Bab 24

1.5K 33 0
                                    


Ponsel Yatta bergetar. Nama yang tertera di atas layar adalah nama yang telah lama ia tunggu. Tarok. Memang sudah saatnya. Dia sudah cukup banyak menabung pertanyaan untuk diajukan kepada orang ini.

Dengan senyum di bibir dia menerima panggilan itu.

"Halo. Kukira kau tidak akan pulang."

Tawa Tarok terdengar di seberang sana. "Kau ada waktu tidak hari ini?"

"Untukmu? Tentu ada." Dia mengayun pinggang dan memutar bangkunya agar menghadap jendela kantor. Jauh di bawah sana kemacetan masih mengular.

"Baik. Aku tunggu siang ini di rumah makan yang biasa."

Sambungan telepon langsung terputus sebelum Yatta sempat mengiyakan. Di luar kantornya awan hitam mulai berkumpul. Tapi sinar matahari masih sanggup membias dan menembus tirai tipis awan yang masih putih di beberapa tempat. Ruangannya terasa remang, tapi malah mendatangkan suasana santai dan nyaman. Waktu terasa berjalan lebih lambat.

Di belakangnya ada suara pintu dibuka dan ditutup. Tak lama kemudian lampu ruangannya dinyalakan, mengusir jauh-jauh suasana santai yang sedang ia nikmati.

"Kenapa kau menyalakan lampu?" Tanya Yatta. Wajahnya masih menghadap jendela. Jauh di timur, kaki langit menyatu dengan sebuah gedung berwarna putih. Terlihat hanya sebesar korek api dari tempatnya duduk sekarang. Itu adalah pusat perbelanjaan yang sangat dekat dengan bakal Kafe Semakin Semok.

"Karena Pak Yatta harus membaca ini."

Suara Lischa terdengar. Suaranya sudah terdengar seperti biasa. Dan saat Yatta memutar kursinya menghadap pintu, dia melihat penampilan Lischa juga sudah kembali seperti biasa. Sebuah kemeja bergaris hitam putih vertikal yang pas di tubuh, dipadu dengan rok mini hitam yang agak tinggi di atas lutut. Penampilan dia yang seperti sekarang ini, selalu mendatangkan kenangan yang menyengsarakan Yatta. Bayangan tubuh polos yang terhidang di depan matanya itu langsung memenuhi isi kepalanya.

Sialan, gue nunduk aja deh. Yatta memaki dalam hati. Dia menekuk kepala, pandangan matanya menatap meja. Sebelah tangannya menopang dahi, menjadi layar untuk menutupi bayangan Lischa agar tidak tertangkap mata. Yatta hanya melihat tangan kuning langsat Lischa saat menyodorkan beberapa map dan surat keatas meja. Tapi, aroma vanilla itu menyeruak tanpa tertahankan. Paru-paru Yatta langsung menghangat, angannya mulai menari liar. Wangi Vanilla itu seperti hembusan angin yang meletupkan lidah api di atas bara yang belum padam.

"Pak Yatta sakit? Mau Lischa belikan obat?" Suara Lischa terdengar lembut dan penuh perhatian. Tapi sialnya terdengar bagaikan desahan di dalam telinga Yatta.

Yatta meneguk ludah, entah untuk yang keberapa kali. Dia menggeleng sambil memberikan lirikan kilat kepada Lischa. Matanya menangkap Lischa yang sedang mencondongkan wajahnya, alis matanya berkerut memperhatikan Yatta dengan cemas. Kikuk dan gugup telah hilang tanpa bekas dari dirinya. Entah bagaimana cara pengkhianat kecil ini melepaskan diri dari belenggu perasaan itu. Sementara Yatta masih berjuang untuk membebaskan diri dari bayangan tubuhnya yang mencengkeram benak.

"Ada luka?" Lischa bergumam.

Pertanyaan lirih itu menyengat Yatta bagaikan sambaran petir. Yatta mengangkat wajah dan menatap lurus kepada Lischa. Apa pula maksud pertanyaan itu? Yatta terperangah.

Pandangan mata mereka bertemu dan saling mengikat. Sinar mata Lischa sulit untuk diartikan. Tidak dingin, juga tidak hangat. Dia tanpa berkedip membalas pandangan Yatta. Tidak ada senyum di wajahnya, juga tidak ada perasaan kikuk walaupun mereka beradu mata cukup lama, hingga akhirnya Yatta yang membuang wajah.

"Tidak. Aku tidak apa-apa." Yatta mengatur napasnya. "Tapi aku tidak bisa lama berada di dalam kantor. Dari seluruh dokumen yang ada di atas meja ini, yang mana yang bisa ditunda untuk besok?"

Hipno-tease (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang