Kejadian tadi langsung menjadi pembicaraan. Semua orang sama seperti Rea, tak menyangka gadis seanggun Nadila bisa berbicara kasar seperti tadi. Kali ini artian 'tak menyangka' tidak ditujukan untuk merendahkan. Biasanya orang-orang akan berkata, "ternyata gak sebaik yang kelihatan."
Tidak, Nadila benar-benar baik. Kakak kelasnya itu rela melepas image dirinya dari hadapan semua orang. Seakan tak peduli apa tanggapan orang lain tentangnya, ia terus mengangkat kebenaran meski dengan cara yang tak biasa.
Alih-alih fokus pada yang Nadila lakukan, orang-orang ternyata ikut menyudutkan Rea. Seolah manusia sepertinya tak pantas mendapatkan pembelaan dari orang lain.
Seperti sekarang, saat Rea tengah berjalan untuk pulang tatapan orang-orang terpusat pada gerak-geriknya. Tolong, jika hidupnya adalah sebuah kesalahan, maka Rea rela mati saat itu juga. Jangan memperlakukannya seolah ia menjijikkan dan tak pantas hidup.
"Gila. Kak Nadila tadi ngamukin ketua ekskul musik cuma buat ngebela si Rea." Seseorang berkata.
"Gue kasian sama Kak Nadila-nya. Padahal dia ketua OSIS dan udah dipandang baik. Masa bikin masalah cuma gara-gara hal gak penting, 'kan?" Yang lain silih menyahuti.
Detik selanjutnya Rea berhasil terpelonjat kaget kala ada sesuatu yang terlempar ke arahnya.
"Asli lo, Re. Gak ada rasa bersalahnya banget padahal udah bikin masalah," ucap seseorang yang tadi melempar sebuah batu kecil pada Rea.
"Lo pernah mikirin orang lain gak sih? Seenggaknya lo jangan jadi beban kalo gak bisa apa-apa. Image Kak Nadila pasti beda, dan itu gara-gara lo," lanjutnya mengoceh.
Rea masih diam sedikit menunduk. Merasa kelu padahal ingin memprotes. Ingin melawan tetapi Rea tahu ia tak mampu.
"Gue juga setuju sama omongan si ketua ekskul musik. Kalo lo gabung, mungkin lo cuma bisa malu-maluin. Orang lain gak ada yang penampilannya berantakan. Daripada makin malu-maluin, mending lo benerin dulu wajah lo."
Dengan susah payah, Rea mencoba mengatakan rangkaian kata yang sudah ia siapkan. Meski dengan pelan dan tanpa kesan tegas, Rea berhasil berucap, "Image Kak Nadila gimana emang? Bagi gue dia tetep baik. Mungkin kalian aja yang punya pemikiran buruk."
~~~
Dunia adalah tipu daya. Semua orang senang menipu, dan senang menyembunyikan.
Kebahagiaan dan kesedihan kita tak akan pernah bisa dipahami oleh orang lain. Pada dasarnya, perasaan seseorang dalam menyikapi sesuatu itu berbeda-beda. Tanggapan orang lain tentang perasaan kita pun berbeda-beda. Tidak ada yang perlu disalahkan, memang begitulah kehidupan.
Tak bisa dipungkiri, hidup di dalam lingkungan orang-orang yang senang menilai dan menghina sebuah kekurangan tanpa berniat membantu kita untuk lepas dari kekurangan yang kita miliki, memang sangat menyakitkan. Ada yang seolah membantu, tetapi sambil merendahkan. Selalu saja begitu.
Rea sudah terbiasa menerima sebuah hinaan tentang wajah buruknya. Tidak ada salahnya juga, 'kan, Rea berharap menjadi cantik agar terlepas dari hinaan dari mereka? Tentu tidak ada salahnya. Bahkan Rea sudah berusaha. Lalu kapan hasil memuaskan itu akan datang?
Kini nampak Rea yang berjalan gontai menghampiri pintu kamar. Wajah yang terlihat lesu, lidah yang sudah kelu, membuat ia ingin segera membaringkan tubuh dan pergi ke alam mimpi. Membawa dirinya untuk terlepas dari ingatan kejadian menyakitkan tadi.
Harusnya Rea sudah terbiasa karena perkataan hinaan itu sudah sering ia dengar. Namun bukannya terbiasa, ia malah semakin dibuat jatuh.
Bahkan sebelum masuk ke dalam kamar pun, Rea gagal. Air mata kembali lolos membasahi pipi. Seolah semua sudah terasa bahkan tanpa diingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond & Crystal
Ficção AdolescenteRea Nanindita dipaksa dunia untuk menjadi sempurna. Zio Nanindya diprotes dunia karena dianggap sempurna. Nasib berbeda menimbulkan perlakuan berbeda. Karakter berbeda menimbulkan penilaian berbeda. Semua ucapan yang mereka dapati menghasuti keduan...