D & C: [38]

104 5 0
                                    

Dara langsung memberitahukan pada sang suami terkait telepon yang ia terima dari pihak sekolah. Mereka meminta Zio untuk datang ke sekolah sekarang juga, karena Zio dinyatakan sebagai saksi dari kasus yang pernah Dara dengar kemarin.

Fauzan pun langsung pulang meski kerjaan sedang menggunung. Hingga kini, ia tengah bersama sang putri yang menutup kepala menggunakan tudung dari jaket hitam yang dikenakannya.

Mereka sudah sampai di depan parkiran SMA N 3 Harapan. Fauzan mengisyaratkan Zio untuk turun lebih dahulu tanpa suara yang terdengar. Memang, sedari tadi di perjalanan pun, keadaan mobil sangat hening tanpa iringan suara dari sang anak dan papa.

Panas mentari begitu menyengat. Beruntung keadaan sekolah tidak begitu ramai karena sepertinya, pembelajaran sedang berlangsung.

"Bawa papa ke ruang BK," ucap Fauzan yang tak direspons oleh Zio. Gadis itu hanya berjalan sedikit lebih depan dari papanya untuk menunjukkan. Dengan kepala yang tertunduk sempurna, juga postur tubuh yang tak lagi terkesan angkuh.

Fauzan mengira bahwa Zio seperti karena aksinya semalam. Pada kenyataannya, ada yang lebih ditakutkan dari itu. Takut ada rasa benci dan kecewa yang tak terhingga nantinya.

Sampailah keduanya di ruang BK. Zio berhenti mengisyaratkan pada papanya untuk masuk lebih dahulu. Fauzan mengerti, ia pun berjalan lebih dulu dengan mulai mengetuk pintu lalu masuk sambil mengucapkan salam.

Beberapa orang di dalam yang awalnya terlihat tengah mengobrol, menghentikan sejenak obrolannya dengan menoleh melihat kehadiran dua orang itu.

"Pihak saksi sudah datang." Pak Cukis berucap pada mereka yang di sana.

Sam melihat ke arah Zio dengan tatapan yang tak mampu gadis itu mengerti. Apakah Sam merasa bersalah? Tolong bisikkan pada diri, untuk tak lagi bersikap tidak peduli.

"Silakan Zio dan orang tuanya duduk di kursi yang masih kosong," ucap Bu Nara memersilakan.

Mereka duduk bersampingan, masih dengan Zio yang menundukkan kepala.

Namun, Zio menyadari ketika dua orang yang ia tahu sebagai pelaku perundung Lily memandanginya dengan raut wajah penuh kekesalan.

"Kak Zio yang ngerekam?" Seseorang di antara dua orang itu berucap. "Punya dendam apa Kak sama kita? Lo gak seharusnya ikut campur!"

"Diam!" Pak Cukis sampai memukul meja. "Kalian sudah terbukti bersalah. Dan bapak sedang mencari latar belakang kejadiannya untuk memastikan apa hukuman yang pantas bagi pelaku perundung seperti kamu."

"Jika kalian memotong pembicaraan dari saksi, bapak tak segan menghitungnya dalam bentuk hukuman." Pak Cukis memberikan peringatan yang berhasil membuat dua anak dan orang tua mereka terdiam.

"Zio, kamu tak hanya merekam, 'kan? Apa ada hal lain yang kamu saksikan di antara mereka? Dan adakah bukti lain yang bisa kamu tunjukkan?" tanya Pak Cukis mulai menuntut Zio untuk berbicara.

Tak ada jawaban hingga beberapa detik kemudian. Fauzan memilih untuk segera memanggil Zio.

"Zio," panggilnya pelan.

"Sebelumnya bapak mohon maaf karena pernah menyelidiki kamu dengan tuduhan sebagai pelaku," ucap Pak Cukis.

Netra Zio hanya fokus pada Pak Cukis. Ia mulai membuka suara dengan bertanya, "saya telah berbohong dan menyembunyikan bukti. Apakah ada hukuman untuk itu?"

"Itu ... saya serahkan pada keluarga Lily," jawab Pak Cukis lalu beralih menatap Sam, "Sam, bapak harap kamu memaafkan agar proses penghukuman untuk pelaku segera berjalan."

Tidak ada Lily di sana, karena jika Lily hadir, Sam khawatir Lily akan bereaksi sama ketika membahas pelaku. Lily selalu menangis dan terlihat begitu ketakutan.

Diamond & CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang