Yatta tertegun saat merobek amplop dan melihat isinya. Ini apaan? Kok ada recehan? Lha, kok ada uang logam lima ratusan. Dia ingat, sewaktu nego gaji, angka yang disebut bulat seperti tahu.
Dia melirik Pak Bento yang kembali khusyuk menggelitik lembaran uang di dalam laci.
'Ohh, gue ngerti. Pasti ada bonus uang kerajinan, karena sebulan ini gue selalu datang paling pagi, pulang paling malam. Padahal gue ikhlas, juga gak kasih tau siapa-siapa. Si Bos perhatian banget sama gue. Ternyata gue gak salah pilih waktu pilih lamar kerja di sini.' Benak Yatta berbisik.
Yatta sumringah, matanya berkaca-kaca dengan pipi merona. Sambil duduk di seberang Pak Bento, dia mulai menghitung lembaran uang di dalam amplop. Punggungnya tegak tanpa menyentuh sandaran kursi.
Ujung bibirnya nyaris menyentuh telinga ketika mencubit lembar demi lembar uang sambil membayangkan wajah tukang es campur, pecel lele, penjaga warteg, Ibu kos, sampai si Otoy di kamar sebelah yang kuota internetnya selalu ia bajak. Yatta bertekad, malam ini wajah-wajah masam itu harus tersenyum saat melihat dia. Malam ini, semua hutang akan lunas.
Tapi tunggu dulu, kok lembarannya kurang banyak?
Kening Yatta berkerut, bibirnya menguncup. Dia kembali mencubit setiap lembar dari awal. Kali ini setiap lembar digosok keras dengan jempol dan telunjuk. Tapi tidak ada kertas yang dobel. Yatta mengangkat wajah, Pak Bento masih menghitung uang dengan serius. Mulutnya komat kamit tanpa suara seperti sedang berdoa.
"Pak. Ehem." Yatta berusaha menarik perhatian Pak Bento. Tapi usahanya seperti memukul angin. Persis seperti yang dikatakan oleh teman-teman kantor. Tidak ada yang dapat mengalihkan perhatian Pak Bento saat dia menghitung uang.
"Kenapa? Aku kasih kelebihan yah?" Tiba-tiba Pak Bento bertanya. Kepalanya masih menekuk memperhatikan laci meja, jari tangannya menari lincah memisahkan lembaran uang.
"Lho?" Yatta terlonjak mendengar pertanyaan Pak Bento. "Bukan Pak. Ini kurang." Yatta meletakkan amplop itu di atas meja.
"Hmmm?" Pak Bento tiba-tiba mengangkat wajah. Dia memberikan pandangan mata yang membuat Yatta meneguk ludah.
Seluruh tubuh Yatta menegang. Sebelah tangannya meremas tepi kursi. Sekali lagi kicauan teman-teman kantornya benar. Satu-satunya yang dapat mengalihkan perhatian Pak Bento saat dia menghitung uang, adalah saat dia dihadapkan pada kemungkinan uangnya akan berkurang.
Kumis Pak Bento yang lebih kasar daripada sikat bergerak turun naik, sinar matanya membuat Yatta teringat pada kursi listrik.
Tangan Pak Bento bergerak dan menarik keluar secarik kertas putih yang tenggelam di dalam tumpukan nota di atas meja. Dia membanting tangannya yang menjepit kertas ke atas meja di depan wajah Yatta.
"Itu hitung sendiri, potongan-potongan kamu bulan ini." Pak Bento mendengus gusar, dan menggaruk kepala. Sekarang dia harus menghitung ulang jumlah uangnya yang tidak akan selesai dalam hitungan menit.
Potongan? Yatta terheran-heran. Potong apaan? Matanya berulang kali menyapu kertas di hadapannya, alisnya berkerut. Kertas itu penuh berisi tulisan di kedua sisi.
01 15 menit rp 1.500
32 menit rp 3.200
1 gelas rp 1.000
KAMU SEDANG MEMBACA
Hipno-tease (completed)
FantasiYatta adalah pria tamatan SMA yang nekat merantau ke Jakarta. Dia sendiri tidak mengerti, entah sejak kapan dia memiliki kemampuan yang bahkan belum ada namanya di mbah gugel. Dia baru menyadari kemampuannya ini sejak bekerja sebagai cleaning servi...