Dalam ruangan bertumbuk lembaran-lembaran kata, suasana yang terdengar sepi dan hanya ada sesekali suara langkah, juga aroma yang menyumbat indra penciuman karena debu-debu dalam buku. Gadis di sana menutup sebuah buku dan berniat untuk meminjam buku yang dipegangnya.
Ia berdiam sejenak ketika melihat judul buku yang hendak dipinjam. Jika Manusia tanpa Luka dan Bahagia. Buku itu benar-benar menarik perhatiannya.
Zio rasa hidupnya ini memang datar. Monoton, tak ada yang membuatnya menangis dan tertawa. Justru, yang ia dapatkan selalu dan selalu penilaian orang-orang. Tentang dirinya yang dianggap sempurna, pendatang masalah, atau juga gadis tak punya hati yang tak pernah mau peduli.
Sempat berpikir untuk memiliki teman. Saling berkomunikasi, membuat obrolan, atau saling menuangkan ide. Namun dengan sikapnya yang seperti ini, apa ada yang mau mengajaknya berteman? Lagi pula bagi Zio, selagi bisa melakukan apa pun sendiri, mengapa harus melibatkan orang lain?
Hingga pada akhirnya yang kini ia 'miliki'--ah, pantaskah Zio menyebut lelaki yang kini berstatus sebagai pacarnya sebagai miliknya? Bukankah hubungan mereka tidak seperti orang-orang yang terlihat bahagia? Sampai saat ini ia belum merasakan apa pun. Semua masih terasa datar. Sebaliknya, Zio merasa bahwa Agrel hadir sebagai peganggu. Tingkah lelaki itu benar-benar menyebalkan di mata Zio.
Pendengarannya tiba-tiba mendengar suara dari seseorang yang tengah berada dalam pikirannya itu.
"Assalamualaikum." Zio yakin bahwa Agrel baru saja memasuki perpustakaan.
Sebenarnya, Zio merasa bahwa baru kali ini lelaki itu mengunjungi perpustakaan jika bukan karena diwajibkan. Ah, siapa tahu Agrel tengah disuruh oleh guru lain untuk mencari buku.
Mencoba menyudahi prasangkanya dengan memilih untuk berjalan mencari buku lain yang siapa tahu ingin ia pinjam juga.
Beberapa menit mencari buku ke rak satu hingga ke lainnya, ternyata tidak ada yang menarik perhatiannya untuk dipinjam.
Mungkin satu buku cukup untuk mengisi kekosongannya setiap selesai belajar. Ia pun mulai melangkah ke arah meja pustakawan di sana.
Di sana masih ada Agrel tengah berbincang. Zio mencoba mengabaikan dengan segera berkata, "Saya akan pinjam buku ini," ucap Zio.
Agrel sedikit terkejut dengan kehadiran pacarnya yang secara tiba-tiba. Ia juga menyadari ketika guru yang merupakan pustawakan di sana seolah memberikan senyuman jahil. Guru-guru bahkan petugas sekolah tahu bahwa mereka berpacaran. Mengapa begitu? Gosip ini terlalu meluas dan awalnya sangat sulit dipercaya.
"Kamu mau pinjem buku juga atau ada apa, Agrel?" tanya guru itu mencoba menggoda. Tangannya tengah menyerahkan sebuah kertas pada Zio untuk tanda bahwa telah meminjam buku di perpustakaan.
"Tahu aja niat saya mau nyamperin Zio," balas Agrel dengan melirik ke arah sang pacar.
Zio yang menyadari tatapan Agrel pun dibuat menoleh. Ia tak bersuara, hanya memberikan tatapan seolah bertanya, 'ada apa?'
"Nggak. Abis ini langsung keluar, 'kan?" tanya Agrel memastikan.
"Ya," jawab Zio singkat yang membuat Agrel tersenyum.
Setelah Zio menandatangani sebuah kertas tadi, ia melangkah keluar untuk pergi dari ruangan yang dipenuhi buku-buku itu. Agrel mengikuti. Ia sudah terlebih dulu berpamitan dengan guru tadi.
Mereka kini berada di luar. Agrel lebih dulu memulai pembicaraan. Ia menyadari di tangan kiri Zio tak hanya ada buku yang baru saja dipinjam, tetapi juga sebuah pensil dan buku gambar.
Selain membaca, menggambar juga sudah menjadi teman Zio. Gadis itu bahkan pernah memenangkan lomba tingkat kota dengan konsep menggambar abstrak. Namun karena itu, Zio tak pernah memublikasikan lagi hasil dari gambarnya. Agrel tak tahu apa alasannya, tetapi itu menjadi harapan tersendiri. Ia ingin suatu saat Zio akan menunjukkan karyanya lagi, untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond & Crystal
Teen FictionRea Nanindita dipaksa dunia untuk menjadi sempurna. Zio Nanindya diprotes dunia karena dianggap sempurna. Nasib berbeda menimbulkan perlakuan berbeda. Karakter berbeda menimbulkan penilaian berbeda. Semua ucapan yang mereka dapati menghasuti keduan...