Pandangan mata Yatta menyapu seluruh lobi. Keadaan lobi ini masih persis sama seperti sebulan yang lalu, saat dia datang hanya untuk melihat-lihat, namun berakhir tersesat di sebuah sudut gelap yang mengubah begitu banyak hal dalam hidupnya. Kalau saja setiap kejadian dalam hidup ini memiliki warna tersendiri, warna yang Yatta miliki selama seumur hidup mungkin kalah oleh warna yang ia buat dalam sebulan terakhir.
Dan itu belum termasuk dengan agendanya hari ini. Agenda yang telah membuatnya berguling sana-sini sepanjang malam tanpa dapat memejamkan mata. Masih segar dalam ingatannya ketika dia melihat Lischa dan Tarok berjalan melewati pintu kaca ini. Lobi ini masih sama sepinya seperti saat itu.
Yatta memperhatikan seorang pria yang berdiri di sisi lain lobi, yang kelihatannya hampir seumur dengannya. Sekitar 25 tahun. Pada saat yang bersamaan, pria itu juga memutar kepala dan menatap lurus kepada Yatta. Tidak ada orang lain di lobi itu, maka Yatta yakin, mustahil salah orang. Pikiran yang sama juga menghinggapi pria itu. Mereka sama-sama melangkah dan memangkas jarak di antara mereka.
"Selamat siang. Apakah saya sedang bicara dengan Pak Yatta?" Pria muda itu menegur Yatta dengan sopan. Kemeja dan celana panjang hitam yang ia kenakan membuat Yatta teringat pada suasana berkabung.
"Ya. Saya Yatta. Anda yang bernama Hunter?" Tanya Yatta.
"Ya, saya Hunter, tapi itu bukan nama. Nama saya adalah Rancho." Dia memperkenalkan diri sambil mengayunkan tangan memberi tanda agar Yatta berjalan mengikuti.
"Oh? Baiklah, Rancho. Lalu apa itu Hunter?" Tanya Yatta. Dia melangkah mengikuti Rancho. Sebenarnya tidak perlu. Dia masih ingat jalan menuju pintu lift. Dadanya mulai terasa sesak ketika teringat mantel panjang Lischa yang dibuang begitu saja di dalam lift.
"Hunter adalah pekerjaan saya. Tapi, untuk detailnya, aku rasa sebaiknya Pak Yatta menanyakan kepada Pak Tarok."
"Baik. Kapan beliau kembali ke Jakarta?"
"Pak Tarok tidak mengatakan itu kepada saya. Tapi saya yakin, beliau akan menghubungi Anda, begitu beliau kembali ke Jakarta. Beliau hanya berpesan, agar aku menyiapkan segala sesuatu untuk Anda."
Yatta meneguk ludah. Menyiapkan segala sesuatu! Angan Yatta berterbangan liar, membentuk segala halusinasi yang telah mengisi kepalanya selama berminggu-minggu.
"Dan apa yang telah siap?" Tanya Yatta dengan polos. Mereka telah berada di dalam lift. Lift yang sama dengan yang berulang kali muncul di dalam pikirannya.
"Dia dan semua alat permainannya." Rancho menjawab dengan ringan.
Jantung Yatta berdebar keras. Tiba-tiba ruangan lift itu terasa menyempit dan udara mengental, menyulitkan dia untuk bernapas.
"Lischa sudah datang?" Tanya Yatta. Berusaha menenangkan gelora di dalam dirinya.
"Dia sudah menunggu."
"Menunggu aku?" Yatta terbelalak.
"Ya. Aku sudah mengikatnya di atas balok. Dalam keadaan mata tertutup, seperti yang dipesan oleh Pak Tarok. Seluruh alat permainan yang ia sukai ada di samping panggung. Dan rasanya, tadi aku melihat dia membawa beberapa permainan baru." Rancho bersikap seolah mereka sedang membicarakan mengenai hidangan makan siang.
"Mata tertutup?" Tenggorokan Yatta terbakar oleh udara yang dia hisap. Pintu lift telah membuka, mereka telah berjalan masuk ke sebuah koridor yang memiliki pintu berderet-deret.
"Ya. Dia tidak tahu siapa yang akan memainkan dia saat ini."
Memainkan dia! Seolah dia adalah alat. Yatta meneguk ludah. Dia sudah tidak memperhatikan pintu mana saja yang telah mereka lewati. Ketika tiba-tiba Rancho berhenti di depan sebuah pintu ganda berwarna coklat. Senyum di wajah Rancho menyampaikan sebuah pesan yang sangat jelas, bahwa mereka telah tiba di tujuan.
"Aku tidak tahu apakah Pak Tarok pernah mengatakan ini kepada Anda. Tapi izinkan aku untuk mengulangi. Tidak boleh lebih dari dua jam, dan tidak boleh berdarah. Setengah jam sebelum waktu habis, Anda akan melihat sebuah lampu kuning yang menyala berkedip di atas pintu ini. Silahkan, nikmati waktu Anda." Ranchu membuka pintu dan mempersilahkan Yatta masuk. Gayanya seperti seorang petugas hotel membukakan pintu kamar.
Yatta melangkah masuk ke dalam ruangan gelap yang bagaikan miniatur bioskop itu. Suara berdebam yang halus terdengar ketika Rancho menutup pintu di belakang Yatta, meninggalkan Yatta seorang diri di dalam.
Tidak! Yatta tidak seorang diri.
Tepat di ujung ruangan, Di atas sebuah panggung kecil yang disorot oleh lampu kuning dari dua sisi, sudah ada seseorang yang lain. Tersusun rapi di atas balok berbentuk silang. Hidangan makan siang untuk Yatta!
Dari tempatnya berdiri, Yatta masih berjarak sekitar sepuluh meter untuk mencapai meja balok itu. Dia melangkah perlahan mendekati panggung, namun sengaja membiarkan sepatunya mengeluarkan suara.
Di atas balok itu, Lischa menggerakkan kepala mencari sumber suara. Arah kepalanya sudah benar, namun percuma saja. Sebuah penutup mata berwarna hitam telah membutakannya. Penglihatannya hanya bermain dengan dugaan di dalam kepala.
Yatta terus memangkas jarak di antara mereka. Seluruh tubuhnya panas membara. Dia melepaskan jas, dan melemparkannya ke atas bangku. Tidak ada orang lain di dalam ruangan ini. Hanya ada Yatta, dan Lischa. Tidak ada seorangpun yang akan menghalangi, apapun yang hendak Yatta lakukan terhadap pengkhianat kecil ini. Pengkhianat kecil yang sekarang berbaring terentang, dengan kedua tangan dan kaki terpentang lebar tanpa dapat digerakkan. Bahkan lehernya sekarang dikalungi dengan sebuah gelang kulit yang menyatukannya dengan balok di punggung, membuat kepalanya agak menengadah. Dia tampak semakin tak berdaya.
Sehelai kemeja putih yang tipis dan ketat masih membalut tubuh atas Lischa. Dan sehelai celana dalam berwarna merah menjadi pertahanan terakhir tubuh bawahnya. Kemeja tipis yang melaminating tubuhnya itu memperlihatkan keindahan yang samar menerawang, dan anehnya semakin membangkitkan gairah. Tidak ada benang lain di bawah kemeja tipis itu.
Yatta sudah berada di samping Lischa. Dia memperhatikan kepala Lischa yang tertekuk menengadah, tertahan oleh gelang kulit yang membelit leher. Kepala itu sekarang berhenti bergoyang, dia tahu bahwa siapapun orang yang masuk ke dalam ruangan telah berada di sekitarnya. Matanya tersembunyi dibalik kain hitam.
Napas Lischa terdengar dengan keras, seperti sedang treadmill. Sesekali dia menjilat bibir dan meneguk ludah, peluh mulai membasahi dahinya. Dia berbaring menunggu, seluruh ototnya mengejang. Tubuhnya akan merasakan petualangan baru, dan dia bahkan tidak dapat melihat wajah orang yang akan melumat habis tubuhnya. Dia bahkan tidak tahu berapa banyak orang yang akan mempermainkan tubuhnya. Bagaimana dan menggunakan apa?
Tapi Lischa diam, membiarkan ketidaktahuan di dalam dirinya tumbuh dan berkembang menjadi imajinasi paling liar yang menghanguskan tubuhnya dari dalam. Tak peduli siapa, apa, atau berapa banyak, dia hanya dapat pasrah dan menerima. Lischa menggelinjang tegang, mulutnya mendesah bahkan sebelum ada yang menyentuh kulitnya. Tubuhnya telah terbakar oleh pikirannya sendiri, bahkan sebelum ada yang menyentuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hipno-tease (completed)
خيال (فانتازيا)Yatta adalah pria tamatan SMA yang nekat merantau ke Jakarta. Dia sendiri tidak mengerti, entah sejak kapan dia memiliki kemampuan yang bahkan belum ada namanya di mbah gugel. Dia baru menyadari kemampuannya ini sejak bekerja sebagai cleaning servi...