Sudah hampir jam dua belas malam, tetapi mata terus terarah pada laptop di depan. Sesekali, matanya hampir menutup karena rasa kantuk.
Seperti saat ini. Bedanya, ia disadarkan oleh sebuah telepon dari seseorang.
Siapa yang berani menelepon di tengah malam seperti ini?
Fauzan memilih mengangkat telepon tersebut karena ini panggilan dari rekan kerja. Siapa tahu ada hal mengenai pekerjaan yang ingin disampaikan.
Rekannya hanya berkata untuk melihat pesan yang dikirimkannya. Telepon dimatikan, Fauzan dibuat mengerung merasa heran. Tetap saja, ia membuka pesan yang dimaksud.
Sebuah pesan berupa screenshot-an menggambarkan seseorang yang tak lain adalah Zio yang menendang Rea terlihat jelas.
Ia refleks memukul meja dengan penuh amarah. Tanpa berpikir apa pun lagi, Fauzan membawa kunci kamar Zio untuk ia buka. Tak peduli sudah selarut apa putrinya tidur, ia tak mau peduli.
Pria itu membukakan pintu dengan sangat keras hingga Zio yang tengah tertidur pun sampai membuka mata. Tubuhnya terpelonjat karena keterkejutan yang amat terasa. Bahkan napasnya sampai bergerak cepat tak terkontrol.
Seolah tak melihat bagaimana keadaan putrinya, Fauzan melanjutkan aksinya dengan melemparkan sebuah gelas di sana ke sembarang arah.
Buru-buru Zio berdiri dan berjalan menghampiri untuk mengungkapkan permohonan maaf. Namun sebelum itu, sesuatu terasa menancap di telapak kakinya.
Sebelum ia melihat ke bawah untuk memastikan, sebuah tamparan dari sang papa justru kembali ia dapatkan.
"Papa!" Teriakan dari Dara berhasil membuat pria itu menoleh.
Rea juga datang, buru-buru ia menghampiri Zio, memastikan keadaan kembarannya. Saat tahu ada pecahan kaca yang menancap, Rea membuka cardigan untuk menghentikan pendarahan.
Ia juga membantu Zio untuk duduk di sisi ranjang dengan langkah penuh kehati-hatian.
Sedangkan Dara terlihat menggoncangkan tubuh sang suami dengan air mata yang langsung bercucuran. "Kamu hilang akal, Pa? Kamu keterlaluan!"
Fauzan masih belum sadar. Ia segera menunjukkan foto dari rekan kerja yang baru saja diterimanya pada Dara.
Dara langsung merebut ponsel itu dan melemparnya tanpa peduli.
"Dara!" Fauzan berteriak penuh emosi.
"Saya udah lebih dulu tahu video itu. Saya gak bilang karena gak mau kamu ngasarin Zio lagi. Kita ngehukum anak-anak cukup sekali menggunakan tangan. Itu pun kalo sudah keterlaluan. Sekarang apa yang kamu lakuin? Kamu lupa dengan janjinya?!"
"Kamu tahu? Bahkan saat saya menampar Zio, saya terus merasa bersalah. Apa kamu gak merasa bersalah saat kemarin kamu nampar Zio?! " Dara menatap Zio yang tengah menundukkan kepala.
"Saya juga merasa bersalah, tapi itu hukumannya, Dara. Sekarang yang Zio lakukan sudah diketahui orang lain, bahkan rekan kerja saya," balas Fauzan.
Dara menatap Fauzan begitu dalam. Mengisyaratkan luka serta kekesalan.
"Terus kenapa kalo orang lain tahu? Malu?" tanya Dara dengan air mata yang terjatuh, "Zio juga pasti menyesali perbuatannya setelah kesalahannya disebar."
"Kamu yakin Zio menyesal?" tanya Fauzan.
"Sifat Zio nurun dari kamu. Beberapa kali ngebuat kesalahan, kamu gak pernah kelihatan bersalah. Tapi nyatanya kamu nyoba buat berubah, 'kan?" balas Dara mengingatkan, "kalo kamu masih nganggap Zio anak kamu, harusnya kamu nggak sampai bertindak seperti barusan. Kamu bakal tahu kalo dalam keadaan sekarang, Zio butuh kita untung ngelindunginnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond & Crystal
Teen FictionRea Nanindita dipaksa dunia untuk menjadi sempurna. Zio Nanindya diprotes dunia karena dianggap sempurna. Nasib berbeda menimbulkan perlakuan berbeda. Karakter berbeda menimbulkan penilaian berbeda. Semua ucapan yang mereka dapati menghasuti keduan...