D & C: [34]

262 16 13
                                    

Tidak ada takdir yang buruk. Sejatinya, yang kita anggap baik pun tak jarang berakhir membuat kecewa. Karena kita manusia, jiwa yang semestinya berpasrahkan pada Sang Pencipta.

Rea tak pernah terpikir bahwa Tuhan membuat alur di mana chapternya berisi tentang 'dirundung oleh kembarannya sendiri'. Tidak, Tuhan tidak akan sejahat itu. Akan ada alasan di balik semua ini, 'kan? Tolong yakinkan Rea.

Meski tubuhnya sakit seakan diremukkan, matanya justru tak kunjung melelap. Terlalu banyak isi dalam kepala yang membuatnya terus membuka mata.

Ia dibuat terkejut dengan suara langkah kaki di luar kamar. Buru-buru ia berpura-pura menutup mata.

Hingga seseorang membuka pintu dan melangkah ke arahnya dengan suara langkah yang terdengar pelan. Rea yakin bahwa orang itu sengaja agar dirinya tak terbangun.

Hanya hal kecil tetapi sanggup membuat Rea menghangat. Perasaan dihargai yang membuat Rea berpikir untuk menerbitkan senyum. Ia tak setega itu untuk berpura-pura tidur sedangkan orang di sana berusaha agar dirinya tak terbangun.

Rea membuka mata yang membuat Vano menampilkan ekspresi terkejut.

"Lo bangun? Padahal gue jalannya pelan-pelan," ucap Vano lalu mendekat ke arah Rea. Kali ini langkahnya santai seperti biasa.

Lelaki itu mendudukkan tubuhnya di sebuah kursi di samping ranjang itu yang biasanya tempat Rea mengerjakan tugas.

"Gue baru pulang. Papa udah ngasih tahu masalah ini dari pas maghrib. Baru gue buka pas mau jalan. Sumpah Re, gue langsung kebutin motor," ucap Vano dengan raut wajah khawatir.

Rea dibuat tersenyum lebar mendengarnya. Ia pun mengubah posisi yang awalnya terbaring kini menjadi duduk.

"Gue udah gak apa-apa kok, Bang. Cuma masih sakit dikit," balas Rea dengan suara parau.

"Mana yang sakit? Mau gue kasih kompres? Atau ada yang pegel gak Re biar gue pijitin," ucapnya menawarkan bantuan.

Rea dibuat terkekeh pelan. "Udah dikompres sama ibu. Udah dipijit juga tadi sama papa."

"Telat ya gue," ucapnya dengan nada melemas.

"Udah, Bang. Tidur aja udah malem," ucap Rea menyuruh Vano untuk istirahat saja.

"Lo aja yang tidur duluan. Nanti gue pergi," balas Vano.

Melihat ekspresi khawatir Vano membuat Rea berucap, "kayak khawatir banget." Tawa pelan pun mengiringi.

Vano mengubah posisinya untuk duduk di sisi ranjang dekat Rea. Tangannya mulai bergerak mengusap kepala sang adik dengan tatapan penuh rasa bersalah yang bercampur sayang yang amat besar.

"Sory ya kalo selama ini gue kelihatan keras sama lo. Emang demi kebaikan lo, tapi tetep aja, gue bakal selalu khawatir kalo lo kenapa-napa," ucap Vano dengan menepuk-nepuk kepala Rea.

"Iya, Bang," balas Rea melepaskan tangan Vano dari kepalanya, "geli deh Bang Vano kayak gini tiba-tiba."

Vano terkekeh hingga diam sejenak. Ia kembali bersuara dengan bertanya, "Zio beneran ngelakuinnya, Re?" Rea mengangguk.

"Ibu sama papa gak sampe maen tangan, 'kan?" tanya Vano memastikan.

"Papa nggak. Kalo ibu sempet nampar katanya," jawab Rea, "terus kata papa Zio bakal dikurung di kamar selama seminggu."

"Sebenernya gak ngaruh karena dia aja suka ngurung diri," balas Vano, "ya udah lo tidur ya. Banyakin istirahat. Sama jangan banyak pikiran."

"Iya, Bang. Makasih udah ke sini." Rea berterima kasih menampilkan senyuman.

Diamond & CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang