bu Inta. Kamu cantik deh pagi ini."
Seperti kena sihir perlahan-lahan wajah Bu Inta mencair. Dan sama seperti yang sudah-sudah. Wajah marah itu berganti dengan senyum. Tidak lama kemudian kata-kata yang hampir sama kembali terdengar. "Ah, pintar bikin senang kamu. Mau minta apa kamu?"
Yatta bimbang. Sebuah pikiran yang mengerikan merasuk ke dalam benaknya. Seandainya dia berubah menjadi orang jahat, sekarang ini dia bisa melakukan sangat banyak hal. Suruh saja Ibu Inta memecat satu atau dua orang karyawan yang posisinya bagus. Setelah itu Yatta tinggal menggantikan. Toh, memecat satu dua orang tidak akan berpengaruh banyak kepada kinerja perusahaan. Tapi, pasti akan mempengaruhi kondisi dapur orang yang dipecat. Mungkin bahkan mempengaruhi kehidupan satu keluarga. Yatta mengocok kepalanya, dan cepat-cepat membuang pikiran itu.
"Ada teman yang mau lamar kerja di sini. Nanti lo terima yah." Yatta teringat kepada Otoy yang setiap pagi masih sibuk membaca kolom lowongan.
"Itu saja? Beres."
Ibu Inta pergi berlalu, meninggalkan Yatta yang masih duduk di atas meja dengan wajah penuh senyum. Menikmati kemenangan demi kemenangan yang selama ini hanya muncul di dalam mimpi.
"Yat, Yat, Jakarta bentar lagi turun salju Yat."
Yatta menoleh ke arah suara. Tapi belum ada sosok yang terlihat, hanya ada suara teriakan orang panik dan langkah kaki yang berlari mendekat. Selang beberapa detik kemudian baru terlihat Marni berlari mendekat dengan wajah basah oleh keringat. Napasnya terengah-engah menyeret tubuhnya yang mengandung lemak berlebih. Seluruh lobi bergetar oleh langkah kakinya yang berdentum keras. Seragam biru muda office girl yang ia kenakan menjadi biru gelap di beberapa tempat, dibanjiri oleh keringat.
"Apaan sih Marni? Jangan lari-lari, tar pada hancur ubinnya gara-gara elo. Kalo sampe ancur pasti gue lagi yang kena." Yatta mengerutkan kening memperhatikan wajah Marni yang bulat seperti Rotiboy.
"Eh, Yat. Gawat. Mending lu pulang deh sekarang. Sebelum kenape-nape." Kata Marni sambil terengah-engah. Wajahnya coreng moreng oleh debu dari sebelah tangannya yang tidak berhenti menyeka keringat di wajah.
"Maksudnya? Emang gue bisa kenape?" Yatta mengangkat alis.
"Pak Narli suruh gue beli bubur, buat elo."
"Lha? Lalu?" Yatta makin heran.
Marni berdecak kesal melihat wajah Yatta yang melongo tolol. "Lo udah taukan, sifat Pak Bento macam apa? Nah, gue kasih tau elo yah, anaknya, si Narli itu, lebih parah lagi daripada bokapnya. Terakhir kali dia beliin sesuatu untuk karyawan, gaji karyawan itu dipotong berikut tambahan bunganya, selain itu masih ada tambahan uang tekanan batin. Pak Narli bilang, dia stress karena keingetan terus. Makanya, gue kasihan sama elo. Mending lo madol dulu aja, jangan terima buburnya. Bos kita mah gitu orangnya. Di mulut bilang traktir, tapi prakteknya kredit tanpa agunan."
Giliran Marni yang melongo tolol saat melihat Yatta terkekeh geli, kedua tangannya mendekap perut.
"Lo gila yah?" Marni ternganga memperhatikan Yatta yang tertawa hingga tersedak.
Setelah puas tertawa, Yatta membalas pandangan mata Marni. Dia melihat tatapan mata Marni yang penuh rasa prihatin. Seketika mata prihatin itu mengingatkan Yatta pada saat dia masuk angin di dalam kantor. Hanya Marni ini yang peduli, dan mau dimintai tolong untuk mengerok punggung Yatta. Walaupun caranya mengerok tidak beda dengan mencuci baju di atas papan. Tapi hanya Marni ini yang peduli.
Sama seperti sekarang ini, Marni tergopoh-gopoh mengusir Yatta pulang juga karena peduli. Yatta menghela napas, perasaan haru menghinggapi hatinya. Yatta mengelus dagu dan mengerutkan kening, sudah seharusnya jika dia memberikan sesuatu untuk membalas kebaikan Marni. Mata Yatta menyisir tubuh Marni dari ujung kepala hingga ujung kaki, memikirkan hadiah apa kira-kira yang bisa menyenangkan hati Marni.
Tiba-tiba Yatta teringat sebuah artikel yang pernah ia baca di sebuah majalah. Artikel itu mengatakan bahwa setiap hari gajah butuh makan selama lima belas jam. Lha, Marni kenapa jarang makan? Yatta menjentikkan jari tangannya, dia telah menemukan hadiah yang tepat.
"Nih, gue tambahin duitnya Pak Narli. Elo beli aja bubur, satu buat elo, satu buat gue. Kita makan bareng. Oke?" Dengan gagah perkasa, Yatta menjulurkan selembar uang ke dalam tangan Marni.
Bibir bawah Marni bergetar seperti dawai gitar yang dipetik. Matanya mulai berembun. Tapi Yatta ternyata belum berhenti.
"Nanti siang lo mau makan apa? Lo catet aja, setelah itu kasih ke gue. Semuanya gue yang siapin, pokoknya lu tinggal telan."
"AAAAHHH!" Marni menjerit keras sambil terhuyung-huyung. Rasa haru di dalam dadanya mencapai klimaks.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hipno-tease (completed)
Viễn tưởngYatta adalah pria tamatan SMA yang nekat merantau ke Jakarta. Dia sendiri tidak mengerti, entah sejak kapan dia memiliki kemampuan yang bahkan belum ada namanya di mbah gugel. Dia baru menyadari kemampuannya ini sejak bekerja sebagai cleaning servi...