Bab 9

4.8K 82 2
                                    


Yatta melangkah terburu-buru ke dalam kantor Pak Bento. Sudut matanya menangkap sebuah bayangan yang duduk di belakang meja yang terletak di depan ruangan Pak Bento. Sebelumnya tempat itu selalu kosong.

Yatta melewati meja itu, hendak secepatnya memasuki ruangan Pak Bento.

"Sebentar. Kok main nyelonong saja sih?"

Sebuah suara melengking menahan gerakan Yatta. Dia berdiri diam dan menoleh kepada sumber suara. Yatta melihat seorang perempuan cantik berdiri di belakang meja. Mengenakan blazer hitam, dengan sebuah kemeja putih yang pas di tubuh. Dipadukan dengan sehelai rok hitam ketat yang menggantung tinggi di atas dengkul.

Yatta melongo. Tidak menyangka akan menemukan penampakan seperti itu di dalam kantor. Tapi, mata perempuan itu tidak ramah. Dia melotot menatap Yatta, dan alisnya mulai menyatu di tengah saat menyadari pandangan mata Yatta yang menjelajahi tubuhnya.

"Hei. Dasar mata buaya. Pergi sana, ini ruangan Pak Bento. Direktur Utama." Perempuan itu kembali berkata dengan galak. Tangannya mengibas seolah Yatta adalah seekor lalat.

"Lha, gue tahu ini ruangan Pak Bento. Lalu kenapa?" Yatta melangkah mendekati perempuan itu. Dia membaca papan pengenal di atas meja, ternyata dia adalah sekretaris baru Pak Bento. Lischa namanya, seperti ada desahan saat menyebut namanya. Pikiran Yatta menari ngawur.

"Masih nanya? Eh ngaca. Lo pikir lo siapa mau sembarangan masuk ke dalam ruangan Pak Bento. Lihat seragam lo, lo cuma cleaning service. Di dalam ruangan, petinggi perusahaan ini sedang meeting. Gak terima tukang bersih-bersih. Paham?" Lischa berkacak pinggang memasang muka galak, tapi dadanya yang membusung malah membuatnya makin enak untuk dilihat.

Yatta tersenyum saja mendengar celoteh tajam Lischa. Oh? Mulutnya ternyata tidak seindah penampilannya.

Yatta menekuk kepala dan melihat dirinya sendiri. Dia baru sadar. Ternyata hari itu dia mengenakan seragam cleaning service. Dia baru ingat, dia sengaja mengenakan baju ini agar lebih solider dengan teman-temannya. Tapi untuk apa melihat diri sendiri. Yatta mengangkat wajahnya dan kembali tersenyum, lebih asik melihat Lischa.

"Cengar cengir lagi. Udah sana pergi." Alis Lischa menyatu, bibirnya mencuat. Pandangan matanya menatap Yatta seolah dia adalah kotoran.

Yatta menggeleng dan menghela napas. Anak ini harus diberi pelajaran, dia membatin.

"Lischa. Lo cantik."

Alis dan bibir Lischa seketika menjadi lurus. Pandangan matanya berkabut. "Makasih. Kamu minta apa?"

"Kancing bajunya buka satu."

"Iya." Jawab Lischa, dan langsung membuka satu kancing kemejanya. Belahan dada yang putih mulus mengintip dari balik kemejanya.

Yatta menahan tawa. "Ya udah, cukup. Kamu duduk diam saja."

"Iya."

Yatta melangkah pergi, meninggalkan Lischa beramal dengan cara yang tidak ia sadari. Yatta membuka pintu kantor, dan langsung melihat tiga petinggi perusahaan yang sedang duduk mengelilingi meja rapat. Dia tentu saja mengenal semuanya.

Pak Bento duduk di kepala meja. Narli, anaknya, duduk di sisi kanan. Kursi di sisi kirinya diisi oleh Pak Dirga, Direktur penjualan perusahaan.

Semua wajah terangkat dengan mulut menganga ketika melihat seorang cleaning service masuk ke dalam ruangan. Bersiul-siul dan kedua tangan tersembunyi di dalam kantong.

"Heh. Kau pikir siapa....!" Suara Pak Bento menggelegar, tapi tidak sampai selesai.

"Hei, orang-orang ganteng. Apa kabar?" Sahut Yatta. Seketika suasana menjadi hening. Wajah ketiga orang di depannya langsung mengulas senyum.

"Lo mau apa?" Ketiga petinggi perusahaan bertanya serempak, seperti anak sekolah yang sedang belajar membaca. Tatapan mata mereka hampa.

"Lo berdua, tidur aja." Yatta menunjuk Narli dan Pak Dirga. Seketika kepala kedua orang itu terkulai ke atas meja. Suara dengkuran halus terdengar dari mulut mereka. Pak Bento masih duduk tegak dengan kedua ujung bibir yang nyaris menyentuh kuping. Matanya tak berkedip menatap Yatta.

"Dan elo." Yatta menunjuk muka Pak Bento. "Sekarang juga bukain cek. Satu miliar." Yatta berdehem. Ini bukan ngambil. Ini rampok. Dia membatin. Tapi biar saja. Dia tahu, aset Pak Bento ratusan miliar. Mungkin bahkan mencapai triliun. Anggap saja mengajarkan orang pelit cara belanja yang baik dan benar.

"Siap!" Pak Bento tertawa lebar. Tangannya langsung menarik buku cek di balik jas. Menuliskan sesuatu di atas kertas cek, dan memberikannya kepada Yatta.

Yatta terpana saat menerima cek itu. Mulutnya menggantung di antara tersenyum dan menganga. Seumur hidupnya, dia belum pernah melihat angka nol sebanyak ini.

Ω

"Lo serius Yat? Tempat ini lo sewa?" Otoy tercengang melihat sebuah bangunan tiga lantai yang besar, dan terletak di sebuah daerah yang ramai. Harganya tentu tidak murah.

"Seriuslah. Ini makanya gue dikasih kuncinya. Sekarang, kita tinggal di sini aja. Jangan di kosan sana lagi." Yatta menunjukkan serenceng kunci di tangannya.

"Lo gila Yat. Rumah segede ini untuk apaan? Ini mah nakutin. Macam tinggal di rumah hantu ngerti?"

"Kita hanya tempatin lantai tiga, Toy. Waktu ambil tempat besar gini, gue ada maksud. Lantai dasar dan lantai dua, kita buat jadi kafe. Lantai tiga, jadi tempat tinggal kita. Gimana? Keren kan?" Yatta memainkan alisnya.

"Kafe? Lha menunya gimana? Lo bisa masak? Kopinya pake apa? Emangnya lo bisa bikin kopi yang digiling? Ingat Yat, kita ini gak bisa bikin kopi. Kita hanya bisa siram kopi instant pakai air panas." Otoy terbelalak dan berpidato panjang lebar.

"Lo tunggu dulu dong. Sabar dulu. Gue belum selesai ngomong. Kita bukan hanya berdua jalanin kafe ini."

"Sama siapa lagi?"

"Kita ajak Tessa dan Muyan. Gimana?"

Otoy tercengang. "Tessa dan Muyan? Emangnya mereka bisa bikin menu yang enak?" Otoy sangat meragukan itu.

"Pasti gak bisa." Yatta menjawab tegas.

"Lha? Lalu apa gunanya?"

"Yang penting, mereka enak dilihat." Yatta tersenyum lebar. Dia bertukar pandang dengan mata Otoy yang masih terasa hampa. "Gini Toy, gue pernah liat di internet. Di luar negeri sana, ada kafe yang menunya sangat biasa. Makanannya biasa, kopinya biasa, sampai tempat nongkrongnya juga biasa. Tapi ramai terus, karena pelayan-pelayannya luar biasa."

"Pelayannya luar biasa?" Otoy mengerutkan kening, berusaha mencerna kata-kata Yatta.

"Iya. Luar biasa cantik dan seksi." Yatta menepuk pundak Otoy.

Perlahan kerut di wajah Otoy menghilang. Wajahnya berubah cerah. "Oh, gue ngerti. Lu mau minta si Tessa dan si Muyan yang menarik pelanggan."

"Betul. Kafe ini nanti kita namain Kafe Semok. Liat aja nanti. Pasti ramai."

"Tapi, si Tessa dan Muyan mau enggak yah?" Otoy bergumam ragu.

Yatta kembali tersenyum. "Masalah itu serahin aja ke gue. Yang penting lo mau jadi Manajer Kafe."

"Manajer?" Otoy terbelalak.

"Ya. Harus elo yang jadi Manajer. Kafe ini ada karena ide elo. Gue setuju sama elo. Selagi gue mampu, seharusnya gue menolong mereka yang terperosok ke dalam lubang nista. Nanti kalau tempat ini udah selesai renovasi, lu gak usah jadi satpam lagi." Yatta tersenyum sambil merangkul sobatnya.

Otoy terlena, wajahnya perlahan bercahaya.

Hipno-tease (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang