D & C: [41]

106 2 0
                                    

Hari-hari berlalu, hingga tibalah hari di mana dua orang yang diskorsing itu kembali bersekolah. Rea melihat bagaimana tadi di rumah, Zio tengah bersiap sekolah. Ibunya membantu mereka menyiapkan masak dan seragam. Entahlah, Rea benar-benar merasa menghangat saat semua sudah cukup membaik.

Rea datang pagi-pagi sekali karena ada tugas yang belum ia selesaikan. Seperti yang disarankan Ara waktu itu, Rea akan berusaha untuk menuruti perkataan ibunya. Lagi pula sang ibu sudah bersikap baik, tak ada lagi alasan yang membuatnya terus bermalas-malasan.

Rea memilih mengerjakan di sekolah karena buku paketnya tertinggal di kolong meja. Meski sekarang pembelajaran sekolah pun sudah bisa dicari lewat internet jawabannya, tetapi Rea akan mencoba untuk benar-benar berusaha.

Saat dirinya tengah membuka lembaran-lembaran buku, Rea dikejutkan dengan panggilan di depan yang menyodorkan sebuah jepitan rambut. Jepitan rambut itu terlihat tidak asing.

Bukankah itu jepitan yang pernah Keva berikan pada Zio?

Wajahnya bergerak perlahan untuk mendongak, melihat siapa yang datang ke hadapannya. Ia cukup dikejutkan setelah tahu siapa.

"Muka lo hampir ketutup rambut. Coba pake jepit ini," ucapnya pelan.

Tunggu, apa yang terjadi dengan perundung satu ini?

Rea memilih tak merespons dengan memasang raut wajah tak suka. Seolah terganggu dengan kehadiran Keva yang tiba-tiba.

Karena Rea tak menerima, maka Keva memilih untuk memasukkan kembali jepitan rambut di tangannya ke dalam saku.

"Re, gue boleh ngomong?" tanyanya seperti meminta persetujuan.

"Ngomong aja," balas Rea singkat.

"Gue duduk, ya." Keva pun mendudukkan diri di hadapan Rea. Wajah mereka saling berhadapan.

"Kalo gue bilang maaf, klasik banget, ya? Gue udah ngehancurin hidup lo karena omongan gue yang ngebebanin." Rea mulai melihat ke arah Keva. Ia melihat gadis itu menunjukkan raut wajah bersalah. "Maafin gue, Re. Maaf buat semua hal nyakitin yang lo terima selama kita temenan. Apalagi pas kemarin gue kasarin lo kayak lupa kalo kita juga pernah temenan. Ralat, kayaknya kita termasuk sahabatan, 'kan?"

"Lo gak perlu minta maaf, Kev. Kan lo tahu sendiri kalo gue emang gampang maafin orang. Malah termasuk gampangan mungkin?" sarkas Rea membuat Keva memasang raut wajah tak enak.

"Gue gak tahu lo bener-bener maafin atau nggak. Takutnya lo masih gak suka sama gue. Tapi tolong, anggap lagi gue sebagai temen lo," balas Keva.

"Gue maafin, kok. Tapi gak bakal lupa. Kita juga masih bisa komunikasi, tapi nggak buat temenan kayak dulu lagi." Rea memberikan respons yang sama seperti saat kemarin Sam meminta maaf.

"Kalo buat temenan, gue juga sadar kalo gue emang udah gak pantes. Mulut, tingkah, kelakuan gue gak pantes satu lingkaran sama orang baik kayak lo dan Ara." Keva mengakui bagaimana dirinya. "Tapi cuma dianggap teman, boleh ya? Lo anggap temen, maksudnya tanpa rasa benci. Gue sadar gue emang pantes buat itu, tapi gue gak mau dapetin rasa benci dari orang baik kayak lo."

"Kesannya gue kayak antagonis yang tiba-tiba tobat." Keva terkekeh karena ucapannya sendiri. "Gue dimanja sekaligus didik keras, Re. Papa ngemanja, beda lagi sama ibu. Kesalahan dikit yang gue dapetin di rumah, pasti dapet balasan yang jahat banget dari ibu. Mungkin itu juga yang ngebuat gue sama jahatnya. Karena buah yang jatuh gak bakal jauh dari pohonnya, 'kan? Papa gue manjain banget. Gue bisa aduin semua ke papa. Papa ngasarin ibu, gue selalu bersyukur karena itu berarti gue dapet perlindungan."

"Gue cerita kayak gini bukan mau dimengerti. Gue tahu kalo apa pun masalah yang gue punya, bukan alasan buat gue nimbulin masalah juga buat orang lain."

Diamond & CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang