Bab 22

1.9K 36 0
                                    

Keesokan harinya tidak ada yang terasa tepat bagi Yatta. Dia yakin, bukan dia yang seharusnya merasa gugup untuk bertemu. Dia tidak melakukan kesalahan apapun. Tapi saat pintu liftnya membuka, Yatta harus menarik napas panjang tiga kali sebelum keluar dari pintu.

Saat dia berbelok ke lorong tempat ruangannya berada, seperti biasa, Lischa adalah sosok pertama yang masuk ke dalam mata. Bayangan tubuhnya yang berkilau oleh olesan minyak dan keringat langsung mengapung di atas permukaan pikiran. Yatta meneguk ludah, terasa seperti cairan karet yang kental dan pahit.

Tanpa terasa langkah kaki Yatta melebar, dia berpacu dengan angin saat lewat di depan meja Lischa. Matanya memberikan sebuah sapuan kilat kepada Lischa. Pengkhianat itu menunduk, dengan sebuah pena dan buku kosong di atas meja. Tapi jelas terlihat bahwa dia hanya pura-pura hendak menulis sesuatu.

Lischa tidak menggenggam pena itu dengan benar. Dia meremas pena itu di dalam tangannya. Dan seluruh pakaian yang ia kenakan menunjukkan kebimbangan hatinya. Dia mengenakan kemeja lengan panjang yang kebesaran untuk tubuhnya. Ujung lengan bajunya menutupi hingga setengah telapak. Dan untuk pertama kalinya, Yatta melihat Lischa mengenakan celana panjang.

Semua itu menimbulkan begitu banyak tanda tanya di dalam hati Yatta. Apalagi yang tersisa dari dirinya untuk ditutupi di depan Yatta? Apakah dia sedang berusaha mengembalikan harga dirinya? Seperti Yatta yang memasang wajah serius dan berjalan kencang seolah dikejar hantu. Seolah dengan demikian waktu dapat terbang lebih cepat dan membawanya sejauh mungkin meninggalkan hari minggu kemarin.

Yatta menutup pintu kantornya dengan perasaan lega. Dia belum pernah merasa sedemikian sulit untuk berjalan melalui lorong di depan kantornya. Dan dia tidak mengerti mengapa dia harus merasa demikian tertekan. Seharusnya dia melemparkan seringai kejam kepada pengkhianat itu, atau memberinya ancaman yang dapat membuat matanya mendelik ketakutan. Atau minimal, menuntut permintaan maaf atas perbuatannya yang berusaha memfitnah Yatta dengan satu kantung narkoba itu.

Yatta meninju pelan meja kantornya, kemudian menghempaskan diri dan membiarkan tubuhnya lunglai mengikuti bentuk kursi. Dia sedang memejamkan mata dan berusaha untuk mencari titik permasalahan yang mengacaukan seluruh cara berpikirnya, ketika suara gagang pintu yang berputar dengan lembut kembali mengacak kepingan gambar yang mulai ia susun.

Yatta mendengar suara pintu yang terbuka dan menutup dengan lembut. Hembusan angin dari pendingin ruangan mengantarkan aroma vanilla yang menyengat pikiran dan membakar paru-paru. Seluruh usaha Yatta untuk melupakan adegan hari minggu kemarin rontok tak bersisa.

Lischa melangkah dalam gerak lambat, kepalanya menekuk memperhatikan jari kakinya sendiri. Perlahan dia merayap hingga berdiri tegak di depan meja Yatta. Kedua tangannya bergerak cepat, meletakkan beberapa map yang berisi dokumen ke atas meja, setelah itu segera menarik kembali tangannya.

Yatta melemparkan pandangan cepat, secepat kilat menyapu tubuh Lischa dari kepala hingga ke kaki. Dia menangkap gerakan kedua tangan Lischa yang saling menarik ujung lengan baju agar menutupi pergelangannya. Celana panjang yang dikenakan oleh Lischa menutupi hingga tumit. Sebuah pikiran menyambar di dalam kepala Yatta, dan tanpa tertahan meluncur begitu saja keluar dari mulutnya.

"Kenapa? Kau terluka?" Yatta sendiri terkejut ketika mendengar suaranya yang mengoyak keheningan. Apalagi Lischa.

Pengkhianat kecil itu terhenyak. Dia mengangkat kepala, dan untuk pertama kalinya pada hari itu mata mereka bertemu. Lischa memberikan gelengan pelan.

"Tidak. Tidak ada luka." Lischa bergumam.

Lischa kembali menunduk dan menatap kakinya sendiri, punggungnya sedikit membungkuk untuk mohon diri. Langkah kakinya lebih ringan ketika meninggalkan ruangan.

Yatta menghela napas panjang sambil kembali menghempaskan punggungnya ke kursi. Senyum simpul itu kembali muncul. Samar dan tersembunyi, sebelum Lischa membalikkan tubuh dan berjalan keluar dari ruangan ini. Tapi tidak luput dari mata Yatta. Senyum yang sama dengan saat dia berbaring kelelahan di atas balok kayu. Hanya saja matanya yang sekarang tidak lagi sayu dan setengah terpejam.

Yatta meraih tumpukan map yang paling atas dan membuka halaman depannya. Namun, bahkan kop suratnya belum selesai ia baca, map itu sudah kembali ditutup. Dia melemparkan map itu ke atas meja dan melangkah meninggalkan kantor. Tidak ada yang dapat ia lakukan pada hari itu. Pikirannya keruh seperti lumpur.

Ω

"Mantap yah kopi bikinan gue?" Alis Marni naik turun sambil menatap lurus kepada Yatta yang telah memesan kopi untuk ketiga kalinya. Ujung bibirnya nyaris menyentuh kuping.

Yatta hanya tersenyum kecut sambil melirik tajam kepadanya. Temannya yang bertubuh subur itu tidak akan mengerti, bahwa dia membanjiri tubuhnya dengan kopi karena isi kepalanya tidak karuan. Bukan karena rasa. Mudah-mudahan cairan kopi dapat memadamkan pikiran liar yang sering kali berkobar secara sporadik di dalam kepalanya.

Yatta sendiri bukan ahli kopi. Tapi, jika rasa kopi itu ternyata tidak lebih enak daripada kopi sachet, berarti baristanya telah gagal. Dan Marni jelas berada di tingkatan itu. Barista yang belajar secara otodidak itu mengira bahwa racikannya telah berhasil membuat Kafe Semok selalu penuh. Marni tidak akan mengerti, bahwa para pengunjung dengan segera memaafkan rasa kopinya yang terlalu biasa, setelah melihat pelayan-pelayan cantik mereka berlalu lalang dengan pakaian irit bahan.

Kafe mereka masih ramai. Bahkan Yatta sebagai pemilik, hanya kebagian kursi stool di depan bar. Dia melihat wajah Marni yang cerah, Otoy yang berkeringat namun penuh semangat, Tono yang dengan penuh senyum mengucapkan selamat datang dan selamat tinggal di pintu, dan Nita yang panik di dapur karena cucian gelas dan piring yang seperti tak pernah berkurang.

Tessa lewat di sampingnya sambil membawa pesanan, matanya mengedip dan melempar senyum kepada Yatta.

Agak jauh di samping tangga, Virly tampak semampai. Rok yang terlalu pendek untuknya memamerkan kaki jenjang yang putih mulus. Dia mengangkat wajah, merasa diperhatikan. Dan saat mata mereka bentrok, Virly memberikan senyum menawan sambil menggoyang pinggul. Seolah sedang menari. Gerakannya menarik perhatian beberapa pengunjung yang langsung menatap tak berkedip. Haish, isi kepala Yatta semakin keruh. Tapi dia balas tersenyum kepada Virly.

Mata Yatta masih mencari-cari, ketika sebuah sentuhan yang halus dan hangat menggesek perlahan punggungnya. Tanpa menolehpun dia tahu, siapa yang sedang mendekat. Seperti biasa, Muyan tampil menggoda. Seolah tanpa sengaja, dadanya berseluncur di punggung Yatta. Dan berhenti tepat di samping Yatta, tak ada jarak di antara mereka. Tangannya terjulur memberikan catatan pesanan ke dalam meja bar. Baju spandeks tipis yang melaminating tubuhnya terlihat mulus. Seperti biasa, hanya ada kulit di balik spandeks tipis itu. Beberapa mata menatap iri saat melihat keberuntungan Yatta, bahunya dijadikan tempat menopang dada yang nyaris tumpah dari seragam ketatnya.

Yatta yakin, kelak pasti ada banyak orang yang ingin duduk di stool. Jari tangan Yatta mulai jahil, menggelitik dada yang menggelendot manja di bahunya.

Muyan melirik tajam, tapi mulutnya tersenyum. "Kalau mau tunggu gue selesai kerja. Sekalian pijitin gue." Dia mendesis mesra.

Yatta hanya terkekeh geli. Ada kehangatan mengalir di dalam hatinya saat melihat teman-temannya berbahagia dari bisnis yang mereka rintis. Yatta tahu, mereka semua telah mendapatkan hasil yang jauh melebihi penghasilan mereka sebelumnya. Kafe ini bukan hanya ada gaji. Namun karyawan juga diberikan persentase keuntungan, yang membuat mereka semua menganggap Kafe ini sebagai milik bersama. Kafe Semok ini adalah Kafe gotong royong, di mana seluruh karyawannya merasa setiap masalah adalah masalah bersama.

Tapi hanya sebatas itu perasaan hangat yang Yatta rasakan. Tiba-tiba rayuan Muyan terasa hambar. Yatta terpekur. Dia kembali menghabiskan kopi ketiganya hingga ke dasar. Mungkin dia hanya terlalu lelah, Yatta membatin.

Hipno-tease (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang