Bab 27

1.3K 30 0
                                    


Yatta menghela napas panjang. Kedua tangannya mengapit batok kepala. Sebuah kertas putih yang bergambar denah ruangan tergeletak di bawah hidungnya.

Ruang bawah tanah yang ia temukan di gedung bakal Kafe kedua mereka telah membuat dia hampir gila. Ruang bawah tanah itu hanya sebesar kamar tidur. Dulu katanya tempat itu dibuat untuk menyimpan arak dan anggur. Tapi sudah lama tidak digunakan. Dan seiring berjalannya waktu, dilupakan begitu saja oleh pihak hotel. Baru sejak gedung itu berganti tangan kepada Yatta, denah asli gedung itu memperlihatkan rongga di bawah tanah.

Letak ruang bawah tanah itu tersembunyi. Pintu ruangan itu terhubung ke bagian belakang gedung yang sunyi, dan anehnya, tidak terhubung ke dalam gedung. Seperti bagian yang terpisah dari gedung, tapi letaknya ditindih oleh gedung itu.

Tidak akan ada yang memperhatikan, jika ada orang yang keluar masuk di tempat itu. Dinding kuno yang tebal, berlapis granit dan pecahan karang menjadi peredam suara alami yang membungkus erat ruangan itu. Tidak ada celah bagi getaran suara untuk masuk maupun keluar. Sangat cocok, untuk menempatkan sebuah meja silang di dalamnya.

Kedua tangannya kembali memijit kepala. Apakah seperti ini rasanya menjadi orang gila? Saat menemukan ruang bawah tanah itu, hanya satu pikiran itu yang muncul di dalam benaknya. Mengganggu tidur dan membuat seluruh makanan menjadi tawar.

Dan sekarang, isi pikirannya itu tertuang di atas kertas denah. Sebuah meja balok silang, dengan gelang besi di setiap ujungnya. Saat seharusnya dia menggambar bentuk rak, partisi, corak dinding, dan segala jenis renovasi yang dia inginkan di dalam Kafe, yang tergores keluar oleh pensil di tangannya hanya meja balok silang ini. Yatta menepuk jidat dengan tangannya.

Ini sudah gila. Bayangan tubuh di atas meja balok itu tidak sedetikpun dapat ia singkirkan. Terus menerus berdenyut dan mengganggu di dalam kepalanya, seperti makanan nyangkut di gigi.

Yatta berdiri dan melangkah ke luar ruangan. Mungkin membasahi wajahnya dapat membantu menyegarkan pikiran. Meja Lischa masih kosong. Masih terlalu pagi untuk memulai sebuah kegiatan. Hanya mereka yang memiliki hantu di dalam kepala hingga mengganggu tidur yang sudah memulai kegiatan.

Dia nyaris mencemplungkan diri ke dalam bak air saat berada di dalam kamar mandi kantor. Dia membasuh kepala, rambut, hingga berulang kali membenamkan wajah ke dalam ember. Tapi mencuci isi kepala ternyata tidak ada hubungannya dengan mencuci muka. Dia seperti sedang mengusap kaca akuarium dan berharap air di dalamnya menjadi jernih.

'Mungkin juga karena dia kesulitan menemukan tempat yang ada meja silang seperti milikku. Dia akan lebih menghargai jika kau memberinya permainan baru untuk petualangan selanjutnya.'

Tiba-tiba suara Tarok mengiang di telinga. Seolah orang tua itu sedang berbisik di sampingnya.

Yatta menyeret kakinya kembali ke dalam ruangan kantor. Air yang membasahi kepala membuat matanya semakin lebar, tapi tidak cukup untuk menyegarkan pikiran.

Dia membuka pintu kantornya, dan tertegun saat melihat Lischa berdiri di tepi mejanya. Tangannya memegang kertas denah yang tadi ia letakkan di atas meja, matanya yang sedang menatap permukaan kertas perlahan berpindah kepada Yatta.

Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih yang pas di tubuh, dipadu dengan rok merah yang agak tinggi di atas lutut. Dengan latar belakang jendela kaca yang menangkap cahaya matahari pagi, Lischa tampak bagaikan matahari itu sendiri yang menyinari seluruh ruangan.

Sulit mengartikan pandangan mata Lischa saat Yatta beradu tatap dengannya. Tidak ada takut, marah, atau sedih. Kata orang mata adalah jendela hati. Seandainya benar, maka jendela hati Lischa saat itu tentunya sedang menggunakan lapisan tirai hitam. Perlahan tangan Lischa mengembalikan kertas denah itu ke atas meja.

Napas Yatta terasa sesak saat aroma vanilla itu kembali mengepung hidungnya. Kemeja putih dan bawahan merah yang dikenakan Lischa dengan seketika membangkitkan kenangan di atas meja balok. Tenggorokan Yatta tersumbat. Cukup lama mereka saling menatap.

Pintu ruangan kantor Yatta perlahan menutup dan mengunci secara otomatis. Dia melangkah mendekati Lischa. Bibir tipis berwarna merah delima itu memperlihatkan celah, tapi tidak ada suara yang keluar. Lischa hanya berdiri mematung, hingga jarak Yatta hanya sepanjang lengan di depannya. Tatapan matanya tenang, dengan kedua tangan di belakang punggung.

Entah kerasukan setan apa. Tapi tidak ada yang lebih diinginkan Yatta saat itu, selain menyentuh Lischa. Setengah sadar Yatta mengangkat tangan, perlahan jarinya menyentuh bibir Lischa. Pengkhianat kecil itu diam tak bergerak, sama seperti saat itu, tanpa perlawanan. Perlahan jari Yatta turun ke dagunya, leher, terus turun menyusuri lipatan kancing kemeja, hingga ke bawah perut. Lischa tetap diam dengan kedua tangan di belakang punggung. Hanya sinar matanya sedikit meredup. Bibir tipisnya bergoyang saat dia meneguk ludah.

"Kau memakai baju putih lagi." Yatta bergumam lirih. Itupun nadanya tersengal. Dia berjuang keras melawan dorongan hati untuk melucuti deretan kancing di ujung jarinya. Seperti saat dia melucuti kemeja yang tembus pandang oleh siraman minyak oles.

"Ya." Lischa juga bergumam lirih. Bola matanya bergerak menyapu wajah Yatta untuk sesaat, kemudian diam tak bergerak dikunci oleh pandangan mata Yatta.

Pandangan mata Lischa masih sulit untuk diartikan, tapi Yatta seperti mendengar suara kecil dibisikkan oleh pandangan mata Lischa. 'Lalu kenapa?'

"Aku merusak kemeja putihmu, dan juga celana dalammu. Bagaimana aku harus menggantinya?" Yatta meneguk ludah. Sejak petualangan mereka di atas meja silang itu, ini adalah pertama kali mereka kembali membahasnya. Tangan Yatta semakin serakah, telapak tangannya mulai memegang penuh pinggang Lischa, dan perlahan mendaki naik. Pengkhianat kecil itu masih mematung dengan kedua tangan di belakang pinggang. Membeku...seolah terikat.

Lischa mulai menjilat bibir saat tangan Yatta mencapai ketiak. Napasnya semakin pendek, tapi semakin keras. Matanya mulai sayu, tapi masih membalas tatapan mata Yatta tanpa kedip. "Satu helai terlalu tidak berharga untuk dihitung. Kau sebaiknya merusak beberapa helai lagi agar aku bisa menghitung." Kata Lischa dengan lirih.

Lischa hanya diam. Tidak ada satupun bagian tubuhnya yang bergerak untuk menggoda Yatta. Wajahnya juga cenderung dingin, bukan wajah yang memancing. Namun, satu kalimat terakhir itu telah cukup untuk membuat seluruh sel di dalam tubuh Yatta bergolak dahsyat.

Yatta masih terpaku dan terguncang oleh kata-kata Lischa. Darahnya menggelora, imajinasi di dalam kepalanya beterbangan liar. Ketika kesadarannya kembali, Lischa telah menghilang. Yatta membalikkan tubuh, dan menemukan Lischa telah menyelinap ke belakang punggungnya. Entah sejak kapan.

Pengkhianat kecil itu sedang melangkah perlahan menuju pintu, sehelai kertas denah berada di dalam remasan tangannya. Yatta terheran-heran, dia mengenali kertas denah miliknya.

"Hei, kenapa kau membawa pergi kertas itu?" Tanya Yatta dengan suara parau.

Lischa berhenti melangkah dan membalikkan tubuh menghadap Yatta. Matanya bercahaya bagaikan bintang ketika menatap Yatta, sebuah senyuman tipis terulas di bibirnya. Sambil mengayunkan kertas di tangannya, dia berkata, "kau menggunakan papan yang terlalu lebar. Aku memiliki desain yang lebih baik. Nanti akan kuletakkan di atas mejamu."

Hipno-tease (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang