Sepanjang perjalanan, senyuman tak pernah memudar dari wajah cantik pemilik hati baik. Perasaan ingin segera melihat kembali tatapan hangat dari manusia berhati malaikat.
Satu-persatu langkahnya membawa harapan agar sang ibu sudah membaik, beraktivitas seperti biasa, dan akan selalu sehat.
Senyuman itu semakin mengembang saat kini, ia melihat sang ibu yang sudah kembali memasak. Di sana beliau tak sendirian, dua lelaki yang tak lain adalah sang papa dan kakaknya yang turut menemani.
Munculah sebuah niatan untuk berlari memeluk, meluapkan rasa sayangnya sekaligus melegakan perasaan khawatir yang sedari tadi hadir.
"Ibu," panggil Rea masih sambil tersenyum, "Ibu udah sembuh?" tanyanya lalu mulai bergerak untuk memeluk.
Namun, pergerakan itu sontak terhenti. Bahkan sampai membuat Rea melangkah mundur saat matanya melihat tatapan dingin wanita itu. Tatapan itu hadir kembali. Seolah sengaja memporak-porandakkan hati yang tengah disinggahi banyak harapan baru.
"Ibu jangan kayak gini lagi," ucap Rea pelan. Matanya sudah mulai terasa memanas.
Sebuah tangan terasa menyentuh pundaknya, membuat ia mendongak untuk melihat sang papa yang mencoba menghentikan.
"Ganti baju terus belajar," ujar ibunya yang sudah kembali sibuk dengan bahan-bahan masakan.
"Ayo papa temenin kamu belajar," ucap pria itu.
"Rea mau mastiin dulu kalo ibu udah sembuh," jawab Rea, "Rea juga mau lihat senyum ibu kayak tadi pagi. Tapi kenapa sekarang ibu nggak senyum lagi?"
"Ibu," panggil Rea yang tak digubris oleh Dara.
"Ibu lagi masak, Sayang. Sambil nunggu ibu selesai masak, kamu belajar sama papa, ya?" Fauzan mencoba membujuk.
"Ikut papa, Re." Vano membuka suara.
"Bang ...." Rea menatap Vano dengan sendu, mengisyaratkan sebuah bantuan agar ibunya mau menoleh.
Namun, Vano justru memberikan isyarat agar Rea mengikuti papanya. Ia pun berucap, "kapan lagi 'kan, papa temenin lo belajar? Sama gue mah galak."
Tanpa menghiraukan ucapan Vano, Rea kembali berucap untuk ibunya. "Ibu jangan sakit lagi. Maafin Rea selalu jadi beban pikiran buat ibu," ucapnya yang mendapatkan jari telunjuk ke arah mulut oleh papanya.
"Gak ada yang bilang kamu gitu," ucap Fauzan.
Rea tidak berucap apa pun lagi, ia mulai melangkah menuju kamarnya. Fauzan mengikuti langkah sang putri dari belakang. Sebelumnya, ia memberikan tatapan yang bisa diartikan oleh Vano, lelaki itu mengangguk mengerti.
"Papa nggak ikut marah ke Rea? Kayak ibu sama bang Vano," tanya Rea pelan. Pandangannya sama sekali tak berani menatap papanya. Ia yakin matanya sudah terlihat cairan bening yang hampir terjun.
"Kamu gak mau peluk papa dulu?" tanya Fauzan dengan kekehan pelan. Sikap kakunya masih terasa oleh Rea, padahal pria itu papanya sendiri.
"Rea mau papa yang mulai peluk." Jawaban Rea barusan dimengerti oleh Fauzan. Ia mulai membawa tubuh Rea ke dalam pelukannya. Memberikan usapan lembut yang membuat Rea berhasil menerjunkan air mata. "Anak papa udah gede, udah tahu gimana rasanya perlakuan orang ke kamu."
"Papa minta maaf karena selalu terkesan gak peduli. Jarang ikut kumpul, jarang nemenin kamu belajar atau apa pun itu. Papa banyak absen dari kehidupan kamu yang seharusnya banyak ditemani orang tua. Itu juga yang mungkin ngebuat kamu jarang belajar, jarang merhatiin peraturan sekolah, dan gak nurutin kemauan ibu sama bang Vano. Kamu mungkin ngerasa untuk apa, sedangkan hak kamu dari papa aja belum papa penuhi." Fauzan mencoba menenangkan dengan mengungkap rasa bersalahnya setelah mendengar perkataan dari Dara beberapa hari lalu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond & Crystal
Teen FictionRea Nanindita dipaksa dunia untuk menjadi sempurna. Zio Nanindya diprotes dunia karena dianggap sempurna. Nasib berbeda menimbulkan perlakuan berbeda. Karakter berbeda menimbulkan penilaian berbeda. Semua ucapan yang mereka dapati menghasuti keduan...