"Ini beneran kalian marah sama gue? Serius banget, dih. Kita itu udah sahabatan, masa hal sepele kayak gini harus dipanjangin? Kayak anak kecil aja kalian," ucap Keva pada Rea dan Ara yang tengah menyibukkan dunianya dengan bermain ponsel. Sementara Keva, ia malah menonton film sendirian.
"Lo kalo gak mau sahabatan sama kita yang kayak anak kecil, pergi aja sana," ucap Ara terlanjur emosi, "lagian, gue juga gak butuh temen kek lo. Apa-apa dianggap sepele, sampe perasaan temen juga dianggap sepele. Yang bikin si Rea minder itu bukan Sam, tapi congor lo itu."
"Lo ngusir gue?" Ara mengangguk dengan ekspresi wajah datar. "Lo pasti bercanda, 'kan? Lagian gue cuma bercanda elah," sambungnya memutar bola mata.
"Pergi aja sana. Gue gak butuh candaan yang garing nyakitin orang," cibir Ara. Meskipun begitu, Keva masih diam di kasur sambil menonton film.
"Gue gak marah, Kev. Cuma ngantuk aja," ucap Rea tiba-tiba membuat Keva tersenyum cerah dan sontak memeluk Rea.
"Lo emang baik," ucapnya dengan senyuman manis.
Mungkin, Rea harus terbiasa dengan sikap Keva padanya. Ia percaya, Keva akan berubah dengan sendirinya.
Sementara Ara yang melihat kedua sahabatnya berpelukan itu berdecih, bukan iri, melainkan merasa jijik dengan sikap Keva. Menurutnya, Keva begitu tak tahu malu, sedangkan Rea terlalu baik pada Keva yang jelas-jelas sudah menyakiti perasaannya sendiri. Mau bagaimana lagi, ia pun tak bisa bertindak sesuka hati.
"Lo berdua mau gue ambilin es krim di kulkas, gak?" tawar Ara pada Rea dan Keva yang tengah berpelukan.
Mendengar pertanyaan yang lebih terdengar sebagai tawaran itu membuat Rea dan Keva melepaskan pelukannya, lalu mengangguk bersamaan. Tanpa meninggalkan kata, Ara pergi keluar dari kamarnya dengan perasaan kesal. Sebenarnya ia keluar juga untuk mendinginkan hatinya yang tengah memanas karena ulah Keva. Rasanya, ia ingin memakan Keva hidup-hidup.
Tak butuh waktu lama, setikar tiga menit kemudian Ara sudah hadir kembali di hadapan kedua Rea dan Keva. Ara menyerahkan es krim yang dibawanya tadi. Rea yang mengambil rasa vanilla, Keva rasa stroberi, dan Ara rasa cokelat.
Mereka masih diam, dengan Rea dan Ara yang mencoba memendam rasa kesal.
Keva mulai bosan dengan keheningan. "Udah dong, gue minta maaf," ucapnya lebih pada Ara, karena hanya Ara yang terlihat marah padanya.
"Bisanya minta maaf, kalo dimaafin malah ngelunjak. Dasar lo," sindir Ara, "coba lo sadar diri, perbanyak istighfar, terus lo coba ke tukang ruqiyah, siapa tau di badan lo itu banyak setannya, soalnya lo kalo ngomong sembarangan, sih."
"Namanya juga khilaf, Ar. Wajar dong, gue juga manusia. Manusia gak ada yang sempurna. Jadi gak perlu diomongin gitu," balas Keva sambil berdiri lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur Ara.
Kini, Rea yang angkat bicara. "Itu, 'kan, kesalahan. Orang lain wajib mengkritik biar lo lebih baik. Beda lagi sama ngomongin kekurangan seseorang yang udah dasarnya dari Sang Pencipta."
~~~
Sore di hari libur, seorang gadis di sebuah kamar nampak baru saja selesai mandi.
Beginilah jika tidak sekolah. Pagi membereskan kamar dan mencuci bajunya, ditambah membaca buku sampai tak lupa waktu. Namun karena tadi tahu Rea tidak ada, Zio ikut membantu sang ibu. Seperti memasak untuk sarapan, menjemur baju, ia juga membantu Dara membuat kue pesanan.
Setelah dzuhur, Zio langsung pergi ke kamarnya. Kembali membaca buku, kali ini ia memilih buku nonfiksi yang mengangkat ilmu ilmiah. Aktivitas membaca itu tak berjalan lama karena matanya sudah diserang rasa kantuk lebih dulu. Tanpa sadar ia tertidur sampai adzan ashar berkumandang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond & Crystal
Teen FictionRea Nanindita dipaksa dunia untuk menjadi sempurna. Zio Nanindya diprotes dunia karena dianggap sempurna. Nasib berbeda menimbulkan perlakuan berbeda. Karakter berbeda menimbulkan penilaian berbeda. Semua ucapan yang mereka dapati menghasuti keduan...