Jika bukan di puncaknya, Rea tidak mungkin melakukan hal ini. Ia sengaja memakai masker untuk menutupi jerawatnya yang tiba-tiba bermunculan.
Tadi saat matanya pertama kali membuka, ia berjalan ke arah cermin karena terasa sedikit gatal di bagian pipinya. Tak tahu bagaimana asalnya, jerawat-jerawat kecil itu muncul bersamaan. Terlihat seperti memperkeruh bekas jerawat di wajahnya yang belum hilang.
Mereka seolah benar-benar tahu. Baru saja ia masuk ke dalam kelas, tatapan dari Keva berusaha ia abaikan. Lalu sebuah kalimat yang terlontar dari salah satu teman sekelasnya berhasil membuat detak jantungnya mengencang.
"Santai aja kali, Re. Jerawat gak bakal nular jadi gak usah pake masker," ucapnya.
"Gue lagi gak enak badan, Ki," balas Rea lalu mempercepat langkah menuju meja miliknya.
"Lo sakit, Re?" tanya Ara dengan raut wajah khawatir.
"Nggak, Ar. Gue lagi jerawatan," jawab Rea.
"Re," panggil Ara masih dengan raut wajah khawatir, "buka aja maskernya. Lo udah di tahap insecure berlebihan tahu, gak? Gak perlu ditutupin gitu lagian bukan aib."
"Kalo bukan aib kenapa orang demen ngomongin?" sarkas Rea.
Terlihat Ara menghela napas gusar. "Lo punya gue. Gak perlu sekhawatir itu sama omongan mereka."
"Sory." Permintaan maaf terlontar karena tahu Ara pasti merasa khawatir.
"Jangan minta maaf sama gue. Minta maaf sama diri sendiri. Tanyain ke diri lo yang sebenarnya, capek gak ngehindarin omongan mereka mulu?" balas Ara.
"Ya capek, Ar. Tapi gak ada pilihan lain, 'kan?" Tentu saja ia merasa lelah. Namun, ia tak punya pilihan lain karena mendapatkan perkataan mereka berujung dengan memikirkannya, itu jauh lebih melelahkan.
Pandangan Ara melihat Sam saat tak sengaja ia melihat ke arah luar.
"Si Sam tuh, mau ke lo kayaknya," ujar Ara menunjuk ke arah luar.
"Iya kayaknya. Soalnya tadi malam dia telepon tapi gue tolak karena lagi bareng papa." Mungkin, ya.
"Iya. Sana." Rea hanya mengangguk, lalu mulai berjalan menghampiri lelaki itu yang berada di luar.
"Tadi malem ada apa lo telepon?" tanya Rea sesampainya di hadapan Sam.
"Oh, itu kepencet kalo gak salah," jawab Sam. Sebenarnya, ada sepintas harapan bahwa Sam akan mengatakan sesuatu. Sesuatu yang berarti lebih bagi Rea.
"Lo kenapa pake masker? Sakit?" Sam bertanya melihat penampilan Rea yang tak seperti biasanya.
"Iya. Gue agak gak enak badan," jawab Rea bohong.
Sam sadar ketika beberapa orang di kelas itu memerhatikan interaksi mereka berdua di depan pintu kelas. Selain itu, tatapan yang menurutnya aneh membuat ia sadar bahwa itu bisa saja membuat Rea tak nyaman.
Tanpa mengucapkan apa pun, Sam menarik Rea keluar. Membawanya sedikit jauh dari area orang-orang yang berlalu lalang. Gadis itu sempat bertanya tetapi tak dihiraukan. Mau tak mau, Rea mengikut saja entah ke mana arah tujuan.
Sesampainya mereka di sebuah tempat yang suasana sekelilingnya terasa lebih sepi, keduanya mendudukkan tubuh di sebuah bangku.
"Ada yang mau diomongin?" tanya Rea penuh harap.
"Gak ada, sih. Gue keinget aja, kayaknya kita udah jarang ngobrol-ngobrol kayak dulu," jawab Sam mengingat beberapa minggu ke belakang, ia juga sempat menjauh dari Rea karena kembaran gadis itu sebagai alasan.
"Emang dulu kita suka ngobrolin apaan?" tanya Rea mengetes apakah Sam benar-benar pendengar.
"Gue mah cuma nanggepin cerita lo. Lo yang suka insecure soal jerawat, mikirin gimana ngilanginny, ngeluh soal omongan orang yang ngebanding-bandingin lo sama cewek gila itu," jawab Sam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond & Crystal
Roman pour AdolescentsRea Nanindita dipaksa dunia untuk menjadi sempurna. Zio Nanindya diprotes dunia karena dianggap sempurna. Nasib berbeda menimbulkan perlakuan berbeda. Karakter berbeda menimbulkan penilaian berbeda. Semua ucapan yang mereka dapati menghasuti keduan...