D & C: [23]

208 10 28
                                    

Saat dunia menyeruakakkan suara, ia bungkam. Saat dunia bergerak menghancurkan seseorang, ia diam. Saat dunia tak berhasil menggapai tujuan, ia yang disalahkan. Sebegitu tak adil hidup yang ia miliki.

Zio tidak pernah merasa sedih dengan hidupnya yang sudah terbiasa diberi penilaian. Ia tak pernah menyalahkan Tuhan, karena ia rasa dirinya sudah diberikan banyak kesempurnaan seperti yang dikatakan orang-orang.

Daripada memikirkan perkataan dan penilaian orang-orang yang sama sekali tak ada guna, lebih baik ia kembali belajar dan menghafal untuk mempersiapkan tes ulang yang akan dilaksanakan tiga hari lagi. Akan dipastikan, ia mendapatkan nilai unggul dari Deon. Zio sendiri tak pernah merasa tersaing ataupun bersaing, ia selalu percaya dengan kemampuannya.

Tiba-tiba saja ia teringat atas perkataan Vano tadi. Lelaki itu menyuruhnya untuk menemui Vano di ruang keluarga. Tentu saja Zio menolak, tetapi Vano semakin memaksa, dan berakhir Zio mengiyakan saja.

Waktu memang selalu mudah berlalu. Maka untuk tak membuangnya, Zio tak pernah menyia-nyiakan.

Zio menuruni satu-persatu anak tangga menuju ruang keluarga dengan langkah cepat. Jika Vano tidak ada sesuai permintaannya, Zio akan langsung pergi tanpa berpikir dua kali. Ia sangat tak minat jika harus menunggu yang membuatnya membuang waktu.

Namun ternyata, lelaki itu sudah duduk menunggu. Lalu mengubah posisinya menjadi berdiri saat sadar Zio telah hadir di sana.

Suara dari Vano pun langsung terdengar. Lelaki itu berbicara dengan raut wajah serius.

"Gue udah pusing sama kelakuan lo, apalagi Rea. Bisa kagak lo nurut sama gue? Rea susah banget dibilangin. Jadi murid males-malesan, jarang ngerjain tugas, pake seragam ke sekolah acak-acakan. Ibu sampe nuntut dia kalo lo mau tau."

"Lo udah bagus sama sekolah, tapi sikap lo keliatan gak sopan. Orang juga pasti nanya, lo dididik gak sama ibu sama papa? Cara jalan lo aja bisa nimbulin pandangan negatif. Gue ngomong kayak gini bukan apa-apa, tapi demi kebaikan lo juga."

"Liat si Rea? Cara ngomong dia sopan meski urakan. Ketemu yang lebih tua gerak-geriknya hati-hati. Sedangkan lo? Di luar sana pasti banyak yang ngomongin. Ntar ibu lagi yang disalahin. Lo gak kasihan?" cerocosnya yang masih didiamkan oleh Zio.

"Sekarang gini deh, lo ubah diri lo biar lebih sopan kayak si Rea." Kalimat akhir ini adalah yang paling ingin Vano sampaikan sedari tadi.

"Untuk apa? Lebih baik lakukan hal buruk seperti perkataan mereka tentang diri saya," jawab Zio yang membuat Vano membuka mata tak percaya.

"Zi, lo mau ibu disalahin gara-gara sikap gak sopan lo itu?" tanya Vano menampilkan wajah menahan emosi.

"Mengapa harus Ibu? Suruh mereka untuk bicara langsung penilaian buruknya pada saya. Mungkin jika saya melakukan apa yang mereka katakan, mereka akan semakin membenci saya. Saya suka ketika banyak orang membenci saya." Tunggu, apakah adiknya yang satu ini sudah gila?

"Lo gila, Zi?" Vano benar-benar dibuat terheran.

"Kakak yang gila. Mengapa begitu berinisiatif untuk menuruti perkataan mereka? Apa hidup saya bergantung pada mereka? Saya tidak rugi jika mereka mati, begitupun sebaliknya," jawab Zio dengan santainya masih bisa memasang wajah datar.

Vano memejamkan mata, mencoba keras untuk tidak sampai meninggikan nada bicaranya. Namun gagal. Sedetik berikutnya Vano berucap dengan nada tinggi. "Lo mungkin gak butuh orang lain tapi ada orang yang peduli lo, Zio!"

"Peduli? Kakak terlalu memaksakan kehendak pada saya!" Zio ikut meninggikan suara.

Tidak ada respon, Vano sibuk mengacak-acak rambutnya. Seolah ia sudah keberatan untuk memikirkan cara apalagi untuk menghadapi adiknya itu.

Diamond & CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang