D & C: [19]

180 11 19
                                    

Sebagai seorang ibu, Dara selalu mengutamakan kasih sayang. Meski begitu, kewajibannya untuk mendidik seorang anak tidak pernah tertinggal. Apa pun untuk ketiga anaknya, Dara akan berikan. Bahkan sampai nyawa menjadi taruhan.

Mungkin sudah waktunya memaksa Rea menjadi lebih baik dalam belajar. Jika memerintahkan dan memberi teguran saja tak membuahkan hasil, lantas harus dengan cara apa?

Hasil pertemuan menentukan, bahwa jika anak murid yang dituju tetap mempunyai nilai kecil, maka kemungkinan tidak akan naik kelas. Memang masih semester satu, tetapi guru-guru sengaja memberitahukan hal ini pada orang tua murid agar anak mereka dapat dibiasakan dan lebih dibimbing.

Dengan hal ini Dara merasa, apakah ia gagal dalam membimbing total anak-anaknya? Sepertinya tidak. Hanya saja ia tidak tegas meski sering mengingatkan.

Mungkin benar apa yang dikatakan putra sulungnya. Waktu itu Vano pernah berkata, tidak bersikap tegas tidak membuat Rea lebih baik lagi, justru membuat Rea tenang-tenang saja.

Kali ini Dara akan lebih tegas untuk menyuruh Rea belajar, mengerjakan tugas sekolah ataupun rumah. Guru-guru juga berkata, bahwa Rea tidak terlihat disiplin dalam cara berpakaian.

"Nanti kamu bantu ibu bimbing Rea belajar, ya. Ibu gak mau kalo sampai Rea tinggal kelas. Masa gitu? Rea juga punya kembaran, 'kan?" Vano tersenyum untuk meyakinkan Dara.

"Ibu bukan mau ngebeda-bedain antara Rea sama Zio. Kamu ngerti 'kan, Vano?" Dara bertanya pada Vano sambil melirik putra sulungnya untuk meminta jawaban.

Vano menghela napas. Sejak kapan jika anak yang kembar benar-benar harus diperlakukan sama, sedangkan karakternya berbeda?

"Vano ngerti, Bu. Dan gak seharusnya ibu berpikir kayak gitu. Justru harusnya dari dulu ibu ngelakuin ini. Ini juga demi kebaikan Rea," balasnya.

"Vano ... Rea sama Zio kembar. Kenapa mereka malah saling gak peduli? Kalo alasannya orang tua, ibu nggak pernah beda-bedain. Ibu nggak ngeutamain Zio meski Zio lebih pinter dari Rea," lirih Dara.

Mendengar bahwa kasus adik kakak yang saling tak acuh bukan hanya pada kedua anaknya, Dara dan Fauzan serta Vano mulai membiarkan pelan-pelan. Mereka mulai mengartikan bahwa mungkin saja Rea dan Zio belum mampu untuk bercerita. Mereka juga berharap, semoga saja dalam hal ini Rea dan Zio dapat berpikir dewasa.

Ia salah.

Langkah setiap anak tak boleh lepas dari genggaman orang tua. Rea dan Zio belum menikah, itu artinya Dara dan Fauzan masih mempunyai tanggung jawab untuk kehidupan anak-anaknya. Termasuk cara mendewasakan. Bukan dengan cara membiarkan, bukan dengan cara membebaskan. Akan tetapi, dengan cara mendampingi.

Meski memang, cara Tuhan untuk mendewasakan hambanya selalu dengan cara menjatuhkan dan melenyapkan dalam kesendirian. Merenggut beberapa hal yang berharga, terganti oleh tangis yang biasanya membuat hati seseorang benar-benar terluka. Dalam kesedihan dan kesendirian itu, kita akan diberi kesempatan untuk memahami keadaan. Ambisi untuk bangkit datang, bersamaan dengan rasa ingin memenangkan sebuah tawa yang sempat hilang.

"Ibu kok jadi nyalahin diri sendiri? Padahal bukan salah Ibu. Rea sama Zio mungkin saling benci, tapi bukan karena Ibu. Kurang baik apa Ibu sama mereka berdua padahal mereka bener-bener punya karakter nyebelin?" Vano berusaha menenangkan ibunya yang terlihat tengah merasa bersalah.

Dara tersenyum. "Ibu emang ngerasa bersalah. Orang tua mana yang biasa-biasa aja liat anaknya saling asing?"

Keluarganya baik-baik saja, tidak ada kekerasan atau sebuah masalah yang berakibat buruk pada anak. Namun ketika melihat Rea dan Zio saling mengabaikan, Dara jadi bertanya-tanya, apa yang ia dan Fauzan perbuat sampai dua gadis kembar itu seperti sekarang?

Diamond & CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang