Apakah Agrel melihat dari kejauhan saat Deon memeluknya? Jika iya pun, harusnya Agrel menanyakan tentang Doen. Namun, lelaki itu malah berkata seolah-olah dia dan dirinya memiliki masalah.
Zio rasa tak ada masalah dalam hubungan mereka. Bahkan saat terakhir kali mereka bertemu, Zio dan Agrel masih baik-baik saja. Malah seharusnya, Zio yang marah karena Agrel hanya mengakui sebagai teman pada sang papa.
Ah, entahlah. Biarkan Agrel menjawab semua kebingungan yang dibuatnya.
Lelaki itu membawa Zio ke roftoop. Mereka sudah duduk bersampingan dalam beberapa menit. Agrel masih diam menatap lurus ke depan, sedangkan Zio sesekali melihat lelaki itu dengan pandangan jengah.
Bel sudah dibunyikan, Zio sampai memilih diam di sini karena masih butuh jawaban.
"Sampai kapan kita di sini?" Suara Zio memecah keheningan.
"Maunya sampe kapan?" Agrel berbalik tanya tanpa menoleh ke arah Zio.
"Kamu sedang ada masalah. Saya bisa mendengarkan jika kamu mau," ucap Zio kembali menawarkan diri.
"Si Rendy yang bilang?" Agrel bisa melihat Zio mengangguk meski ia tak menoleh langsung. "Dia bilang apa aja ke lo?"
"Hanya itu. Kamu sedang ada masalah," jawab Zio berbohong. Padahal ada kalimat lain saat tadi Rendy berucap padanya. "Lalu kamu bilang, saya ada masalah denganmu? Itu masalahnya?"
"Salah satunya," jawab Agrel.
"Kita tidak melakukan apa pun," ucap Zio membuat Agrel mulai menoleh.
"Iya. Itu masalahnya. Emang ada orang pacaran gak ngelakuin apa-apa?" tanya Agrel membuat Zio membulatkan mata.
"Agrel?" Zio dibuat tertegun dengan jawaban Agrel.
"Bukan." Agrel meluruskan kesalahpahaman Zio. "Emang ada orang pacaran saling diem-dieman? Gak juga, sih. Lo-nya aja yang diemin gue."
Zio mulai mengerti maksud dari pertanyaan Agrel. Maka ia tak segan berucap, "maaf."
Agrel menghela napas panjang, mengedarkan pandangannya ke atas dalam beberapa saat. Hingga akhirnya, ia kembali membuka suara dengan pandangan yang kembali ke arah depan.
"Kelihatannya gue bucin banget sama lo. Seakan-akan cuma lo yang ada di pikiran gue," ucapnya mulai membicarakan tentang hal ini, "nyatanya nggak, Zi. Dunia gue bukan cuma tentang lo. Ada hal lain yang gue pikirin."
Meski Zio dibuat sakit mendengar penuturan Agrel barusan, tetapi ia akan menerima karena memang begitulah kenyataannya. Ia memilih diam sampai Agrel mengatakan semua dengan jelas.
"Salah gue juga jadi cowok malah bego. Bisa-bisanya mertahanin hubungan yang gak ada apa-apanya," ucap Agrel dengan tawa pelan yang menggembarkan kekecewaan, "seenggaknya kalo gue gak berani cerita sama lo, lo andelin gue sebagai bukti kalo kita punya hubungan, sebagai bukti kalo lo butuh gue."
"Tapi dua-duanya gak berjalan. Dipikir-pikir, apa yang ngebuat gue mertahanin hubungan kita sampe udah mau tiga bulan?" tanya Agrel masih menatap ke arah depan, "semua orang juga tahu kalo gue gak mungkin ngerasa nyaman sama sikap lo. Emang bener. Gak bakal ada rasa nyaman kalo lo gak pernah sekalipun nunjukin perhatian ke gue."
Zio menatap Agrel lama. Hingga akhirnya, cairan bening dari mata jatuh ke wajah.
"Jangan dulu nangis. Masih banyak yang belum gue omongin," ucap Agrel menyadari bahwa Zio sudah menangis. Namun justru, ucapan itu membuat air mata semakin terjatuh, "jangan nangis, Zi. Gue gak suka."
"Mengapa tiba-tiba? Saya hampir menyelesaikan masalah yang saya buat karena sikap buruk saya. Saya tengah berusaha untuk berubah. Untuk mulai peduli seperti yang kamu katakan. Mengapa kamu malah mengatakannya?" ucap Zio berharap Agrel akan menatapnya.
"Ya terus gimana, Zi? Gue gak ngomongin hal ini juga, lo gak akan pernah minta bantuan ke gue, 'kan? Lo gak bakal pernah butuh gue. Dan gue bakal nyoba buat itu," balas Agrel terdengar santai.
Mencoba tak memedulikan Zio yang tengah menangis, Agrel terus melontarkan kalimat yang memang ingin ia sampaikan dari lama. Dalam keadaan seperti ini, Agrel harap ia akan menjadi egois hingga tak memedulikan perasaan Zio.
"Lo tahu gak sih kalo gue gak punya ibu?" Agrel tak mendengar jawaban ataupun melihat anggukan yang menandakan Zio mengetahui itu. Nyatanya, Zio memang tidak mengetahui. "Hal kecil tentang gue aja lo gak tahu. Gak heran lo gak pernah nunjukin seolah-olah punya perasaan sama kayak gue."
"Lo pernah bilang tapi, ya? Pas gue bilang kalo gue suka sama lo, lo sebaliknya, 'kan?" Tawa kembali terdengar membuat Zio tak tahan untuk menjatuhkan semua air matanya. "Sok-sokan banget gue bertahan sambil ngebayangin kalo suatu hari nanti, lo bakal nunjukin kalo lo juga suka sama gue."
"Dikira pas lo gak respons tingkah tengil gue yang suka gangguin lo, gue gak pernah sakit hati kali."
"Harusnya gue gak perlu maksain buat terus pacaran sama cewek yang gak bakal suka sama gue."
"Dulu gue kebawa omongan orang aja. Katanya cewek cuek kalo udah suka sama orang, bucinnya kelewatan. Mana di situ gue udah tertarik sama lo karena lo cakep. Tanpa mikir lagi gue nyatain ke lo."
"Lo terima, gue kira lo juga suka. Atau mungkin lo nyoba buat suka. Tapi makin ke sini, gue jadi dibuat bingung, apa yang ngebuat lo nerima perasaan gue sedangkan lo sampe sekarang gak pernah berubah."
"Saya akan mengusahakannya." Jawaban Zio seolah tak didengar oleh Agrel. Ia terus berceloteh mengungkap semua perasaan kecewanya.
"Gue ngomong gini karena gue emang lagi butuh seseorang. Seseorang yang selalu peduli tentang gue. Bisa tahu hal-hal kecil karena emang selalu pengen tahu. Apalagi dalam keadaan gue sekarang, gue butuh orang yang jadi tempat gue ngeluh, nyerita, dan gue juga mau denger omongan yang bisa bikin gue tenang."
"Gue mau denger lo yang selalu khawatirin gue, yang marahin gue pas ngelakuin kesalahan sekecil apa pun, gue mau denger gimana lo yang cerewet. Gue bakal ngerasa bener-bener punya lo kalo seandainya lo gitu."
"Tapi nyatanya?" Agrel terkekeh mengingat ucapannya sendiri.
"Hubungan gue sama bapak lagi berantakan dalam beberapa hari ke belakang. Gue berantakan banget Zi mikirin hal itu. Mau ngeluh ke lo. Emang lo bakal peduli? Yang ada sikap yang nantinya lo tunjukin jadi beban pikiran buat gue."
Zio menggeleng-gelengkan kepala. "Saya akan menjadi orang yang kamu butuhkan. Tolong yakinkan kembali bahwa saya akan berubah."
Terdengar decihan pelan. "Gue rasa, masalah gue sama bapak lebih penting buat diperbaikin daripada hubungan kita yang kayak gini."
"Agrel!" Zio memanggil dengan nada yang terselip emosi. "Kamu tidak mendengarkan? Saya yang akan merubahnya!"
Agrel berdiri lalu membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arah Zio yang masih duduk.
"Dunia lo juga bukan tentang gue, Zi. Gue gak sepenting itu, 'kan? Jangan kayak gini kalo nantinya lo bakal gak peduli lagi."
Agrel melihat wajah Zio yang mendongak dengan wajahnya yang dipenuhi air mata. Tatapannya membuat perasaan Agrel terasa diremukkan tak berdaya.
Perlahan, kedua tangannya mengusap wajah Zio untuk menghapus air mata yang tengah memenuhi. Kemudian ia merasakan tangannya yang dipegang oleh Zio dengan sangat erat seolah tak mau dilepaskan. Pegangan yang Zio berikan turut membawa pandangannya, untuk menatap lekat mata indah gadis itu.
Zio pun memandanginya tak kalah lekat. Mereka sama-sama menyalurkan rasa cinta dalam pandangan mereka. Sampai kapan pun, pandangan itu tak akan lepas karena rasa cinta itu tak akan pernah berhenti.
Namun, Agrel telah meyakinkan diri bahwa semuanya akan berubah jika dengan melepaskan. Dengan mencoba menghapus harapan-harapan tentang melihat senyuman Zio, serta karya berupa lukisan gadis itu, untuknya. Agrel akan menghapus semua itu.
Ia mulai bergerak melepaskan tangannya dari wajah Zio, sekaligus melepaskan tangan Zio dari tangannya. Membuat Zio menggelengkan kepala karena ia tahu, apa yang akan Agrel lakukan selanjutnya.
"Kita sampe sini ya, Zi. Gue harap, nantinya gue bisa lihat cowok mana yang dapetin lo versi berubah kayak yang lo bilang tadi."
@reeiyra
• Jum'at, 30-06-2023.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond & Crystal
Подростковая литератураRea Nanindita dipaksa dunia untuk menjadi sempurna. Zio Nanindya diprotes dunia karena dianggap sempurna. Nasib berbeda menimbulkan perlakuan berbeda. Karakter berbeda menimbulkan penilaian berbeda. Semua ucapan yang mereka dapati menghasuti keduan...