D & C: [37]

225 12 5
                                        

Sudah hampir tiga hari Agrel tidak bertemu Zio karena gadis itu dalam masa skorsing. Ia juga tidak berani mengirimkan pesan karena takut Zio merasa tak nyaman.

Melihat Agrel yang nampak bengong, Rendy pun ingin memberitahu sebuah informasi tentang pacar sepupunya itu.

"Gue denger yang keajak lomba si Deon," ucapnya membuka pembicaraan.

"Lomba apaan?" tanya Agrel lupa.

"Si Deon sama si Zio 'kan ngadu buat lomba Matematika. Tes pertama seri, tes kedua baru dikasih tahu tadi hasilnya," balas Rendy memberitahukan, "gue kok gak percaya ya si Deon yang keajak? Apa karena si Zio punya kasus jadi istilahnya dia dieliminasi gitu?"

"Bisa jadi," jawab Agrel singkat.

"Lo gak tahu? Si Deon juga gak demen sama cewek lo. Kurang lebih kayak si Sam." Rendy memberi tahu.

Awalnya Agrel terkejut, tetapi akhirnya ia memaklumi. "Maklum sih. Dia ngerasa keancem karena si Zio lebih unggul."

"Iya. Gue juga mikirnya gitu," balas Rendy menyetujui.

Percakapan mereka lantas terhenti, saat kehadiran Bimbim yang berlari ke arah mereka dengan raut wajah yang membuat Agrel dan Rendy jadi terheran.

"Lihat nih." Agrel dan Rendy pun membawa pandangan mereka ke arah ponsel Bimbim.

Keduanya dibuat terkejut ketika ponsel Bimbim menayangkan sebuah video kejadian yang berlangsung beberapa hari lalu.

~~~

Langkah cepat lelaki itu mendaki satu persatu anak tangga. Menghampiri sebuah kamar dengan membuka kunci kamar terlebih dahulu, lalu terbukalah kamar itu menampilkan sebuah gadis yang tengah santai di depan cermin.

"Zi," panggil Vano membuat yang dipanggil menoleh.

Padahal semalaman gadis itu sudah mendapatkan hukuman lebih dari papa mereka, tetapi bagaimana melihat sikap santainya sampai saat ini, membuat Vano berpikir bahwa Zio memang tidak merasa bersalah.

"Gue tanya sekali lagi. Apa lo ngerasa bersalah?" tanya Vano penuh penekanan, "apa yang ngebuat lo seberani itu buat ngerundung Rea? Lo bener-bener gak peduli perasaan orang tua lo, Zi?"

"Kasih alesannya Zi, kenapa lo bisa ngelakuin hal kayak gitu?!" Kali ini, Vano meninggikan suara.

"Alasan apa yang kakak maksud? Kakak sudah tahu semuanya, 'kan? Saya yang selalu bersalah, dan saya tidak akan pernah merasa bersalah!" teriaknya yang membuat Vano menahan diri untuk tidak sampai memukul Zio.

"Sampe kapan?" tanyanya pelan, "sampe kapan lo gak akan ngerasa bersalah bahkan setelah lo lihat ini?!"

Tak menunggu jawaban Zio, Vano menunjukkan ponselnya di mana ia memutar sebuah video. Di sana terlihat kejadian Zio saat memberikan tendangan ke arah tubuh Rea.

Zio yang melihatnya langsung didatangi ketakutan. Apakah kini, semua orang akan mengetahui hal buruk yang dilakukannya itu?

Vano merasa muak melihat Zio yang terlihat ketakutan. Ia pun berucap, "lo tahu? Video itu bahkan udah dilihat sama temen gue."

Zio menggelengkan kepala pelan. Vano tak ingin peduli lagi, ia mulai melangkahkan kaki untuk pergi dari kamar. Bersamaan dengan Zio yang kembali meneteskan air mata.

"Saya tidak ingin ibu dan papa tahu. Saya mohon," ucap Zio tanpa menahan pergerakan Vano.

Vano berdecih mendengar suara Zio yang melemah. Ia tahu adiknya sudah mengeluarkan air mata.

Namun, ia malah berucap, "gak gue kasih tahu pun, Tuhan bakal ngedatangin banyak cara supaya orang kayak lo tahu, apa akibat setiap perbuatan buruk yang lo lakuin. Lo jahatin orang, dunia bisa lebih jahat. Si Rea emang diam, tapi nggak dengan Tuhan."

"Kalo hukuman kecil dari orang-orang yang sayang sama lo masih lo abaiin, gue harap hukuman dari Tuhan ini perlahan bikin lo sadar apa yang harus lo ubah ke depannya. Lo juga udah pasti tahu, 'kan? Sikap gak peduli dan gak ngerasa bersalah yang lo punya. Gue nyoba mikir baik kalo lo juga punya sedikit rasa peduli atau rasa bersalah, tapi ngelihat sampe sekarang lo santai-santai aja, kayaknya emang mustahil."

Sebelum mengakhirinya, Vano kembali berkata, "gue juga gak tahu. Lo sekarang nangis karena emang ngerasa bersalah, atau cuma takut sama kehidupan lo nantinya."

Tak berucap lagi, Vano melangkahkan kaki untuk benar-benar pergi dari kamar sang adik. Terdengar suara keras saat menutupkan pintu, hingga Zio pun berhasil terpelonjak kaget.

Kini Zio sudah mulai menekuk tubuh hingga berjongkok. Ucapan-ucapan Vano barusan berhasil membuat Zio termenung hingga berpikir keras.

Ia tak menyangka bahwa akibatnya akan sefatal ini. Seakan lupa dengan perlakuan dunia pada penghuninya. Bumi akan membenci setiap manusia berhati busuk seperti dirinya.

Ia merasa takut. Takut ibu dan papanya akan benci. Tak peduli untuk diperlakukan bagaimana, Zio hanya takut ibu dan papanya tenggelam dalam kecewa. Melihat bagaimana putri yang didiknya dengan baik, tumbuh dengan sebuah kasus memalukan yang dibukakan pada dunia.

Ucapan Vano kemarin telah merubah pemikiran Zio untuk lebih peduli pada perasaan orang tua mereka.

Ia juga merasa bersalah pada Rea yang sudah diperlakukan buruk. Namun pada kenyataannya, ia memang manusia egois dan tak sepeduli itu pada orang lain. Gengsinya lebih besar, Zio belum mau menunjukkan pada Rea.

Tetap saja. Untuk saat ini, Zo tak akan tenggelam dalam ketakutan yang tengah mengerumuni. Setidaknya jika hari ini ia akan mati, upaya untuk menjadi baik telah dilakukan.

Tangannya membuka ponsel untuk mengirimkan pesan pada seseorang yang ia temui semalam. Dengan lihai ia memencet sebuah video yang pernah direkamnya beberapa hari lalu, untuk ia kirimkan pada yang bersangkutan.

Tanpa ingin melihat balasan apa pun, Zio menutup ponselnya dengan harapan bahwa rasa bersalahnya akan menghilang.

~~~

Suara berisik dari mulut-mulut yang membicarakan sebuah video yang tengah ramai itu cukup mengganggu pendengaran.

Ia tengah memainkan ponsel tanpa alasan yang jelas. Hingga sebuah notifikasi dari seseorang membuatnya berdecih merasa puas, seakan ia telah menang.

Zio pasti terpengaruh karena ancamannya semalam. Pada kenyataannya gadis itu memang tak sekuat yang terlihat, dia bahkan merasa takut hanya karena sebuah ancaman kecil.

Sam mulai membuka video yang diterimanya. Awalnya ia merasa heran, mengapa tak ada Zio di sana? Detik-perdetik video tersebut membawa ke sebuah adegan di mana seseorang memberikan tiga kali pukulan menggunakan kayu hingga tendangan ke arah adik tercinta.

Sam tak tahan lagi untuk melihatnya. Emosi sudah terkepung seakan ingin membunuh setiap manusia-manusia yang ia lihat. Namun, Sam tak akan sebodoh itu. Bahkan kini ia membutuhkan pihak sekolah untuk membantu menemukan pelaku yang sama sekali tak ia kenali.

Lelaki itu bahkan sampai berlarian mencari seorang guru yang biasanya bisa diandalkan. Harap-harap adanya video ini membuat semua terselesaikan sekarang juga.

Hingga pandangannya melihat guru pria yang tengah berjalan di depan dengan arah yang sama. Buru-buru Sam menghampiri dengan memanggilnya.

"Pak!" Pak Cukis menoleh melihat Sam yang terlihat dalam keadaan serius.

Tanpa basa-basi, Sam menayangkan video yang diterimanya tadi. Sam bisa melihat bagaimana ekspresi terkejut Pak Cukis, hingga menyuruh menghentikan video itu karena tak tahan dengan kebrutalan yang dilakukan muridnya.

"Saya mau lihat dua bocah ini sekarang." Sam berucap.

"Bapak akan panggil sekarang untuk langsung dibicarakan," ucap Pak Cukis, "lalu kamu mendapatkan video ini dari mana? Kalo pengirim adalah yang merekam, berarti dia saksi, 'kan?"

Kalimat terakhir dari Pak Cukis menyadarkan Sam, bahwa tuduhan serta sangkaannya salah total. Zio bukanlah pelaku, melainkan saksi.

Ada perasaan bersalah yang terlintas karena ucapan-ucapan gadis itu kembali memutari ingatan. Setidaknya, Sam telah memulai pendekatan dengan Lily berkat bukti yang disembunyikan Zio.

"Zio, Pak. Zio saksinya."

@reeiyra
• Senin, 09-05-2022.
• re-publish: Jum'at, 30-06-2023.

Diamond & CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang