"Muyan." Teman Tessa berkata lirih setengah mendesah. Tangannya terjulur lemah, menyentuh lembut tangan Yatta yang mengajak salaman.
Yatta belum pernah merasakan malam yang demikian panas. Rasanya seperti berdiri di tengah kerumunan pedagang sate, dengan tungku yang masih membara.
Bagi Yatta, Waktu seperti berhenti saat Muyan memasrahkan jemari tangannya ke dalam genggaman tangannya. Matanya yang sayu tak gentar membalas pandangan mata Yatta, bibirnya yang ranum meninggalkan sebuah celah yang menerbangkan angan. Kulit tangan mereka yang bersentuhan mengalirkan sebuah pikiran liar yang membakar tenggorokan Yatta.
"Malam ini kita makan bareng yuk." Setelah beberapa kali meneguk ludah, akhirnya Yatta berhasil mengeluarkan suara, meskipun suara yang parau. Dia masih berjuang keras untuk menenangkan diri. Mata sayu Muyan yang menatap lurus, dan tangannya yang tidak kunjung ditarik semakin menyulitkan perjuangan Yatta.
"Ayuk!" Sahut Otoy dengan mata berbinar. Semangatnya yang sempat pudar dengan segera kembali bergelora. Tidak butuh menjadi orang pintar untuk dapat mengartikan pandangan mata Yatta dengan rakus menyisir seluruh tubuh Muyan.
Dengan gagah Yatta memanggil taksi dan langsung menyebut, "Ancol bang."
Otoy tercekat mendengar ajakan Yatta. "Yat. Lu serius mau ke Ancol?" Tanya Otoy sambil berbisik di telinga Yatta.
"Iyalah. Memangnya kenapa?"
"Lu pernah ke sana?"
"Nggak pernah." Jawab Yatta polos, membuat Otoy tercengang.
"Yat, gue dengar-dengar masuk aja bayar loh. Duit lo cukup nggak?" Jantung Otoy berdebar-debar. Muka mau ditaruh di mana kalau uang yang mereka bawa ternyata tidak cukup.
Yatta tersenyum memperhatikan sobatnya. Dia menghela napas. Kalau saja Otoy tahu. Cukup uang atau tidak, Yatta tinggal mengeluarkan jurus puja pujinya. Ada yang lebih penting daripada itu. Yatta melirik Tessa dan Muyan yang berdiri diam. Tidak ada penolakan dari mereka berdua, dan itu sudah cukup bagi Yatta.
"Lo tenang aja, duduk tenang, kita malam ini makan enak." Yatta menepuk-nepuk pundak Otoy.
Seumur hidupnya, Yatta hanya pernah mendengar mengenai Ancol, tapi belum pernah melihat secara langsung. Apalagi menginjak. Tapi dia tidak peduli, selama dompet setebal martabak manis, tidak ada yang ia cemaskan. Lagi pula besok tinggal isi lagi.
Mereka duduk di tepi pantai, dan Yatta memesan apapun yang menurut dia cukup menarik di dalam matanya. Angin pantai yang berhembus terus menerus tidak mampu mendinginkan darahnya yang terus menerus dibuat mendidih oleh Muyan.
Meja persegi empat yang mereka tempati secara alamiah menempatkan Muyan di samping Yatta. Otoy dan Tessa yang berada di seberang mereka sudah asik dengan pembicaraan mereka sendiri.
Tidak lama kemudian Otoy berdiri, "Yat, gue temenin Tessa dulu. Ke kamar mandi." Sebelum Yatta menjawab, mereka sudah pergi meninggalkan meja.
Yatta melirik Muyan dari sudut mata. Dia terlihat nyaman duduk berdua dengannya. "Perasaan gue, sebelum ini belum pernah deh liat elo. Memangnya sejak kapan kos di sana?" Yatta memulai percakapan dengan Muyan. Dari sudut matanya dia melihat Muyan yang sedang mengecup udang bakar. Ahh, udang yang sangat beruntung.
"Gue nggak kos di sana kok. Tadi sebenarnya hanya main ke tempat tessa."
"Tinggal di mana kalo gitu?" Tanya Yatta. Sekarang dia memutar kepala dan menatap Muyan dari samping. Tanpa terasa pandangan matanya kembali menurun dari wajah Muyan. Menyisir tubuhnya yang hanya berbalut sehelai kaus berwarna merah menyala. Kaus itu mengikat tubuh hingga tidak menyisakan rongga, dari samping terlihat dadanya yang padat berisi seolah berontak hendak menyerbu keluar. Kemudian pandangan matanya kembali turun, menyapu kedua kaki mulus yang hanya tertutup di bagian pangkal paha. Celana pendek hitam yang dikenakan oleh Muyan semakin menonjolkan kulitnya yang kuning langsat. Yatta kembali merasakan darahnya yang bergolak.
"Aku juga ngekos, tapi agak jauh dari tempat Tessa. Kenapa nanya? Mau mampir?" Muyan bertanya balik sambil mengerling nakal. Tatapan matanya yang sayu menyengat seluruh pembuluh darah Yatta.
"Mau." Yatta menjawab singkat. Tenggorokannya tercekat. Tak peduli sekuat apapun dia menarik napas, tetap saja dia merasa masih kurang untuk mengisi paru-parunya saat itu.
"Nggak boleh." Muyan kembali mengerling nakal kepada Yatta. "Gue tinggal berdua sama teman gue."
Yatta mendengus pelan. Mulutnya tersenyum simpul. Pandangan matanya kembali melekat ke tubuh Muyan. Semakin lama memperhatikan, semakin ingin dia mendapatkan. Perlahan dia mulai menyadari. Baju ketat yang dikenakan oleh Muyan seharusnya memperlihatkan tali yang melintang di bagian punggung. Tapi tidak ada tali yang terlihat, pertanda seluruh tubuh bagian atasnya hanya di balut sehelai baju itu. Yatta meneguk ludah, darahnya naik ke kepala.
"Kalau gitu, malam ini jangan pulang. Temenin gue aja." Yatta nekat menyerang. Kepercayaan dirinya telah menembus langit. Kalau dia mau, tidak ada yang bisa menolak.
"Nggak mau." Muyan mengerling sambil cemberut. Punggungnya yang tegak semakin menonjolkan bentuk tubuhnya yang dapat membuat setiap lelaki tersesat dalam perjalanan pulang.
"Oh? Nggak mau?" Yatta tersenyum, pandangan matanya mencari bayangan Otoy dan Tessa. Setelah yakin dia tidak melihat sedikitpun bayangan mereka berdua, dengan halus Yatta berbisik. "Muyan, lo cantik."
"Ahh bisa aja." Muyan sumringah. "Lo mau apa?"
"Gue mau lu diem aja, jangan bergerak."
"Iya." Muyan menjawab perlahan. Tubuhnya mematung, tatapan matanya berkabut.
Dengan tenang Yatta menggerakkan tangannya menjelajahi tubuh Muyan. Jari tangannya mengelus lehernya yang jenjang. Kemudian turun meremas dada, perut, hingga pangkal paha. Dia mendengar Muyan mendesis dengan napas yang mulai terngah saat tangannya menjelajahi dada dan pangkal paha. Muyan patuh pada permintaan Yatta. Dia diam tak bergerak dan membiarkan tangan Yatta menjelajahi seluruh tubuhnya. Matanya setengah terpejam, dan sesekali napasnya menyentak saat tangan Yatta mencapai titik-titik yang membakar gairahnya. Muyan jelas merasakan seluruh gerakan tangan Yatta yang sangat liar. Tapi tak peduli bagaimanapun liarnya tangan Yatta, Muyan patuh dan tetap mematung. Meskipun setelah beberapa lama erangan dari mulutnya terdengar semakin jelas, hingga matanya terpejam merasakan tubuhnya dibakar hasrat.
Yatta puas melihat jurus mautnya juga bekerja baik kepada wanita. Dia benar-benar bisa mendapatkan apapun yang ia mau. Matanya bersinar terang, napasnya ikut tersengal setelah merasakan seluruh tubuh Muyan yang mulus dan padat berisi. Darahnya bergelora. Dengan lembut dia kembali berbisik kepada Muyan.
"Yan, lo cantik."
"Lo mau apa?" Muyan menjawab pelan sambil mendesah. Napasnya makin tersengal karena tangan Yatta tidak berhenti bekerja.
"Gue mau lo ikut gue ke hotel."
"Iya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hipno-tease (completed)
FantasiYatta adalah pria tamatan SMA yang nekat merantau ke Jakarta. Dia sendiri tidak mengerti, entah sejak kapan dia memiliki kemampuan yang bahkan belum ada namanya di mbah gugel. Dia baru menyadari kemampuannya ini sejak bekerja sebagai cleaning servi...