D & C: [24]

204 11 29
                                    

Suasana subuh di hari Senin, orang-orang di rumah itu terlihat ricuh karena salah satu dari mereka tengah sakit.

Sudah beberapa menit tadi tubuh Dara bergetar kedinginan. Ia juga sempat memuntahkan isi perutnya.

Di kamar itu terlihat Fauzan, Vano, dan Rea yang baru saja datang dengan raut wajah penuh kekhawatiran.

"Bang, ibu kenapa?" Rea bertanya pada Vano.

"Ibu kayaknya kecapekan," jawab Vano.

Beralih ke arah papanya yang tengah berdiri seperti mencoba menghubungi seseorang. "Pa, ibu gak bakal kenapa-napa, 'kan?" tanya Rea yang dibalas sebuah isyarat. Fauzan memasang jari telunjuk ke arah bibirnya, seolah meminta Rea untuk diam.

Rea diam tetapi tatapan serta raut wajah putrinya membuat Fauzan menghela napas. Ia mengerti, lalu membawa Rea ke dalam pelukan agar bisa lebih tenang.

"Tenang, Re. Gak bakal lama, kok," ucap Vano yang tengah memberikan pijitan ringan ke arah kepala ibunya yang tengah terbaring menutup mata.

Tak disangka Dara membuka mata dan tersenyum ke arah Rea. "Ibu gak apa-apa, Rea."

Rea melepaskan pelukannya dari Fauzan untuk beralih ke arah ibunya.

"Ibu!" panggilnya senang, "Rea minta maaf kalo ibu kecapekan gara-gara ngurusin Rea. Ibu pasti banyak pikiran, ya?" Rea jadi berpikir seperti itu.

Dara menggeleng pelan. "Bukan salah kamu," ujarnya terdengar sangat lirih.

"Zio mana?" Meski ia tidak mau melihat anak-anaknya khawatir, tetapi ia ingin melihat ketiga anaknya bersama untuk dirinya.

"Zio lagi siap-siap buat sekolah," jawab Fauzan.

"Kamu juga siap-siap ke sekolah, gih. Ibu gak apa-apa. Ada Bang Vano sama papa," ucap Dara pada Rea.

"Adzan juga belum, Bu. Gak apa-apa nanti aja. Lagian masalah sekolah gak seberapa sama ngurusin Ibu pas lagi sakit gini. Si Zio emang egois, gak pernah mikirin orang lain." Ucapan Vano membuat Dara bingung. Tentunya Rea juga karena ia merasa Vano lebih mengiyakan tindakannya dibanding Zio.

"Zio nggak gitu, Vano. Jangan ngomong gitu," ucap Dara tak suka.

"Iya. Maaf, Bu," ujar Vano meminta maaf. Sadar ucapannya bisa saja memberatkan pikiran Dara.

"Rea izin gak sekolah, ya. Mau nemenin Ibu." Apa yang ia lakukan murni karena kasih sayangnya pada Dara, bukan semata-mata untuk meruntuhkan sikap ibunya yang akhir-akhir ini berubah.

"Kamu sekolah aja. Ibu justru bakal kepikiran kalo kamu gak sekolah," ucapnya dengan sangat lembut membuat Rea luluh untuk langsung mengangguk.

~~~

Melihat Zio yang tengah makan sendirian di meja makan, Fauzan pun menghampiri dengan langkah santai.

Setelah sampai, lantas ia mendudukkan tubuhnya berhadapan dengan putrinya itu. "Zio, kamu sayang ibu kamu, 'kan?" tanyanya langsung.

Pergerakan Zio yang hendak memasukkan makanan terhenti seketika. Ia mendongak untuk menatap langsung wajah papanya. "Mengapa bertanya seperti itu?"

"Kenapa kamu gak dateng buat liat kondisi ibu kamu? Apa urusan kamu memang lebih penting daripada ibu?" Memang tidak perlu sampai dibesarkan seperti ini jika Zio benar-benar datang. Meski kedatangan itu hanya sekedar menanyakan kabar saja, mungkin bisa dianggap sebagai bentuk kepedulian. Lalu Zio, ia sama sekali tidak hadir, seolah tidak peduli sama sekali tentang ibunya.

~~~

Agrel melihat Zio yang baru saja duduk di sampingnya. Mengingat hari ini akan ada tes ulang untuk gadis itu, maka Agrel akan mengingatkan.

Diamond & CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang