Istirahat kali ini, Rea memilih untuk mengelilingi sekolah. Mencari udara dan suasana yang lebih menyegarkan. Sebenarnya bukan hanya itu, Ara dan Keva tengah ada musyawarah di antara anggota klub paduan suara. Karena tak mau sendirian di kelas yang membuatnya muak terus diasingkan, maka di sinilah Rea kini, di lorong lantai atas yang sepi.
Rea sedang tidak ingin memikirkan apa pun dan siapapun. Ponselnya dikeluarkan, menyalakan internet untuk sekedar menonton film yang hendak ia tonton.
Namun ternyata, notifikasi tanda kuota internet telah habis berhasil membuatnya berdesis pelan. Lantas, apa yang bisa ia lakukan jika internet tak ada, teman pun tak ada?
"Rea." Panggilan serta tepukan di arah pundanya refleks membuat Rea menoleh.
Di sana Rea melihat seorang siswi kakak kelasnya yang kebetulan merupakan ketua OSIS di sekolah ini. Sebenarnya Rea tidak begitu dekat, hanya sekedar tahu dan menyapa jika bertemu. Begitu pun dengan kakak kelasnya yang lain. Mereka mengenal Rea karena keramahannya.
"Iya, Kak? Kenapa?" tanya Rea dengan senyuman.
"Kakak butuh bantuan kamu. Kalo kamu gak keberatan, boleh ya tolong kakak." Namanya Nadila. Rea tahu beliau baik. Namun mengingat ucapan orang lain yang berkata bahwa Rea terlalu baik, apa itu juga berarti Nadila akan memanfaatkannya?
Rea menggelengkan kepala. Mencoba menghapus prasangka-prasangka buruk. Tak perlu memikirkan apa kata orang. Berbuat baik pada sesama sudah seharusnya, 'kan? Lagi pula Rea tidak keberatan, jika ia belum bisa membanggakan, setidaknya ia bermanfaat bagi orang lain.
"Rea?" Nadila memanggil dengan nada lembut.
"Hah? Boleh kak. Aku harus bantu apa?" tanya Rea dengan nada bicara yang terdengar semangat.
"Ini ada tugas buat video pas lagi main pianika. Kakak bakal mainin, terus kamu videoin, ya," jelasnya.
"Oh, iya, Kak." Rea mengangguk mengerti.
Nadila menyerahkan ponselnya pada Rea. Tanpa banyak membuang waktu karena Nadila juga nampak siap, mereka pun memulai sesi video itu dengan Nadila yang memainkan pianika dan Rea yang merekam.
Dua menit lamanya Nadila memainkan pianika, kini akhirnya selesai. Rea pun menutup rekaman.
"Makasih, ya, Re. Maaf menggangu waktunya," ucap Nadila berterima kasih.
"Nggak kok, Kak." Rea memberikan sanggahan. "Bagus banget Kak Nadila mainnya. Udah lancar juga," lanjutnya memberikan pujian.
"Masih belajar. Kamu bisa?" jawabnya kemudian bertanya.
"Rea biasa main piano, Kak," jawab Rea. Di kamarnya ia memiliki alat musik tersebut, memainkannya jika tak tahu harus melakukan apa.
"Wah, hebat dong. Kakak jadi pengen lihat kamu mainin piano." Nadila menunjukkan antusiasnya.
"Malu, Kak. Lagian Rea nggak mahir." Rea rasa begitu, mengingat ia memainkan piano dengan belajar sendiri tanpa diajarkan.
"Ya gak bakal mahir kalo gak belajar. Ikut ekskul musik yuk, bareng kakak. Kebetulan minggu depan open member. Jadi kita bisa belajar bareng," ajak Nadila dengan ramahnya.
Tentu hal itu membuat perasaan Rea menghangat. Baru kali ini ada orang yang tidak begitu dekat dengannya tetapi membuat obrolan seolah mereka sudah dekat.
"Susah nggak, Kak?" tanya Rea.
"Ya gak bakal tahu kalo belum dicoba," jawab Nadila. "Gimana? Kakak dukung kamu. Siapa tahu di sana kamu bisa dapat teman lebih banyak, 'kan?"
Teman Rea sudah banyak. Tepatnya yang ia anggap teman. Nyatanya mereka semua sama, menyakitkan. Rea tidak mau terlalu banyak mengenal orang.
Setelah beberapa saat terdiam, Rea kembali bersuara, "kayaknya nggak, deh. Tapi nanti Rea pikir-pikir dulu, ya, Kak."

KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond & Crystal
Fiksi RemajaRea Nanindita dipaksa dunia untuk menjadi sempurna. Zio Nanindya diprotes dunia karena dianggap sempurna. Nasib berbeda menimbulkan perlakuan berbeda. Karakter berbeda menimbulkan penilaian berbeda. Semua ucapan yang mereka dapati menghasuti keduan...